Teori ini lebih menekankan pada hasil atau konsekuensi praktis dari sebuah keyakinan. Dalam pragmatisme, kebenaran tidak dilihat sebagai kesesuaian dengan realitas atau koherensi dalam sistem keyakinan, tetapi sebagai apa yang berguna dan dapat diterapkan dalam praktik. Sebagai contoh, jika sebuah teori atau ide dapat membantu kita memecahkan masalah atau memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari, maka ide tersebut dianggap benar.
Sebagai mahasiswa, teori ini bisa kita aplikasikan ketika kita menghadapi masalah atau tantangan dalam studi. Misalnya, jika metode tertentu dalam penelitian atau pendekatan dalam pembelajaran memberikan hasil yang efektif dan berguna, maka kita bisa menganggap metode tersebut benar dalam konteks tersebut.
Namun, kritik terhadap teori pragmatisme adalah bahwa ia dapat mengabaikan aspek-aspek yang lebih mendalam dari kebenaran, seperti apakah klaim tersebut benar dalam arti korespondensi dengan fakta objektif. Kebenaran yang hanya diukur dari kegunaannya bisa berisiko mengabaikan fakta-fakta yang lebih kompleks dan berpotensi merugikan jika diterapkan secara sembarangan.
 -Teori Konsensualisme (Consensus Theory)
Teori terakhir yang mengusulkan bahwa kebenaran adalah hasil dari kesepakatan atau konsensus antara individu-individu dalam komunitas tertentu. Dalam pandangan ini, kebenaran dianggap valid apabila mayoritas orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang tertentu sepakat tentang klaim atau pernyataan tersebut.
Sebagai mahasiswa, teori ini relevan ketika kita mempertimbangkan argumen yang datang dari berbagai pihak dalam lingkungan akademik. Misalnya, jika banyak ahli atau akademisi sepakat dengan teori tertentu dalam suatu disiplin ilmu, maka kita cenderung menganggap teori tersebut benar. Dalam diskusi kelas atau seminar, kita juga sering kali merujuk pada konsensus ilmiah untuk memperkuat argumen kita.
Namun, konsensualisme juga memiliki kelemahan, terutama jika konsensus tersebut terbentuk dari pandangan mayoritas yang mungkin bias atau tidak mempertimbangkan sudut pandang minoritas. Kesepakatan sosial tidak selalu menjamin kebenaran yang objektif, dan ini menjadi tantangan dalam aplikasi teori ini.
Dalam pendapat saya, mempelajari berbagai teori kebenaran dalam filsafat membantu kita untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan analitis yang lebih baik. Setiap teori kebenaran menawarkan perspektif yang berbeda tentang bagaimana kita memahami dan menilai klaim yang ada di sekitar kita. Dengan memahami keempat teori ini, kita sebagai mahasiswa dapat lebih bijaksana dalam menentukan apa yang kita anggap benar, baik dalam konteks akademik maupun kehidupan sehari-hari. Namun tidak ada satu teori kebenaran yang dapat sepenuhnya menjelaskan kompleksitas fenomena kebenaran itu sendiri. Setiap teori menawarkan perspektif yang berbeda dan mungkin lebih relevan dalam konteks yang berbeda pula. Sebagai mahasiswa yang mempelajari ilmu filsafat, saya merasa bahwa penting untuk tidak hanya menerima satu pandangan kebenaran sebagai kebenaran mutlak, melainkan untuk memahami bahwa kebenaran itu sering kali bersifat multi-dimensi dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam praktiknya, teori kebenaran bisa saling melengkapi, bukan saling bertentangan. Oleh karena itu, saya percaya bahwa untuk memahami kebenaran secara utuh, kita perlu merangkul berbagai teori dan pendekatan yang ada, sambil tetap kritis dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dalam pemahaman kita tentang apa itu kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H