Mohon tunggu...
Indira Pradipta
Indira Pradipta Mohon Tunggu... Akuntan - Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana ; NIM : 55520110027

Kebebasan yang paling membebaskan adalah kebebasan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Besar 1 Prof Dr Apollo: Peran Kebijakan Perpajakan UMKM dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Nasional

8 April 2021   22:18 Diperbarui: 8 April 2021   22:34 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah unit usaha yang mendominasi kegiatan usaha di Indonesia. Data yang dirilis oleh departemen koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa 99,99% unit usaha di Indonesia merupakan UMKM, dimana unit-unit usaha tersebut telah menyerap tenaga kerja sebanyak 96,91% dari total tenega kerja Indonesia, dan telah berkontribusi sebesar 60,5% dari total PDB Indonesia[1]. 

Data diatas cukup membuktikan bahwa UMKM adalah tulang punggung yang menopang perekonomian Indonesia. Oleh karenanya, setiap kebijakan yang ditetepkan terhadap UMKM, secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi perekonomian nasional, tak terkecuali kebijakan pemajakan UMKM yang akan dibahas dalam artikel ini.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha produktif milik perorangan badan usaha, maupun yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian dari usaha kecil maupun besar lain, dengan kekayaan bersih sampai dengan sepuluh miliar rupiah, dan penjualan tahunan sampai dengan lima puluh miliar rupiah [3]. 

Sedangkan dalam perpajakan, terdapat Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengenaan pajak final atas Wjib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu, dimana peredaran bruto tertentu yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00. Maka dapat disimpulkan bahwa tarif pajak final dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditujukan untuk Wajib Pajak UMKM.

Beberapa tahun belakangan, UMKM menjadi perhatian bagi pemerintah. Terlihat dari dikeluarkannya beberapa kebijakan yang ditujukan untuk merangsang pertumbuhan bisnis UMKM. Disamping diberlakukannya tarif final pada tahun 2018 silam, pemerintah melakukan beberapa upaya lain, seperti yang dikutip dalam artikel yang dirilis kemenkeu.co.id, yakni mempercepat proses perijinan usaha, penurunan bunga pinjaman, dan lain-lain [2].

Kebijakan pemajakan terhadap Wajib Pajak UMKM yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, secara langsung memiliki tujuan yang mengarah kepada jumlah penerimaan pajak. Namun lebih jauh, peraturan ini juga memiliki peran sebagai salah satu tools yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk dapat mengendalikan perekonomian nasional.

dokpri
dokpri
Sebelum menyelami lebih jauh mengenai bagaimana pemajakan UMKM dapat memengaruhi perekonomian nasional, terlebih dahulu kita bedah mengenai apa saja amanat pemerintah dalam pemajakan UMKM khususnya yang tertuang dalam PP 23 Tahun 2018 ini. Berikut beberapa poin yang menjadi pembeda antara peraturan ini dengan yang sebelumnya (PP 46 Tahun 2013) :
  • Tarif : PP 23 Tahun 2018 menetapkan tarif pajak final sebesar 0,5% untuk peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar rupiah, lebih rendah 50% dibandingkan dengan PP 46 Tahun 2013
  • Terdapat opsi bagi Wajib Pajak untuk dapat menggunakan tarif Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan.
  • Bagi Wajib Pajak yang telah dikenakan tarif Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan tidak dapat kembali dikenai Pajak penghasilan berdasarkan PP 23 2018.
  • Terdapat jangka waktu dalam pengenaan tarif Pajak Penghasilan final ini, yakni paling lama 7 tahun bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, 4 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer, dan Firma, serta 3 tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas.

Dapat dilihat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 menetapkan tarif final yang lebih rendah bagi WP dengan peredaaran bruto tertentu (UMKM). Hal ini tentu memberikan efek negatif terhadap capaian penerimaan pajak. Lantas tujuan pemerintah untuk menetapkan penurunan tarif final ini tentu tidak berkaitan dengan penerimaan pajak, melainkan ditujukan untuk merangsang pertumbuhan bisnis UMKM. 

Dalam sosialisasi penetapan tarif baru PPh final UMKM di tahun 2018, Presiden Joko Widodo menerangkan bahwa pemberlakuan tarif baru ini bertujuan untuk meringankan beban pajak Wajib Pajak UMKM, sehingga harapannya dana dapat dimanfaatkan Wajib Pajak untuk melakukan ekspansi bisnis [2].

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 juga mengatur bahwa Wajib Pajak memiliki opsi untuk dapat menggunakan tarif umum sesuai dengan Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan. Wajib pajak yang memilih menggunakan tarif umum ini tentu adalah Wajib Pajak yang telah mampu menyelenggarakan pembukuan, dan oleh karenanya dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan laba bersih yang diperoleh Wajib Pajak.

Pengenaan tarif umum ini sebenarnya lebih berkeadilan dibandingkan dengan tarif final, sebab jumlah pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak besarnya akan sesuai dengan keuntungan bersihnya. Tidak seperti penghitungan dengan tarif final yang jumlah pajak terutangnya dihitung berdasarkan peredaran bruto saja, yang akan merugikan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tinggi, namun sedang merugi.

Oleh karena itu, adanya opsi bagi Wajib Pajak untuk dapat memilih dikenakan tarif umum Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan, tentunya diharapkan dapat mendorong Wajib Pajak UMKM untuk dapat menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan, maka Wajib Pajak UMKM sebagai pelaku usaha dapat mengelola bisnisnya dengan lebih profesional dan akuntabel, dan pada akhirnya dapat mempermulus perkembangan bisnis UMKM.

