Kita mungkin sudah tahu jika tingkat literasi orang Indonesia mulai dari anak-anak sampai orang dewasa berada pada urutan terendah dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Kemampuan literasi kita masih berada di bawah negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura. Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara. Hal ini berdasarkan Program for International Student Assesment (PISA) pada 2019 lalu yang dilaksanakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Dalam riset yang bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dengan tingkat literasi yang memprihatinkan. Begitu pula menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0.001% saja. Hal ini berarti dalam 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang saja yang termasuk dalam kategori rajin membaca.
Rendahnya tingkat literasi Indonesia setara dengan negara-negara yang belum berkembang, padahal Indonesia sudah masuk ke dalam negara berkembang. Kita tentu harus merasa prihatin dengan hal ini, sebab negara ini terbentuk oleh pemikir-pemikir dan proklamator yang dengan banyak membaca mereka melahirkan ideologi negara ini. Bayangkan jika dahulu pejuang dan pendiri negara kita tidak membaca Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) yang terbit tahun 1847 di Singapura yang dikelola oleh James Richardson Logan, dan juga tidak membaca artikel dengan judul "On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polinesian Nations" karya George Samuel Windsor Earl pada yang diterbitkan pada tahun 1849, apakah masih mungkin negara ini bisa berdiri atas nama Republik Indonesia pada tahun 1945?
Karena rendahnya minat literasi orang Indonesia dari anak-anak hingga dewasa, menyebabkan bangsa kita banyak yang tidak bisa berfikir secara kritis, sistematis, dan sulit untuk memahami bahasa yang kompleks. Kita tentu sering membaca komentar di media sosial atau artikel dengan tulisan, “Terlalu panjang. Malas bacanya”, dan yang sejenis dengan hal itu. Hal ini karena masyarakat kita tidak menganggap bahwa membaca itu penting atau menyenangkan.
Hal serupa kita temukan di lingkungan sekolah. Peserta didik suatu sekolah pasti lebih senang menonton video pendek maupun panjang, lebih suka berinteraksi di media sosial, dan lebih suka mencoba-coba filter yang disediakan dalam platform media sosial. Hal ini disebabkan karena membaca itu tidak menarik bagi mereka sebagai pelajar. Tidak menariknya membaca di lingkungan sekolah menurut Witanto (2018) didasarkan faktor lingkungan sekolah dan luar sekolah, seperti fasilitas untuk membaca tidak memadai di sekolah, situasi belajar masih teacher-centered atau ilmu itu hanya mengandalkan penjelasan dari guru (tidak ditambahi dengan membaca buku selain buku paket sekolah), kurangnya role model dari kalangan guru untuk memotivasi minat membaca, meningkatnya penggunaan teknologi informasi elektronik (namun tidak diikuti dengan berkembangnya media untuk membaca yang mudah diakses dan terjangkau), banyaknya keluarga yang belum menanamkan wajib membaca, dan terbatasnya keterjangkauan masyarakat untuk membeli buku.
Hal yang sangat menarik dari fenomena rendahnya literasi di Indonesia ini adalah meskipun minat membaca kita sangat rendah, namun sejak usia dini anak-anak sudah dituntut untuk sudah bisa membaca. Sayangnya tuntutan ini tidak diimbangi dengan dukungan agar anak-anak cinta membaca. Berbeda dengan negara-negara seperti Jepang, yang usia dini sekolah-sekolah mereka hanya berfokus pada pendidikan karakter anak. Padahal tulisan dan bahasa mereka lebih sulit daripada tulisan dan bahasa yang kita gunakan. Tetapi Jepang menduduki peringkat yang jauh lebih membanggakan, yaitu peringkat 8. Jadi bukan karena sejak usia dinilah anak-anak harus dituntut sudah bisa membaca.
