Mohon tunggu...
Politik

Pancasila: Perlukah Dikaji Ulang?

16 Maret 2016   17:04 Diperbarui: 16 Maret 2016   17:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana bisa kita mendefinisikan apa dasar kebijakan ekonomi kita? Sementara dasar negara kita sendiri tidak dapat didefinisikan dengan jelas, dikarenakan dasar negara yang kita pakai mengombinasikan berbagai ideologi berbeda yang ada di dunia.

            Begitulah kira-kira opini yang saya lontarkan setahun yang lalu, di kelas “Negara, Pasar, dan Masyarakat”. Suasana diskusi yang terbangun menjadi agak hening setelah opini tersebut dilontarkan. Pernyataan tersebut tidak terdiskusikan dengan lanjut melainkan terlontarkan kembali setahun kemudian, di kelas yang berbeda. Ketika kejadian tersebut berlangsung setahun yang lalu, saya dan kawan-kawan sekelas (yang didominasi oleh senior) membahas mengenai identitas Indonesia dengan berbagai kebijakan ekonomi yang diemban, disertai diskusi akan pertanyaan-pertanyaan dasar ala mahasiswa: “Apakah Indonesia termasuk negara welfare-state? Apakah yang dimaksud dengan ekonomi Pancasila itu sendiri?”, dan lain-lain. Di kesempatan kedua, opini tersebut ditanggapi secara “panas”, namun kembali “meredam” setelah saya memaparkan analisis saya.

            Rentang waktu satu tahun tersebut pada akhirnya membentuk konstruksi berpikir yang lebih jelas bagi diri saya pribadi. Seketika, saya mendapatkan pemahaman baru mengenai bagaimana sebenarnya paradigma masyarakat Indonesia itu terbangun sekian lama, yang puncak pembuatannya berada pada diri dasar negara Indonesia: Pancasila.

            Perlu untuk direnungkan bahwa masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia cenderung untuk memiliki sifat indecisive dan schizophrenic. Budaya ambiguitas alias abu-abu yang cenderung dipelihara bukanlah semata-mata berakar pada folkways masyarakat kita yang memang suka merasa “segan” ataupun “maju-mundur”, melainkan karena aktor vital yang memayungi negara itu sendiri tidak mencerminkan “ketegasan” yang memisahkan hitam dan putih. Fenomena tersebut semakin terlihat setelah rezim Orde Baru jatuh, dimana masyarakat tidak lagi memiliki kelompok penekan yang akan “membungkam” setiap opini “miring”.

 Ketika masyarakat kehilangan “pengekang”, kecenderungan untuk memilih dengan pertimbangan sendiri semakin besar, namun dibarengi dengan sikap ragu-ragu yang justru memicu masalah. Di samping itu, nilai-nilai nasionalisme tetap terus digemuhkan di kalangan masyarakat. Hal positif tersebut menjadi bumerang bagi diri kita sendiri ketika budaya mengkritik baru dimunculkan pasca reformasi lahir: mengkritik pemerintah memunculkan kesan akan tindakan kurang menghargai upaya (effort), yang justru berbahaya untuk pembangunan negara.
***

            Di dalam paragraf di atas, aktor vital yang dimaksud adalah pemerintah. Kita tentu mengetahui bahwa pada masa Orde Baru, ketegasan tersebut terlihat dari bagaimana cara pemerintah mencoba untuk merasuki setiap sisi masyarakat. Hal tersebut tidak bisa disebut sebagai bentuk “ketegasan” yang terkandung sebagai representasi Pancasila, melainkan bagaimana kita memahami bahwa hal tersebut lebih tepat untuk disebut sebagai a power from above.  Jadi, bagaimanakah sebenarnya ideologi Pancasila itu sendiri?

            Di dalam buku Indonesian Political Thinking: 1945-1965, Herbert Feith dan Lance Castles mengklasifikasikan pemimpin Indonesia menjadi dua tipikal: solidarity maker dan administrator. Tipe solidarity maker merupakan tipe yang mampu untuk berperan sebagai “penyambung lidah rakyat”. Kemampuan “bercakap-cakap” yang dimiliki tipe solidarity maker turut mempengaruhi term serta gaya decision-making yang dimiliki oleh orang-orang dengan tipe tersebut. Berbeda dengan solidarity maker, para pemimpin administrator cenderung untuk berdiskusi secara intens dengan “sesama” (kalangan cendekiawan), dikarenakan dalamnya pemikiran mereka tidak sebanding dengan kemampuan untuk menjelaskan persepsi yang dimiliki kepada masyarakat.

            Menurut saya, ketika pembuatan undang-undang serta dasar negara berlangsung, solidarity makers yang kita miliki dahulu cenderung untuk mengambil segala bentuk nilai-nilai positif yang ada di dalam berbagai ideologi. Hal tersebut turut dipicu oleh keadaan politik dan status Indonesia pada masa tersebut. Sehingga, bapak bangsa (founding fathers) “terpaksa” untuk segera menyelesaikan formulasi yang dimiliki, ditambah dengan adanya desakan dari pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Situasi ini berusaha untuk dikendalikan oleh bapak bangsa, yang mayoritas bertipe solidarity maker.

            Representasi solidarity maker dengan kecenderungan tersebut dapat dilihat dari dalam diri Soekarno. Marhaenisme merupakan produk political thought Soekarno, ideologi yang mencampurkan nilai-nilai Barat dengan nilai-nilai Timur. Percampuran nilai-nilai yang terkadang disebut sebagai the third way adalah sebenarnya merupakan bentuk indecisive action. Hal tersebut turut diterapkan ketika perancangan dasar negara berlangsung, yang turut berlanjut ke pembentukan undang-undang dasar. 

Hingga saat sekarang, dapat dilihat bahwa bentuk decision-making ini masih terjadi di kalangan masyarakat dan pemerintah. Akibatnya, pemahaman mengenai dasar negara Pancasila itu sendiri masih bersifat ambigu: bagaimanakah sebenarnya dasar negara kita? Apakah sila pertama di dalam Pancasila memang merepresentasikan kedudukan Tuhan sebagai Yang Maha Satu?

            Saya tidak menyatakan bahwa cara tersebut salah, namun refleksi tersebut memberikan jawaban akan mengapa masyarakat Indonesia bersifat sulit mengambil keputusan (indecisive), cenderung untuk langsung mengimitasi segala hal yang berlabel “bagus”, lalu bingung ketika berusaha untuk mendefinisikan jati diri. Fenomena ini turut menunjukkan bahwa critical thinking yang dimiliki masyarakat Indonesia masih bersifat minim (meskipun angka-angka kualitatif fenomena yang terkait meningkat seiring berjalannya waktu), dikarenakan masyarakat kita masih mudah terpengaruh untuk menerima apa yang ada. Dengan demikian, pengkajian ulang terhadap dasar negara Pancasila adalah suatu yang hal menarik, terlepas dari apakah hal tersebut layak untuk dilakukan atau ditiadakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun