Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Siapkah Indonesia Dipimpin oleh Seorang Minoritas?

23 Mei 2016   11:17 Diperbarui: 23 Mei 2016   11:31 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam waktu dekat ini, Indonesia akan segera menyelenggarakan Pilkada 2017. Pilkada 2017 ini diwarnai dengan majunya berbagai macam calon dari berbagai daerah. Sekarang, masyarakatpun mulai menimbang-nimbang dan memikirkan kandidat apa yang cocok untuk memimpin mereka.

Pilkada tahun 2017 ini memunculkan beberapa keasikan tersendiri dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Magnet perhatian dari Pilkada Tahun 2017 adalah hadirnya calon independen dari DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau disebut juga Ahok. Kehadirannya kerap kali menimbulkan pro dan kontra. Pro, karena Ahok dikenal berhasil membenah Jakarta lebih baik dibanding gubernur-gubernur sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari pembenahan sistem anggaran, pembenahan masalah banjir, pembangunan MRT dan pembenahan tata ruang kota. Kontra, karena ia sering kali dikenal sebagai orang yang berbicara kasar, keras, dan kurang sopan.  Dengan kriterianya yang seperti itu, isu SARA (suku, ras, dan agama) seringkali dikaitkan dengan dia. Kasus Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta juga menjadi isu yang sangat berpotensi menurunkan citra Ahok itu sendiri.

Dengan gaya baru yang terlihat diminati masyarakat, ia berani mengambil langkah sebagai calon independen dalam Pilkada kali ini, tanpa bantuan partai.

Hadirnya Ahok dalam percaturan politik Indonesia setidaknya menimbulkan dua pertanyaan besar. Pertama, siapkah Indonesia – bukan hanya Jakarta untuk menerima seorang calon yang termasuk dalam golongan minoritas? Kedua, seberapa rasional masyarakat Indonesia dalam menilai sebuah kandidat?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, hal ini perlu memperlihatkan kondisi demografis di setiap daerah. Mengingat setiap daerah memiliki kondisi demografis yang berbeda, masyarakat dan partai politik menimbang-nimbang sosok seperti apa yang mampu memenangkan pemilu. Sosok ini haruslah sosok yang bisa diterima dari masyarakat secara luas.

Tidak jarang bagi masyarakat di beberapa daeah di Indonesia, latar belakang SARA menjadi syarat yang sangat diperhatikan dalam memenangkan konstelasi politik di daerah. Seringkali, isu ini digunakan sebagai kampanye hitam untuk memenangkan sebuah calon. Hal ini sangat jelas terlihat dalam Pemilu Presiden 2014, ketika isu SARA digunakan untuk mengdiskreditkan salah seorang kandidat Presiden. Akibatnya, masyarakat yang tergolong dalam minoritas sulit maju dan bersaing dalam sebuah pemilu. Sedihnya, kondisi seperti ini kerap didiamkan dan dianggap bukan sebuah masalah serius. Dibanding menyelesaikan permasalahan yang dapat menyebabkan disintegrasi Indonesia, kondisi ini dibiarkan terus-menerus, karena masih dianggap aman bagi sekelompok mayoritas tertentu.

Dengan kondisi seperti ini, hal ini jelas menghambat masyarakat Indonesia untuk melihat secara jelas dan objektif kapasitas dari golongan minoritas tersebut dalam konstelasi politik daerah. Melihat latar belakang seseorang berdasarkan SARA tentunya tidak salah, karena hal tersebut merupakan hak masyarakat. Namun, apabila kita mengesampingkan kapasitas dan kemampuan seseorang hanya karena SARA, hal ini sangat memprihatinkan. Artinya, setelah 70 tahun Indonesia merdeka, Pancasila dinilai gagal menjadi pedoman hidup bernegara. Saat ini, tidak jarang ada sekelompok masyarakat yang semakin radikal untuk mengubah NKRI menjadi negara yang menganut asas agama tertentu. Apabila pemerintah dan masyarakat terus menutup mata akan hal ini, maka pengamalan nilai-nilai Pancasila akan sulit dilihat oleh masyarakat.

Berkaca dari Amerika

Sebagai sebuah negara adikuasa, Amerika sendiri sangat sulit menerima calon pemimpin yang tidak berkulit putih atau beragama Protestan. Barack Obama dan John F. Kennedy merupakan contoh-contoh orisinil yang membuktikan bahwa Amerika membutuhkan waktu hampir 250 tahun untuk menerima pemimpin masyarakat yang bukan berasal dari golongan mayoritas  Saat ini, kita juga melihat adanya golongan orang berketurunan India menjadi senator di Amerika Serikat. Sebagai negara adidaya, Amerika telah berhasil melewati proses yang tidak mudah tersebut -- masa dimana terdapat stigma bahwa sebuah negara harus dipimpin oleh ras dan agama tertentu. Melalui pengalaman Amerika, kita bisa melihat bahwa seorang pemimpin masyarakat seharusnya tidak hanya dinilai dari latar belakang SARA, tetapi dari kapasitas yang dimiliki.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia. Setelah 70 tahun merdeka, Indonesia telah berhasil menerima beberapa wakil masyarakat dari golongan minoritas. Hal ini sungguh ajaib, mengingat stigma seorang pemimpin harus berasal dari agama dan suku tertentu bisa dipatahkan. Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia pada dasarnya memiliki potensi yang lebih besar menerima perbedaan dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Momentum ini seharusnya dipertahankan dan dijaga, bukannya diabaikan. Hal ini karena masyarakat Indonesia dapat lebih menilai seseorang bukan berdasarkan golongan tertentu, tetapi berdasarkan prestasi seseorang. Masyarakat Indonesia perlu didorong untuk berpikir secara rasional, bukan berdasarkan pada pemikiran sempit yang telah dijelaskan sebelumnya.

Hal yang dimaksud dengna rasional disini adalah masyarakat tidak hanya memilih seseorang bukan berdasarkan penampilan atau tampilannya di media, tetapi menilai masyarakat dari apa saja yang sudah dilakukan untuk masyarakat. Dalam konteks kebijakan publik, tidak ada satu kebijakan yang mampu menyenangkan semua pihak. Oleh karena itu, masyarakat perlu menilai secara objektif setiap visi, misi, dan program-program yang telah dilaksanakan -- dan tidak serta-merta menerima mentah-mentah apa yang dikatakan media. Jangan sampai masyarakat buta terhadap calon kandidat yang memang didukungnya karena seorang pemimpin tidak lepas dari masalah dan celah. Disinilah masyarakat perlu mengawal setiap proses yang terjadi di kalangan masyarakat.

Pemilu serentak 2017 semakin mendekat. Inilah saatnya masyarakat membuka mata, hati, dan pikiran terhadap kandidiat-kandidat. Bila masyarakat Indonesia mampu berpikir semakin rasional dan objektif.  Written by: Kevin Tan. Penulis merupakan Presiden dan pendiri Indonesia Berbicara. Saat ini, dia bekerja sebagai staf ahli di Komisi X DPR-RI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun