Pemuda itu lahir di abad ke 20 sehingga tidak merasakan langsung perih getir sebuah revolusi. Revolusi-revolusi yang mahsyur itu hanya ia dengar dari mulut seseorang yang lebih tua, hanya ia baca dari setumpuk buku tua, dan hanya ia dengar dari media media sejarah. Pemuda itu hidup di zaman semuanya sudah jadi, hidup dimana demokrasi sudah bukan menjadi barang mentah lagi. Pemuda itu juga kurang begitu yakin tahu bagaimana lahirnya demokrasi, tapi ia tahu demokrasi pasti lahir dari sebuah revolusi.
Demokrasi di negaranya, menjadi sesuatu yang di agung agungkan, berubah bentuk menjadi paham yang terglorifikasi di negaranya. Hal itu pun dia maklumi, karena sudah sekian lamanya negara yang ia tempati itu menjadi tempat subur tumbuhnya sebuah tirani dan oligarki. Â Pemuda itu tidak merasakan apa yang namanya diculik, diambil hak suaranya, diasingkan, bahkan diambil hak keberedaannya. Â Rasa syukur seringkali terucap dalam hati pemuda itu tapi juga ada rasa jengkel di dalam hatinya yang tidak bisa ia bohongi.
"Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" itulah sebenarnya intisari dari sebuah demokrasi. Kekuasaan tertinggi dari sebuah negara ada di tangan rakyat, itulah hakikatnya dari sebuah demokrasi. Paham ini bukan lahir sendiri dari negaranya, melainkan diadopsi dari yunani kuno dimana saat itu aristoteles masih ada didalamnya. Lalu paham ini berkembang dan seolah menjadi air segar di zaman depresi besar di eropa kala itu. Bagaikan yin dan yang, tidak semua mendukung subur tumbuhnya air segar ini. Stalin adalah satu contoh orang yang tidak mau berkompromi dengan sesuatu yang bernama demokrasi ini. Pembersihan dimana dimana dilakukan oleh stalin, sampai penasihatnya ikut dibersihkan.
Setiap orang punya hak yang sama untuk berpendapat,berkompromi, atau bahkan menentang itu menjadi hal yang langka di negara negara yang disesaki oleh para diktator. Pembersihan dilakukan secara besar-besaran, setiap dari mereka yang berbeda, baik pendapat,warna kulit, atau bahkan ideologinya harus dibersihkan dan dibuang jauh-jauh. Jangan salahkan bunda mengandung tidak berlaku untuk kasus yang seperti itu, bagaimana kehidupan dia selanjutnya sangat ditentukan oleh dari rahim mana dia lahir, anak kulit putihkah? Dari rahim penyandang cacat? Dari rahim sebuah ratukah?  Atau rahim orang roma gipsi?  Adolf hitler lah yang bisa menjawab dan mempunyai solusi akhir atas semua itu, semua yang dianggap mengotori sebuah supremasi satu golongan.
Lalu demokrasi datang, membawa kabar gembira. Seluruh dunia demam demokrasi, demokrasi dimana-mana,demokrasi disana-sini. Datangnya sebuah demokrasi yang harus dibayar mahal sebelumnya karena melalui perjalanan panjang bernama revolusi dan juga demonstrasi, memang sepertinya harus sedikit dirayakan. Tapi atas nama demokrasi juga sekarang pemimpin-pemimpin seperti tidak ada kehormatannya. Atas nama demokrasi juga tidak ada yang namanya privasi, setiap orang benar benar ditelanjangi di media. Atas nama demokrasi juga, orang yang intelek kalah tenar dengan orang yang tidak tahu apa apa sama sekali tapi berlagak tahu. Atas nama persamaan suara.
Pemuda itu mengibaratkan demokrasi di negerinya sekarang sudah mencapai level seperti ini: Ada 20 orang yang ingin menaiki gunung, 3 dari 20 orang itu pandai naik gunung, 17 lainnya tidak pernah naik gunungnya. Sayangnya 17 lainnya benar benar tidak tahu dan sok tahu sehingga menganggap pengetahuan 3 orang tadi sama dengan 17 lainnya. Atas nama demokrasi dan suara terbanyak, pasti mereka mengikuti suara 17 orang tadi, lalu 3 orang yang tahu ini terpaksa mengalah atas nama suara mayoritas. Mungkin 20 orang tadi seminggu kemudian, sudah menjadi headline di beberapa surat kabar.
Demokrasi yang begitu agung itu sudah hilang semangatnya. Demokrasi hanya menjadi sebuah produk yang dijual kepada konsumen, guna mendapatkan untung. Demokrasi pasti berjalan baik dan lancar apabila setiap yang ada di dalamnya mafhum atas demokrasi itu sendiri. Demokrasi itu pasti berjalan semestinya, andai saja setiap orang tahu batasan dan memang punya intelektual yang tinggi. Seperti kata tan malaka, padi tumbuh tak berisik, setiap orang yang berisi itu pasti tidak berisik. Demokrasi itu pasti benar benar menjadi obat mujarab atas sebuah revolusi kelam yang dulu dilalui, jika kita tidak terlena di dalamnya. Asalkan kita tidak menaganggap demokrasi itu sebuah finish, melainkan sebuah start. Pemuda itu berpikir kalau demokrasi itu sebuah finish, maka tak usah kaget jika chaos akan terjadi dimana-mana, karena kita semua tidak punya tujuan, mau dikemanakan-kah demokrasi ini?
Memang benar kata Goenawan Muhammad kalau demokrasi itu tidak bisa dipesan sekaligus layaknya sebuah nasi bungkus. Harus ada perih getir dulu disana, generasi instan yang bahkan jarang berkeringat ini tidak bisa merasakan seberapa berharganya, harga dari sebuah demokrasi. Lucunya, pemuda itu menganalogikan demokrasi kini mirip dengan kotoran ternak.
Kotoran ternak itu bisa dilihat dari atau perspektif berbeda, berguna bagi mereka yang bisa mengolah jadi sebuah pupuk kompos, yang membawa berkah bagi setiap tanaman yang disinggahinya. Atau bisa jadi kotoran ternak itu hanya dianggap biasa saja bagi orang orang dijalan, bahkan dianggap mengotori jalanan dan membiarkan tukang pembersih jalan membersihkan kotoran itu. Atau lebih ekstremnya, bisa jadi jamur jamur yang tumbuh dari kotoran ternak itu karena sifatnya yang memabukkan dijual kepada orang yang gemar berfantasi dan menyebabkan kericuhan setelahnya.
Demokrasi juga seperti itu. "Persis" ucap pemuda itu yang yakin sekali dengan pendapatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H