Seperti yang kita ketahui, laut menjadi sarana utama berbagai kepentingan strategis bertemu, karena laut memiliki peran yang sangat penting tidak hanya dari segi politik dan keamanan, namun juga dari segi ekonomi. Dalam perspektif politik dan keamanan, laut menjadi wilayah yang tak terpisah dari batas-batas kedaulatan negara. Selain itu, klaim wilayah karena kaitannya dengan posisi dan keberadaan sumber daya alam seringkali memicu konflik antar negara. Selanjutnya, dari bidang ekonomi, laut merupakan sarana transportasi untuk perdagangan internasional dan suplai energi yang menyokong sebuah negara juga menggunakan laut sebagai jalur transportasi energi.
Sebagai satu-satunya kawasan dengan tingkat heterogenitas yang tinggi kawasan Asia Pasifik seringkali dipandang sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap konflik dengan dasar keseimbangan kawasan yang tergolong rapuh. Salah satu konflik teritorial yang mengemuka di kawasan Asia Pasifik adalah konflik maritim di Laut Cina Selatan, yang melibatkan beberapa negara di kawasan ini termasuk diantaranya Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
“Sejumlah negara saling mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan beberapa dekade terakhir ini. Namun, ketegangan baru-baru ini dikhawatirkan menjadi bom waktu terjadinya perang berdampak global.”
Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta km². Secara geografis Laut China Selatan terbentang dari arah Barat Daya ke Timur Laut, yang batas Selatannya 3°LS, antara Sumatera Selatan dan Kalimantan [Selat Karimata] dan batas utaranya ialah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir di Fujian di Cina daratan. Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan terluas kedua setelah kelima samudera di dunia.
Bila dilihat dalam tata Laut Internasional, kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki nilai strategis, ekonomis, dan politis. Sehingga kawasan laut ini memiliki potensi konflik dan kerja sama yang tinggi. Selain karena kawasan Laut Cina Laut Selatan merupakan jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta jalur distribusi minyak, kawasan ini juga memiliki kandungan kekayaan alam yang sangat besar. Sehingga menjadikan kawasan ini sebagai objek sengketa klaim wilayah siapa pemilik kawasan ini sesungguhnya.
Dengan melihat adanya konflik di kawasan Laut China Selatan yang sudah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu dan belum terselesaikan hingga saat ini. Sejatinya, keterlibatan beberapa anggota ASEAN dalam persengketaan kepemilikan Pulau Spratly dan Pulau Paracel di kawasan Laut Cina Selatan telah mendorong Indonesia untuk berpikir dan mencari cara bagaimana penyelesaian terbaik dalam mengatasi persengkataan itu,
Namun sangat disayangkan, penyelesaian tidak menemukan titik temu dan perundingan-perundingan damai yang dilakukan belum mencapai kesepahaman atas kepemilikan kedua pulau di kawasan ini. Hal ini, berkaitan dengan adanya kepentingan dari negara penguasa dunia, Amerika Serikat pasca berakhirnya perang dingan dengan Uni Soviet. Sementara, di kawasan Asia-Pasifik munculnya kekuatan baru, China yang mulai menunjukkan taringnya sebagai negara hegemoni baru di era abad-21.
Cina yang pertama kali mengklaim bahwa kedua pulau tersebut yang terletak kurang lebih 1.100 KM dari pelabuhan Yu Lin [Pulau Hainan, Cina] merupakan kedaulatan negara Cina berdasarkan dokumen-dokumen kuno. Namun, hal tersebut dibantah oleh Vietnam. Vietnam menyatakan bahwa wilayah kedua pulau tersebut merupakan bagian wilayah negaranya sejak abad ke-17. Terjadilah perang dingin antara Cina dan Vietnam dengan memutuskan hubungan diplomatik, tetapi beberapa tahun kemudian hubungan diplomatik tersebut kembali terjalin. Yang selanjutnya diikuti klaim dari Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunnei Darussalam.
Menurut saya, persoalan ini menjadi semakin kursial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan karena kedua pulau tersebut memiliki cadangan minyak mentah yang berlimpah. Sehingga masing-masing negara mengklaim kepemilikannya baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing negara.
