Dalam budaya positif, kita mempelajari tentang bagaimana kita menerapkan kegiatan yang mampu menciptakan nilai-nilai positif dimana dengan hal yang positif suasana sekolah akan menyenangkan, siswa merasa aman dan nyaman saat berada di sekolah. Penerapan budaya positif di sekolah saya diawali dengan menerapkan kesepakatan kelas, dimana seorang guru harus mampu menuntun siswa sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Pembelajaran di sekolah bukan saja memberikan ilmu, akan tetapi juga menanamkan Karakter pada siswa. Siswa itu seperti lahan yang perlu ditanami, sedangkan guru merupakan petani yang memasukkan budaya positif untuk pembentukan karakter siswa. Â Nilai guru penggerak yang diantaranya mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif dan berpihak pada murid sangat berkaitan dengan penerapan karakter budaya positif ini. Begitu juga peran guru penggerak yaitu menjadi pemimpin pembelajaran membuat kita sebagai guru harus mampu membimbing dan menuntun siswa salah satunya untuk membuat kesepakatan kelas.
Menciptakan siswa yang berkarakter baik tentunya merupakan sebuah impian dari semua guru, dari impian itulah seorang guru penggerak mempunyai visi untuk mencapai murid impiannya. Dengan visi itulah maka sebuah kegiatan yang menanamkan karakter salah satunya budaya positif mulai dirancang menggunakan manajemen perubahan Inkuiri Apresiatif (IA) dimana kita menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada di sekolah untuk membuat perubahan. Dengan menggunakan tahapan B-A-G-J-A perubahan tersebut dapat dilakukan dengan kolaborasi antara guru penggerak, kepala sekolah, rekan sejawat dan orang tua. Dengan Prakarsa perubahan kita mengharapkan dapat menanamkan budaya positif kepada siswa secara permanen sehingga tujuan pendidikan yaitu “Keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat" akan terwujud.
Pemahaman saya tentang disiplin positif adalah bagaimana cara kita menerapkan disiplin yang dimana kata disiplin sudah terukir di benak kita adalah sebuah "pemaksaan" sikap dengan "ketegasan" dan "hukuman" menjadi dengan cara yang positif, nyaman dan terkandung nilai-nilai kebajikan. Disiplin diri menurut Ki Hajar Dewantara memiliki motivasi dari dalam diri akan tetapi jika hal tersebut tidak dapat dilakukan maka seseorang butuh motivasi eksternal dari seseorang di sekitar mereka.Â
Ketika kita mendisiplinkan seorang siswa, kita harus memahami bagaimana cara mengontrol diri siswa. Diane Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang umum dan biasa diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol dan penerapan disiplin disekolah yaitusebagai penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau dan manajer. Diharapkan dari Kelima posisi kontrol inilah, kita mampu menerapkan disiplin positif kepada siswa kita.
Dalam sebuah prilaku negatif siswa, kita pasti akan menemukan kebutuhan dasar yang menjadi motivasi eksternal siswa melakukan hal tersebut. Diantaranya kebutuhan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, penguasaan, kebebasan dan kesenanagan. Dari hal itulah kita mulai mencari solusi dalam penyelesaian sebuah prilaku negatif siswa. Dimulai dari melihat keyakinan kelas yang sudah dibuat, kemudian berkomunikasi dengan menggunakan segitiga resistusi dalam penyelesaiannya. Sehingga siswa memahami nilai-nilai kebajikan universal yang sedang ditanamkan oleh seorang guru.Â
Dalam menerapkan budaya positif ini, saya mendapatkan pengalaman dimana ternyata dengan menerapkan segitiga resistusi dalam menyelesaikan sebuah masalah membuat dampak yang baik bagi siswa. Mereka tidak merasa sakit hati dengan perkataan kita, mereka merasa didengarkan keluh kesahnya dan mereka merasa mempunyai tanggung jawab untuk menata hati mereka dengan bertanggung jawab sesuai dengan kesepakatan kelas yang sudah mereka sepakati.Â
Saya merasa sangat senang dalam menerapkan budaya positif ini, karena terlihat siswa merasa nyaman dengan komunikasi yang diterapkan tanpa membuat siswa menjadi tertekan dengan hukuman kita. Sehingga mereka menjadi lebih terbuka bahwa yang kita terapkan adalah memunculkan motivasi dari diri mereka untuk mampu menerapkan nilai-nilai kebajikan universal. Saya juga merasa antusias dalam mempelajari resistusi ini, karena banyak hal yang dapat diselesaikan tanpa membuat kita menjadi seorang "guru penghukum". Â Karena selama ini saya masih menggunakan hukuman untuk mendisiplinkan siswa yang tentunya sangat bertentangan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Inilah yang perlu diperbaiki dari diri saya sehingga saya merasa sangat perlu untuk lebih memahami dan menerapkan budaya positif ini dalam kehidupan sehari-hari saya sebagai seorang pendidik.Â
Sebelum saya mempelajari budaya positif ini, Â saya sudah pernah melakukan segitiga resistusi. Akan tetapi saya tidak memahami yang saya lakukan ternyata salah satu tahapan segitiga resistusi. Ketika saya sudah mempelajari tentang segitiga resistusi ini ternyata yang sering saya lakukan adalah tahapan pada validasi tindakan yang salah dan menayakan keyakinan dimana saya memvalidasi alasan mereka melakukan hal tersebut dan menayakan apakah tindakan yang mereka lakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di sekolah.Â
Di sekolah, saya lebih sering menerapkan posisi kontrol sebagai seorang teman dan manager. Saya merasa merupakan seorang guru favorit karena saya seorang guru olahraga. Karena anak-anak merasa senang kita bertemu pelajaran saya dan juga saya selalu dinanti. Hal inilah yang membuat saya lebih menerapkan posisi kontrol guru sebagai seorang teman. Selain itu saya juga tetap menerapkan posisi kontrol sebagai seorang manajer dengan tujuan membimbing siswa untuk bisa mengatur dirinya sendiri sehingga murid dapat mempunyai pribadi yang mandiri,dan bertanggung jawab dengan perbuatannya. Hal ini bertujuan agar terciptanya  lingkungan sekolah yang positif, nyaman, dan aman.Â