Oleh: Rumtini Swarniksan*
Masih hangat dalam ingatan kita sebuah wacana yang dilontarkan oleh presiden beberapa waktu lalu sebagai pesan pada menteri pendidikan nasional yang baru agar jiwa kewirausahaan, kreativitas, dan inovasi ditumbuhkembangkan pada anak didik. Respon cepat berdatangan baik dari masyarakat praktisi pendidikan maupun dari departemen pendidikan nasional (depdiknas) sendiri. Bahkan depdiknas menyatakan akan mengeluarkan kurikulum tahun ajaran 2010/11. Belajar dari pengalaman itu baik, bahkan keharusan, sekedar mengingat ke belakang tepatnya pemikiran yang dilontarkan menteri Malik Fajar tentanglife skills,kenapa sekarang seakan tenggelam?
Penulis berpendapat suramnya suatu program begitu penggagasnya pergi, kurang lebih sebagai akibat dari kurang kuatnya lapisan-lapisan konkrit yang dipilih sebagai artikulasi dari sebuah konstruk. Juga ditambah dengan kebiasaan pengalokasian muatan ke dalam ruang-ruang yang telah padat. Ruang disini terutama pada muatan kurikulum, yang harus ditransfer guru ke anak didik. Jika pada kurikulum sendiri bisa dipaksakan karena bersifat dokumen, tetapi tidak demikian dengan guru dan anak didik terkait dengan keterbatasan kapasitas yang jika telah penuh justru akan tumpah. Kembali pada pesan kewirausahaan, tulisan ini bertujuan, pertama, mengkaji kompleksitas kewirausahaan sebagai variabel laten; kedua, mengkritisi konten kurikulum standar –yang menurut penulis sangat padat dan terkadang tumpangtindih, untuk memberikan ruang bagi penanaman jiwa kewirausahaan pada anak didik.
Jiwa Kewirausahaan
Disebut sebagai variabel laten atau kontruk, karena jiwa kewirausahaan merupakan suatu konsep yang abstrak, yang tidak bisa diobservasi tetapi ada tersembunyi, sehingga memerlukan variable-variable perantara yang lebih konkrit. Jiwa kewirausahaan perlu pengartikulasian ke dalam aspek-aspek yang lebih konkrit atau lapisan-lapisan yang lebih dapat diobservasi. Salah satu aspek terpenting adalah konten kurikulum, dimana ketepatan pemilihan konten kurikulum akan mengarahkan pada kemudahan pencapaian tujuan. Ini baru pada tahap konten kurikulum dan belum menyentuh pada aspek proses pembelajarannya yang biasanya lebih kompleks dan beragam. Namun, setidaknya konten standar kurikulum akan menjadi acuan dalam pembelajarannya, dimana konten yang terencana secara explisit disebut sebagai kurikulum tertulis dan yang implisit merupakan kurikulm tersembunyi (hiddencurriculum).
Kewirausahaan sebagai jiwa, peluang penananamannya bisa dimulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dimana konten kurikulum yang sederhana tentunya diberikan pada anak didik pada jenjang sekolah awal dan seterusnya semakin tinggi jenjang sekolah akan semakin luas dan dalam tingkat pembelajarannya. Sebagai jiwa, penanamannya akan lebih komplek dibanding penanaman ketrampilan yang langsung bisa dipraktekkan seperti pada pendidikan kejuruan. Penanaman jiwa akan berkaitan dengan pengenalan pada nilai-nilai, pola pikir dan pola hidup, kebiasaan bahkan filosofi yang sering tidak bisa dilihat langsung begitu anak meninggalkan bangku sekolah. Penanaman jiwa tidak mudah namun juga bukan tidak memungkinkan. Disinilah pentingnya artikulasi dari jiwa kesirausahaan ke dalam aspek-aspek kependidikan yang lebih konkrit.
Kurikulum Tertulis
Kembali pada masalah kurikulum sebagai pedoman penyampaiannya ke anak didik. Jika penanaman jiwa kewirausahaan dilakukan melaluihiddenkurikulum, akan sangat memudahkan bagi guru jika nilai-nilai tersebut sudah tertanam dalam masyarakat di lingkungan anak didik. Misalnya di lingkungan masyarakat pedagang, guru hanya tinggal mengangkat ke permukaan karakter-karakter yang kuat dari masyarakat tersebut, demikian pula bagi lingkungan masyarakat daerah wisata, lingkungan masyarakat nelayan, dan lingkungan masyarakat petani; atau lingkungan lainnya dimana anak-anak akrab dengan nilai-nilai di sekitarnya. Namun hal yang sama barangkali akan lebih sulit bagi bagi guru untuk menanamkan melaluihiddenkurikulum jika lingkungan anak didik kurang menunjang. Di sisipun guru masih bisa mengangkat jangkauan yang lebih luas, misalnya kenapa negara Cina yang dulu miskin sekarang kaya, jikalau gambaran tentang negara Cina sudah akrab pada anak.
Jika melalui kurikulum tertulis (written curriculum), sebaiknya beberapa permasalahan diselesaikan terlebih dulu, karena konten pada beberapa matapelajaran kurikulum saat ini telah sebegitu padat dan tumpangtindih pada satu tempat dan kosong pada tempat yang lain. Namun demikian, kondisi ini barangkali merupakan peluang untuk mencari ruang bagi upaya penanaman jiwa kewirausahaan. Agar diperoleh gambaran lebih jelas, tinjauan akan dititikberatkan pada aspek adanya tumpang tindih konten pada beberapa mata pelajaran dan kekosongan pada konten yang lain.
Jika mempelajari dengan teliti standar isi dan standar kompetensi, akan ditemukan bahwa kurikulum sekolah kita telah sangat padat, baik banyaknya matapelajaran maupun luasnya konten. Untuk memperoleh ruang bagi penanaman jiwa kewirausahaan beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama melakukan intergrasi kurikulum, sebagai contoh, topik hidup rukun ternyata diajarkan di dua matapelajaran: kewarganegaraan dan IPS. Kedua pada matapelajaran Bahasa Indonesia, perlu mengurangi kontensastra–karena memerlukan bakat dan minat maka sebaiknya tidak diajarkan terlalu detail pada level kelas rendah seperti dipraktekkan saat ini; dan sebaliknya perlu menekankan kontenmembaca–penekanan pada kosakata, strategi, dan pemahaman;menulis–penekanan pada kosakata, struktur menulis, tatabahasa, dan pilihan kata; danberbicara–bertanya, berkomentar, dan presentasi. Ketiga menjadikannya sebagai alternatif muatan lokal yang selama ini banyak didominasi pengajaran bahasa daerah. Selanjutnya, ruang-ruang mata pelajaran yang diintergrasikan dan pada ketrampilan membaca dan menulis disini dapat diisi dengan konten kewirausahaan.
Penanaman jiwa kewirausahaan penting dilakukan sedini mungkin, namun ketepatan pemilihan konten dan program di sekolah mutlak perlu dilakukan. Telah padatnya konten kurikulum saat ini barangkali akan menjadi hambatan bagi penanaman jiwa kewirausahaan tersebut. Namun demikian kemauan untuk mengkaji lagi konten kurikulum menjadi lebih terintegrasi dan menampilkan kontenmembaca,menulis, dan berbicarapada radarscreenakan sangat bermanfaat tidak saja penanaman jiwa kewirausahaan melainkan juga ketrampilan itu sendiri bagi anak dimasa depan.
*Staf pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Balitbang Depdiknas.
Sumber: Koran Tempo, 5 Januari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H