“Berdasarkan peta “U” [nine dash line] yang dikeluarkan oleh Pemerintah Cina tahun 1993, permasalahan bukan hanya terfokus kepada Pulau Spratly dan Pulau Paracel saja, namun berimbas langsung pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang mengganggu stabilitas nasional khususnya pada aspek politik, ekonomi, dan pertahanan Indonesia. Faktor inilah yang mendorong Indonesia berperan aktif dalam menyelesaikan solusi sengketa di wilayah Laut Cina Selatan”.
Penguasaan kawasan Laut Cina Selatan memberi keuntungan besar bagi penguasaan ekonomi melalui jalur perdagangan laut dan berpengaruh langsung kepada negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ketergantungan ekonomi antar negara kawasan ASEAN akan terganggu dengan adanya, sengketa di Laut Cina Selatan.
Konflik yang terjadi, dapat menyebabkan terganggunya stabilitas perekonomian yang disebabkan naiknya harga dari hasil eksplorasi pertambangan minyak mentah dan gas bumi dunia yang berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [disingkat APBN] Indonesia akibat terganggunya wilayah utara Kepulauan Natuna. Dan secara otomatis dengan adanya perubahan APBN juga mempengaruhi penurunan atau peningkatan anggaran pada masing-masing Kementrian.
Jika di lihat dari kacamata politik terhadap konflik tersebut, Indonesia memiliki orientasi kebijakan luar negeri yang bersifat netral. Peran aktif Indonesia dengan tidak memihak maupun yang turut serta dalam konflik Laut Cina Selatan merupakan salah satu cerminan politik luar negeri Indonesia, yaitu bebas aktif. Dalam konteks konflik Laut Cina Selatan ini, artian bebas yakni dengan tidak memihak, sedangkan aktif yakni Indonesia turut serta dan bergabung dalam organisasi-organisasi internasional seperti, ASEAN dan tetap mengupayakan perdamaian kawasan.
“JALESVEVA JAYAMAHE”, masih ingatkah kalian dengan adigium ini? Ya, merupakan adigium TNI Angkatan Laut Indonesia, yang berarti “Di Laut Kita Berjaya.”
Tidak dipungkiri Indonesia memiliki pengaruh besar di ASEAN yang mengantarkan Indonesia menjadi primadona dalam konflik Laut Cina Selatan. Walaupun konflik ini merupakan ancaman kestabilian keamanan nasional, Indonesia menyikapi konflik ini dengan bijak dengan tetap berpedoman pada politik luar negeri yang bebas aktif, namun tetap memelihara kerjasama bilateral maupun multilateral dan menciptakan perdamaian dalam konflik Laut Cina Selatan ini.
Terkait konflik kawasan Laut Cina Selatan, perlu adanya upaya pembangunan sistem pertahanan nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Upaya ini dilakukan untuk keutuhan wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yaitu kawasan Kepulauan Natuna yang merupakan penghubung antara kawasan Samudera India dan Laut Cina Selatan menjadi pilihan lintasan terpendek bagi kapal-kapal perang yang ingin menuju wilayah konflik di Laut Cina Selatan dan kondisi demikian dapat menimbulkan komplikasi tersendiri terhadap Indonesia.
Sikap netral Indonesia dalam menyikapi konflik Laut Cina Selatan memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal modernisasi alat utama persenjataan [Alusista] pertahanan nasional dengan menjaga hubungan bilateral diantara negara-negara kawasan ASEAN.
Namun, perlu untuk direnungkan dan diperhatikan keberadaan pulau-pulau terluar yang menjadi batas territorial Indonesia dengan negara tetangga lainnya. Ini bukan hanya tugas Pemerintah, tetapi juga merupakan tugas Bangsa Indonesia untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas ini tidak muncul ketika konflik itu sudah terjadi, melainkan harus dimulai sejak dini. Sehingga tidak terulang kembali kejadian Pulau Sipadan-Ligitan dalam konflik ini.
Jika kita telah mempunyai “rasa memiliki” maka sudah tercipta fondasi awal kekuatan pertahanan Indonesia. Untuk tahan selanjutnya, adalah kerjasama antara pemangku kekuasaan dengan masyarakat Indonesia guna mencegah perembesan atau perluasan [spill over] konflik Laut China Selatan yang secara tiba-tiba mengarah ke pulau-pulau terluar Indonesia, khususnya terkait dengan konflik ini, yaitu wilayah utara Kepulauan Natuna, sekaligus juga mengamankan eksplorasi pertambangan minyak yang berada sekitar ZEE Indonesia.
Written by: Atika Mega Chairina, Faculty of Law University of Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H