Mohon tunggu...
Dokter Bejo
Dokter Bejo Mohon Tunggu... -

Dokter Bejo, sumber referensi menarik seputar kesehatan, gaya hidup sehat, produk kesehatan, jasa kesehatan, menjawab fakta mitos kesehatan. Jadilah konsumen produk kesehatan yang cerdas! Salam Dokter Bejo

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kampanye Sepi Peminat, Belajar dari Tiongkok dan Korea!

23 Januari 2017   12:05 Diperbarui: 23 Januari 2017   12:10 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.kemendag.go.id/

Oleh : dr. Donny Atmadjaja

Tepat dipenghujung tahun 2014, Pemerintah Indonesia mendeklarasikan kampanye gerakan minum jamu. Tiga kementerian antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, turut meramaikan kampanye minum jamu yang jatuh pada setiap hari Jum’at.

Kampanye minum jamu juga didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo. Dalam setiap safari dan aktifitasnya, Presiden Jokowi kerap memperlihatkan kebiasannya menenggak segelas jamu.

Namun sayang, kampanye yang sudah masuk tahun ketiga ini tidak membuahkan hasil yang maksimal. Meski sudah di buzzer oleh Presiden dan Menteri, kampanye minum jamu sepertinya tidak banyak menarik perhatian masyarakat kita. Padahal kampanye minum jamu sama pentingnya dengan kampanye politik. Benar demikian?

Menggiring warga untuk membiasakan minum jamu memang tidak mudah pada saat ini. Berbeda jika kita melihat orang terdahulu yang memang berteman akrab dengan jamu yang berasal dari bahan bahan-bahan alam seperti bagian tanaman, misal : akar, kulit batang, bunga, biji, daun dan buah1. Ada pula bahan yang berasal dari bahan hewani seperti madu, royal jelly, susu dan telur ayam kampung. Nah, tugas terberatnya adalah mengubah paradigma (pola pikir) masyarakat tentang jamu sebagai khasiat dan alternatif pengobatan dan pencegahan penyakit.

Jamu diterapkan oleh ahli pengobatan pribumi yang disebut “dukun”. Meskipun demikian, jamu umumnya diramu dan dibuat oleh para perempuan yang menjualnya di jalanan, yang disebut “mbok jamu”. Umumnya resep jamu tidak dituliskan tapi diwariskan dari generasi ke generasi. Buku pedoman untuk jamu yang digunakan oleh keluarga-keluarga di seluruh Hindia-Belanda diterbitkan pertama kali tahun 1911 oleh Nyonya Kloppenburg-Versteegh6.

Hal yang menarik tentang jamu ialah proses penelitian dan pengembangannya justru dipelopori oleh ahli pengobatan dari dunia Barat (dokter), disebabkan karena para ahli pengobatan Barat tsb tidak mengetahui bagaimana mengatasi penyakit-penyakit yang mereka jumpai selama berada di daratan Hindia-Belanda(Indonesia). Sebagai contoh ialah Jacobus Bontius (Jacobus De Bont),seorang dokter Belanda yang bertugas di Batavia (Jakarta) pada awal abad 177. Beliau menulis kepustakaan tentang obat asli Hindia-Belanda(Indonesia). Rumphius - seorang dokter yang bertugas di Ambon – menuliskan buku berjudul Herbaria Amboinensis (The Ambonese Spice Book)pada awal abad 188.

Kampanye Sepi Peminat, Belajar dari Tiongkok dan Korea!
Kampanye Sepi Peminat, Belajar dari Tiongkok dan Korea!
Ironisnya, kebanyakan tenaga medis di Indonesia dewasa ini, justru kurang tertarik dengan jamu. Hal ini nampak sangat jelas dari kurikulum pendidikan tenaga kesehatan yang minim atau bahkan sama sekali tidak ada subjek tentang pengobatan herbal asli Indonesia atau jamu. Sesuai dengan peribahasa “tak kenal, maka tak sayang”, wajar jika pengobatan herbal asli Indonesia atau jamu jadi minim “peminat” karena tidak pernah diperkenalkan sejak dini.

Padahal kita semua tahu bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang mau menghargai warisan ilmu dan budayanya. Dan suatu kewajiban mutlak bagi setiap orang untuk menghargai dan turut melestarikan warisan bangsanya, dari manapun ia berasal.

Kita tahu bahwa bangsa China diwariskan oleh nenek moyang mereka ilmu pengobatan tradisional seperti akupuntur dan TCM(Traditional Chinese Medicine) yang begitu mendunia. Yang perlu juga kita ketahui ialah kedua ilmu tadi ternyata dijadikan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan dokter di Tiongkok. Sehingga dokter lulusan fakultas kedokteran di Tiongkok menjadi “dokter plus” yang bisa mempraktekkan dan mengkombinasikan ilmu pengobatan Barat yang berbasis kimia dan ilmu pengobatan Timur yang berbasis natural. Bahkan, konon,  rumah sakit di Tiongkok memiliki 2 “jalur”, yaitu jalur “Barat”, dimana pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan seperti RS pada umumnya dan jalur “Timur”, dimana pasien bisa memilih untuk mengakses pelayanan kesehatan seperti akupuntur atau TCM.