Namun, bukan berarti bisa membaca sejak usia dini menjadi tidak penting untuk diajarkan di lingkungan PAUD. Dunn dan Kontos (1997) berpendapat bahwa pada dasarnya PAUD (untuk usia 0-8 tahun) adalah upaya untuk membantu anak usia dini agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sehingga berdasarkan hal itu pula, anak-anak usia dini tidak dituntut untuk sudah bisa lancar membaca, namun anak-anak dibantu untuk bisa makin berkembang dalam hal membaca dan memahami apa yang dibacanya, baik membaca huruf ataupun membaca angka.
Sayangnya fakta yang terjadi di lapangan, baik para orang tua maupun pendidik masih terus melakukan praktik pemaksaan anak supaya mereka sudah bisa membaca bahkan menulis bahasa tulis sejak usia dini. Ada pun sekolah yang tidak menuntut anak untuk sudah bisa membaca bahkan menulis, namun sangat banyak sekali orang tua yang justru menuntut pihak sekolah sebab mereka menginginkan anaknya agar bisa melakukan hal tersebut. Tidak sedikit yang menganggap bahwa anak-anak yang sudah lancar membaca dan menulis adalah anak yang berprestasi. Padahal yang seharusnya ditanamkan adalah bahwa yang paling penting adalah perkembangan anak. Seberapa banyak orang tua yang lebih bangga anaknya sudah bisa membaca daripada mengetahui nama lengkap dirinya dan orang tuanya? Seberapa banyak orang tua yang lebih mengharapkan anaknya lancar membaca daripada membuang sampah pada tempatnya?
Setiap anak berbeda perkembangannya, tergantung bagaimana orang tua mempersiapkan anak tersebut, dan PAUD-lah yang nantinya membantu anak-anak untuk berkembang dan menggali potensi anaknya masing-masing, terutama dalam hal ini adalah membaca bahasa tulis. Vygotsky (1980) berpendapat bahwa cara pemaksaan dalam pembelajaran tidak akan membuat anak memperoleh ilmu, tetapi justru akan kehilangan masa-masa emas proses pemerolehan mental.
Memang banyak anak dalam lingkungan PAUD sudah bisa membaca kalimat yang cukup kompleks untuk anak seusia mereka dengan lancar ketika mereka akan masuk SD. Tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang menjadi nilai lebih. Namun, kekurangannya adalah, anak-anak hanya bisa membaca kalimat kompleks itu tanpa tahu apa yang mereka baca. Mereka juga tidak tahu apa makna yang terkandung dan inti bacaan yang mereka baca.
Seharusnya tidak mengapa anak seusia mereka hanya bisa membaca beberapa kata sederhana saja. Tetapi mereka memahami apa yang mereka baca. Sebagai contoh, tidak mengapa seorang anak hanya bisa membaca /ba-ca/ menjadi "baca" atau /ma-kan/ menjadi "makan", yang terpenting mereka tahu apa yang mereka baca dan apa makna yang mereka baca. Setelah mereka sudah mulai memahami beberapa kata sederhana yang mereka baca, maka mulailah masuk pada kalimat pendek sederhana semisal "saya tidur di kasur". Anak-anak mungkin banyak tidak mengenal apa itu kasur, maka perkenalkan juga apa itu kasur, agar mereka bisa membayangkan dengan sesuatu yang sudah mereka kenali.
Satu hal lagi masih banyak praktik yang seharusnya diluruskan ke para orang tua bahkan guru, yaitu pemerolehan bahasa untuk anak usia dini tidak melulu harus bahasa tulis. Anak-anak usia dini bisa memperluas perolehan kosa kata mereka tidak hanya dengan praktik menuntut anak membaca, tetapi juga bisa dengan dibacakan cerita bergambar dan juga bernyanyi. Bukan berarti pemerolehan secara bahasa tulis tidak penting pula, namun alangkah baiknya anak-anak tidak melulu dituntut untuk sudah bisa membaca tulisan yang mereka tidak pahami artinya. Bahasa tulis diajarkan pada anak untuk mengonstruksikan pengetahuannya tentang bentuk, makna, dan fungsi lambang tulisan.