Ada satu hal lagi yang cukup “meresahkan”(menurut penulis) yang saat ini sedang berlangsung dalam dunia kesehatan : perubahan paradigma pengobatan, dari yang sebelumnya lebih bersifat chemical based medicineatau pengobatan berbasis kimiawi menjadi natural based medicine atau pengobatan berbasis natural. Hal ini berdasarkan fakta bahwa penggunaan obat kimiawi, terutama dalam jangka panjang dan dosis yang tidak tepat, justru bisa mengakibatkan masalah kesehatan di kemudian hari, mulai dari efek samping, drug induced diseases/ iatrogenic(penyakit yang dicetuskan obat), intoksikasi / keracunan, kerusakan liver dan ginjal, overdosis dsb. Dan hal-hal ini rupanya tidak terjadi pada obat yang berbasis natural, karena obat yang berbasis natural ialah senyawa alami yang ada di alam, sehingga lebih mudah “dikenali” dan dimetabolisme oleh tubuh manusia. Berbeda dengan obat berbasis kimia yang dibuat lewat rekayasa biomolekuler, yang secara alami tidak ada di alam, sehingga sering dianggap substansi asing oleh tubuh dan sulit dimetabolisme secara tuntas(ingatlah bahwa tubuh kita ialah ciptaan Tuhan, bukan buatan pabrik/mesin..!).
Berdasarkan fakta ilmiah tersebut, saat ini, para ahli kesehatan mencari alternatif pengobatan yang lebih aman dan juga efektif dan jawabannya terletak pada natural based medicine,dimana salah satu prototype-nya ialah jamu. Artinya kalo kita tidak berusaha untuk menghargai dan melestarikan jamu, jangan heran kalo bangsa lain yang mengadopsi dan mematenkan sebagai miliknya..Mau..??Sudah cukup banyak kekayaan bangsa Indonesia yang ironisnya justru dinikmati bangsa lain..Apakah jamu juga..?
Biarlah hati nurani kita sebagai anak bangsa yang menjawab..
Dari artikel sederhana ini, penulis mengajak segenap anak bangsa untuk belajar lebih menghargai dan mencintai milik bangsa sendiri. Begitu banyak kekayaan bangsa Indonesia yang dikagumi bangsa-bangsa di dunia, tapi justru tidak dihargai oleh masyarakatnya sendiri. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih mengagumi milik dan budaya bangsa lain, harus segera dikikis supaya kita bisa menjadi bangsa yang punya identitas dan bermartabat di mata dunia. Kewajiban kita untuk lebih menghargai dan melestarikan kearifan lokal, terutama jamu, ialah mutlak hukumnya. Dan kalo kita sudah memiliki spirit ini, penulis yakin bahwa jamu akan kembali menjadi primadona dunia kesehatan, yang pernah terlupakan..Amin. (AF)
Minahasa, 22 Januari 2017
Kepustakaan
- “Jokowi lauds jamu”. The Jakarta Post. Jakarta. 25 Mei 2015
- “Bedanya Jamu, Herbal Terstandar dan Fitofarmaka”. Lansidablogspot.com
- Indira Permanasari; Aryo Wisanggeni(21 Februari 2012). “Jejak Mataram Kuno di Sindoro”. Ekspedisi Cincin Api Kompas( di Indonesia)
- “Jamu dan Lulur, Rahasia Cantik Para Putri Keraton”. Tribun Jogja(Indonesia). 21 Mei 2013
- Susan-Jane Beers, Jamu : The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing (Hong Kong : Periplus, 2001)
- J. Kloppenburg-Veersteegh, Wenken en Raadgevingen Betreffende het Gebruik Van Indische Planten, Vruchten Enz.[Guidance and Advice Regarding The Use of Indies Plants, Fruits, Etc], 2 Vols (Semarang : G.C.T. van Dorp, 1911)
- Bontius, Jacobus, De Medicina Indorum,Leyden : Franciscus Hackius, Lugduni Batavorum, 1642
- Georgius Everardus Rumphius, Het Amboinsche Kruidboek (Herbarium Amboinense)Amsterdam : Francois Changuion & Hermanus Uytwerf, 6 volumes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H