Masih berkaitan dengan penjelasan diatas, dalam Pasal 7 PP 23 Tahun 2018 dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang peredaran brutonya telah melebihi Rp.4.800.000.000,00 dikenakan tarif umum Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan, dan pada tahun-tahun berikutnya tidak diperbolehkan untuk menggunakan tarif Pajak Penghasilan final, meski peredaran bruto menurun hingga maksimal Rp.4.800.000.000,00. Ketentuan ini dapat diterjemahkan sebagai dorongan pemerintah bagi UMKM untuk terus berkembang dan meningkatkan skala bisnisnya secara kontinyu, serta tertib menyelenggarakan pembukuan secara konsisten.

Disamping itu, PP 23 Tahun 2018 juga mengatur mengenai jangka waktu pengenaan tarif Pajak Penghasilan Final ini, dimana setelah jangka waktu pengenaan tarif final ini habis, maka Wajib Pajak akan dienakan tarif Pajak Penghasilan umum Pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan. Jangka waktu yang diberikan berbeda-beda antar kelompok Wajib Pajak satu dengan yang lain, dimana jangka waktu yang diperoleh Wajib Pajak adalah tujuh tahun untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, empat tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma, dan tiga tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas.

Pemberian jangka waktu ini dapat diinterpretasikan sebagai kesempatan yang diberikan oleh pemerintah bagi Wajib Pajak untuk belajar dan mempersiapkan penyelenggaraan pembukuan. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal ini mendapatkan jangka waktu yang paling panjang, sebab asumsinya, usaha perorangan memiliki keterbatasan modal sehingga memiliki skala bisnis yang lebih kecil dibandingkan dengan Wajib Pajak Badan, sehingga membtuhkan waktu yang lebih panjang untuk dapat meningkatkan skala bisnisnya. 

Sebaliknya, Wajib Pajak Badan mendapatkan jangka waktu yang jauh lebih singkat dari Wajib Pajak Orang Pribadi, sebab selain diharapkan dapat meningkatkan skala bisnisnya dengan lebih cepat, Wajib Pajak Badan sebagai pelaku usaha diharapkan memiliki profesionalitas dan akuntabilitas yang baik, sehingga dapat berkembang dan memberikan kontribusi yang semakin besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Kebijakan perpajakan UMKM sebagaimana telah dijelaskan diatas, mungkin tidak berperan secara langsung dalam meningkatkan produktivitas usaha UMKM seperti halnya kebijakan moneter, akan tetapi, kebijakan perpajakan ini mampu berperan sebagai aturan yang memaksa bagi Wajib Pajak untuk patuh dalam menyelenggarakan pembukuan, sehingga Wajib Pajak UMKM sebagai pelaku usaha terdorong untuk menjalankan bisnisnya secara profesional dan terus mengembangkan usahanya.

Pertumbuhan ekonomi didefinisikan oleh Kuznetz (1871) sebagai meningkatnya kapasitas suatu negara dalam menyediakan berbagai macam barang ekonomi kepada masyarakat dalam jangka panjang [4]. Pengukuran atas pertumbuhan ekonomi umumnya diukur menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB), dimana PDB biasanya dihitung menggunakan pendekatan pengeluaran dengan rumus : PDB = Konsumsi + Investasi + Pengeluaran Pemerintah + (Ekspor - Impor) [5].

Berkembangnya bisnis-bisnis di Indonesia dapat memberikan stimulus positive terhadap PDB, sebab semakin besar aktivitas bisnis, maka akan semakin besar pula tingkat konsumsi masyarakat secara umum, sebab unit usaha mengonsumsi barang dan / atau jasa untuk dapat menjalankan kegiatan produksi, sehingga kebutuhan konsumen dapat terpenuhi. Investasi pun akan meningkat karena unit usaha membutuhkan pendanaan untuk melakukan ekspansi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen. Kegiatan ekspor pun akan meningkat seiring meningkatnya aktivitas bisnis.

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki salah satu ciri, yakni jumlah unit usaha kecil - menengah (UMKM) lebih besar dari jumlah unit usaha besar. Sebab, secara umum negara berkembang masih kekurangan modal dan juga keahlian yang dibutuhkan untuk dapat membangun usaha besar [6]. Karakteristik inilah yang membuat pemerintah indonesia berusaha meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dengan memberikan perhatian ekstra kepada UMKM melalui kebijakan moneter, maupun fiskal melalui perpajakan Wajib Pajak UMKM, sehingga diharapkan perkembangan UMKM dapat dilakukan secara kontinyu dan pada akhirnya dapat melahirkan usaha besar baru.

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas adalah, kebijakan perpajakan UMKM memiliki peranan sebagai instrumen yang mampu mengendalikan pertumbuhan ekonomi melalui paksaan. Sebab pelanggaran atas peraturan perpajakan dapat menimbulkan konsekuensi sanksi pidana. Oleh karena itu, persepsi terhadap suatu kebijakan fiskal tidak seharusnya melulu dikaitkan dengan jumlah penerimaan pajak. Sebab, persepsi umum yang mengatakan pajak adalah pemerasan, terbukti tidak benar. Lebih jauh dari sekedar jumlah penerimaan pajak, kebijakan perpajakan ternyata dapat menjadi instrumen yang efektif bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Nasional.

Source :

http://www.kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1617162002_SANDINGAN_DATA_UMKM_2018-2019.pdf

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-bentuk-perhatian-pemerintah-terhadap-umkm/

https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/peraturan/undang-undang/Documents/Undang-Undang%20Nomor%2020%20Tahun%202008%20Tentang%20Usaha%20Mikro,%20Kecil,%20dan%20Menengah.pdf

https://www.nobelprize.org/prizes/economic-sciences/1971/kuznets/lecture/

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0301421508001894

https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/17506201111119626/full/html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun