Norbertus Riantiarno adalah salah satu sutradara, aktor panggung, dan penulis lakon ternama di Indonesia. Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia saat ini. Sehingga sudah banyak penghargaan yang ia raih dan menjadi salah satu dramawan terbaik atas karya-karya yang telah ia buat bahkan satu karyanya yaitu Sampek dan Engtay (2004) Â masuk museum rekor Indonesia sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama.
Sampek dan Engtay adalah sebuah kisah klasik yang tragis sekaligus romantik dan merupakan khazanah cerita rakyat Tiongkok, telah disadur oleh Nano, diadaptasi dengan kebudayaan serta keadaan masyarakat di Indonesia tanpa mengubah cerita di dalamnya, menjadikannya sebuah bentuk akulturasi melalui kesenian yang justru memperkaya khazanah budaya masyarakat Indonesia.
Nano Riantiarno, sebagai penulis sastra drama sekaligus sutradara, menunjukkan pandangan dunia yang dapat dikatakan multidimensional. Salah satunya adalah dimensi mendunia (global), yaitu ditunjukkan melalui karya-karya khazanah sastra duia yang disadurnya ke dalam situasi dan suasana keindonesiaan (lokal). Perkawinan dua dimensi itu tak urung melahirkan sebuah wacana baru dalam kehidupan teater modern Indonesia dan tradisi penulisan sastra drama di Indonesia.
Dalam pementasannya itu, penonton tidak diarahkan untuk berjarak dan bersikap kritis terhadap realitas panggung, tetapi penonton disuguhi sebuah tontonan kocak dan menghibur. Tontonan yang kocak dan menghibur itulah salah satu ciri keberhasilan Nano Riantiarno dari setiap karya dan pertunjukannya. Kelebihannya dari mengawinkan kisah tragedi dalam bentuk komedi, Parodi sampai pada hal-ihwal yang menyangkut kondisi keindonesiaan, lewat kritik, budaya lokal, dan upaya hibridasi dari berbagai pengaruh dan budaya, baik asinglokal, baru-lama, dan sebagainya
Dikemas dengan komedi pintar bercita rasa modern, Sampek Engtay sukses menghibur ribuan penonton dan menarik perhatian berbagai pihak, dari pecinta seni pertunjukan hingga masyarakat luas. Karena sambutan yang sangat baik, Teater Koma mengadakan tiga pertunjukan tambahan. Tiga pertunjukan tambahan tersebut bahkan belum bisa memenuhi jumlah semua peminat yang ingin menonton.
 Dalam hal itulah, karya-karya Nano Riantiarno menjadi sebuah wacana yang mengingatkan kembali bahwa akulturasi lokal-global yang mampu memberikan pencerahan dan membuka kreativitas yang sangat luas.
Dari sikap kepengarangan tersebut dapat ditemukan bahwa Nano memanfaatkan potensi khazanah budaya global dan lokal yang digunakan untuk mengusung gagasan-gagasannya dalam setiap karyanya. Ia mampu membaca dan keinginan para penontonnya.
Kisah Sampek Engtay dihadirkan dalam wujud saduran dengan menghadirkan latar sosial budaya dan latar tempat dan waktu yang sangat Indonesia. Latar budaya Betawi dan kondisi Batavia pada awal abad ke-20 menjadi latarnya yang berbeda dengan waktu 'shahibul hikayat' atau dongeng. Latar waktu, Indonesia pada awal abad ke- 20, adalah awal munculnya benih-benih nasionalisme dan kesadaran kebangsaan dan pendidikan. Di sisi lain dalam naskah sandiwara tersebut, gaya dan nada kocak, satir dan komedi hadir mewarnai teksnya, yang tentu saja berbeda dengan nuansa asli dari kisah cinta tak sampai itu, yang dikategorikan sebagai lakon tragedi. Meski demikian, prinsip dasar cerita yang mengungkap tentang nilai universalitas manusia tentang pengorbanan, cinta, dan kematian, tidak banyak berubah .
Suksesnya Sampek Engtay ini semakin membuktikan bahwa dunia seni pertunjukan Indonesia telah mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan diharapkan dapat semakin meningkatkan rasa cinta terhadap Budaya dan karya anak bangsa. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta terhadap Indonesia. Karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.
Naskah yang disadur Riantiarno memang sebuah karya baru yang berbeda dengan karya sebelumnya sebagaimana yang sudah disinggung dalam sekelumit latar belakang masalah ini. Dari asumsi dasar bahwa naskah Nano Riantiarno sebagai karya saduran dan terdapat perbedaan antara naskah Nano Riantiarno dengan versi lainnya, dapat diungkap beberapa masalah terkait hasil sambutan naskah Nano Riantiarno sebagai bentuk saduran baru terhadap karya-karya yang bersumber pada kisah Sampek Engtay lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H