Begitu pula dengan bangsa Korea yang terkenal dengan tanaman herbalnya berupa ginseng. Penulis pernah mendengar bahwa petani ginseng di Korea disubsidi penuh oleh pemerintah untuk membudidayakan ginseng, dimana metode pembudidayaannya sangat ketat(konon memakan waktu sekitar 6 tahun)demi menjaga kualitasnya. Coba bandingkan dengan Indonesia yang merupakan “gudangnya” tanaman berkhasiat obat, dimana 75% spesies tanaman obat di dunia berasal dari bumi Indonesia..!! Adakah pembaca pernah mendengar tanaman obat asli Indonesia yang mendunia bahkan menjadi “trademark” bangsa Indonesia..?

Ada satu hal lagi yang cukup “meresahkan”(menurut penulis) yang saat ini sedang berlangsung dalam dunia kesehatan : perubahan paradigma pengobatan, dari yang sebelumnya lebih bersifat chemical based medicineatau pengobatan berbasis kimiawi menjadi natural based medicine atau pengobatan berbasis natural. Hal ini berdasarkan fakta bahwa penggunaan obat kimiawi, terutama dalam jangka panjang dan dosis yang tidak tepat, justru bisa mengakibatkan masalah kesehatan di kemudian hari, mulai dari efek samping, drug induced diseases/ iatrogenic(penyakit yang dicetuskan obat), intoksikasi / keracunan, kerusakan liver dan ginjal, overdosis dsb. Dan hal-hal ini rupanya tidak terjadi pada obat yang berbasis natural, karena obat yang berbasis natural ialah senyawa alami yang ada di alam, sehingga lebih mudah “dikenali” dan dimetabolisme oleh tubuh manusia. Berbeda dengan obat berbasis kimia yang dibuat lewat rekayasa biomolekuler, yang secara alami tidak ada di alam, sehingga sering dianggap substansi asing oleh tubuh dan sulit dimetabolisme secara tuntas(ingatlah bahwa tubuh kita ialah ciptaan Tuhan, bukan buatan pabrik/mesin..!).

Berdasarkan fakta ilmiah tersebut, saat ini, para ahli kesehatan mencari alternatif pengobatan yang lebih aman dan juga efektif dan jawabannya terletak pada natural based medicine,dimana salah satu prototype-nya ialah jamu. Artinya kalo kita tidak berusaha untuk menghargai dan melestarikan jamu, jangan heran kalo bangsa lain yang mengadopsi dan mematenkan sebagai miliknya..Mau..??Sudah cukup banyak kekayaan bangsa Indonesia yang ironisnya justru dinikmati bangsa lain..Apakah jamu juga..?

Biarlah hati nurani kita sebagai anak bangsa yang menjawab..

Dari artikel sederhana ini, penulis mengajak segenap anak bangsa untuk  belajar lebih menghargai dan mencintai milik bangsa sendiri. Begitu banyak kekayaan bangsa Indonesia yang dikagumi bangsa-bangsa di dunia, tapi justru tidak dihargai oleh masyarakatnya sendiri. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih mengagumi milik dan budaya bangsa lain, harus segera dikikis supaya kita bisa menjadi bangsa yang punya identitas dan bermartabat di mata dunia. Kewajiban kita untuk lebih menghargai dan melestarikan kearifan lokal, terutama jamu, ialah mutlak hukumnya. Dan kalo kita sudah memiliki spirit ini, penulis yakin bahwa jamu akan kembali menjadi primadona dunia kesehatan, yang pernah terlupakan..Amin. (AF)

Minahasa, 22 Januari 2017

 

Kepustakaan

  1. “Jokowi lauds jamu”. The Jakarta Post. Jakarta. 25 Mei 2015
  2. “Bedanya Jamu, Herbal Terstandar dan Fitofarmaka”. Lansidablogspot.com
  3. Indira Permanasari; Aryo Wisanggeni(21 Februari 2012). “Jejak Mataram Kuno di Sindoro”. Ekspedisi  Cincin Api Kompas( di Indonesia)
  4. “Jamu dan Lulur, Rahasia Cantik Para Putri Keraton”. Tribun Jogja(Indonesia). 21 Mei 2013
  5. Susan-Jane Beers, Jamu : The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing (Hong Kong : Periplus, 2001)
  6. J. Kloppenburg-Veersteegh, Wenken en Raadgevingen Betreffende het Gebruik Van Indische Planten, Vruchten Enz.[Guidance and Advice Regarding The Use of Indies Plants, Fruits, Etc], 2 Vols (Semarang : G.C.T. van Dorp, 1911)
  7. Bontius, Jacobus, De Medicina Indorum,Leyden : Franciscus Hackius, Lugduni Batavorum, 1642
  8. Georgius Everardus Rumphius, Het Amboinsche Kruidboek (Herbarium Amboinense)Amsterdam : Francois Changuion & Hermanus Uytwerf, 6 volumes

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun