ANTARA POLISI, SUPIR, DAN PENUMPANG ANGKOT
Kemarin pagi, 8 September, saya naik angkot dari Kawangkoan ke Tomohon.Seluruh penumpang termasuk supir berjajar 3 didepan, 3 berikutnya, 4 di baris ketiga, dan 4 penumpang di baris paling belakang. Total kami semua jadilah 14 orang.
Memasuki Tomohon, semua mobil diperiksa kelengkapan kendaraan sesuai peraturan. Dan ketika giliran kami, maka terjadilah dialog antara Pak Polisi dengan kami. Ia bertanya lebih dulu kepada supir, sadarkah akan kesalahannya? Sopir sambil tertawa tanpa suara menggelengkan kepala. Karena supir tidak menjawab setelah ditanya berulang, maka Pak Polisi mengingatkan, bahwa ia membawa penumpang melebihi ketetapan peraturan yang memperkenankan hanya 10 orang termasuk pengemudi; sang Supir lalu mengangguk mengakui.Pak Polisi bertanya tentang usia seorang ibu tua, dan sang Ibu menjawab dengan suara kecil, delapanpuluh tahun. Pak Polisi mengingatkan supir, seandainya si supir berumur sedemikian duduk bersesakan begitu, apa yang ia rasakan.
Dengan banyak nasihat dan peringatan, Pak Polisi melepas kami untuk meneruskan perjalanan.
Dalam sisa perjalanan sampai ke terminal angkot, hampir semua penumpang membela pak supir, dengan kesimpulan alasan; Pak Polisi punya gaji sedangkan supir tidak, Pak Polisi hanya menghambat waktu penumpang, juga karena penumpang yang bersesak-sesak sendiri maka pak polisi tidak usah repot.
Ketika siangnya saya kembali pulang ke Kawangkoan menumpang angkot yang lain, jumlah pernumpang tetap sama, sementara pemeriksaan polisi sudah tidak ada; maka angkot melaju tanpa halangan.
AKTIFASI SOSIAL KENDARAAN UMUM
Umumnya Indonesia seperti demikian. Dan terkerucut di perangkotan. Di Jawa, Sumatera, Sulawesi, ataupun Kalimantan yang saya datangi, persoalan angkot tetap sama. Di satu sisi polisi ingin penumpang nyaman berkendara, di sisi lain penumpang pasrah atas ketidaknyamanan. Saya sebagai penumpang menerima ketidaknyaman berjejalan dengan terpaksa karena angkot tidak berangkat sebelum fulsesak, dan saya mau tiba di tujuan dengan segera.
Angkot adalah satu mercusuar kesemerawutan Indonesia.Pemerintah memberi aturan tetapi hanya diatas kertas. Di Jakarta angkot hilir-mudik menerobos peraturan negara dengan berbagai alasan, namun jangankan “tilang”, teguran saja hampir tidak pernah terlihat. Tempo-tempo ditempat yang sulit “lari” maka penerobos peraturan lalulintas “tertangkap tangan”. Apakah supir ataupun petugas yang berwenang, sama saja saling menguatkan pelanggaran peraturan negara.
APLIKASI LALULINTAS YANG TERINTEGRASI
Minahasa sudah lama membenahi ketertiban jalanraya. Hampir setiap hari di jalan strategis di seluruh Minahasa mengadakan pembinaan berlalulintas. Teguran dan nasihat tidak pernah berhenti disampaikan. Dan sekali-sekali 'tilang" dilakukan dengan alasan yang sudah benar.
Dalam persoalan kepatuhan peraturan, kelengkapan kendaraan dan syarat dasar pengemudi sudah dipatuhi optimum. Persoalan displin berlalulintas yang memang perlu terus disempurnakan.
Kebiasaan angkot seperti diatas bisa dihilangkan jika pemerintah peduli kepada rakyat umum. Angkot berjalan dengan 9 penumpang memang terasa juga tidak betul. 11 penumpang termasuk supir adalah manuiawi. Maka peraturan pun boleh diperbaiki dengan mengubah tulisan/cap di samping kiri kendaraan dari 10 menjadi 11 orang. Juga ketetapan yang ideal bagi kendaraan niaga yang lain.