Mohon tunggu...
Indira Ginanti
Indira Ginanti Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Isi kepala kita terkadang lebih ramai daripada apa yang terlihat di wajah kita. Tuangkanlah dengan menulisnya.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

"Ngemis Online", Term yang Disematkan Kelompok Dominan

30 Januari 2023   14:00 Diperbarui: 1 Februari 2023   09:30 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi pembuatan konten mandi lumpur Live tiktok(KOMPAS.COM/IDHAM KHALID)

Akhir-akhir ini viral term "ngemis online" di kalangan pengguna media sosial. Term ini muncul diakibatkan banyaknya konten-konten di salah satu aplikasi media sosial yang menampilkan kegiatan siaran langsung yang berhadiahkan gift yang bisa diuangkan. Pemberian gift ini bermacam-macam bentuk dan rupanya, dari harga yang murah hingga harga yang fantastis.

Sejak maraknya aplikasi media sosial yang bisa menampilkan siaran langsung dengan bebas dan penonton bisa memberikan hadiah secara langsung, maka makin bebas pula orang-orang menampilkan konten-konten secara beragam, baik konten yang mendidik, maupun konten yang tidak masuk akal dan bahkan tidak mendidik demi mengharapkan gift dari penonton. 

Hal ini memicu pengguna media sosial ini untuk menggunakan cara-cara yang terkadang ekstrem dan nyeleneh untuk mendapatkan gift dari penonton siarannya.

Sayangnya, konten yang tidak mendidik dan bahkan tidak bermanfaat inilah yang justru lebih banyak diviralkan dan dibicarakan, sehingga banyak yang mengikutinya.

Akibat maraknya siaran langsung yang menampilkan konten-konten tidak layak dan tidak mendidik demi mendapatkan gift dari penonton, maka muncul pulalah term ngemis online untuk melabeli kegiatan orang-orang tersebut dalam siarannya. 

Term ngemis online terdiri dari dua kata, yaitu "ngemis" atau "mengemis", dan "online". Kata "mengemis" dalam KBBI berarti meminta-minta sedekah; meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harap. 

Sedangkan kata "online" merupakan kata yang diindonesiakan menjadi "daring (dalam jaringan)". Term ini berarti kegiatan meminta-minta yang dilakukan secara daring demi mengharapkan diberikan sesuatu.

Term "ngemis online" merupakan term yang disematkan kelompok dominan kepada kelompok yang didominasi. Kelompok dominan ini adalah kelompok yang menentang kegiatan mengemis secara daring dengan melabeli orang-orang tersebut dengan term itu. 

Kelompok dominan adalah kelompok yang bisa berasal dari bermacam-macam kelompok atau individu, bisa dari jajaran penguasa, kelompok mayoritas, orang-orang pintar, orang-orang kaya, dan lain-lain. 

Kita bisa mengetahui kelompok dominan ini dari penggunaan bahasa yang mereka gunakan. Bahasa yang mereka gunakan disebut bahasa dominasi. Bahasa dominasi ini digunakan untuk mengatur, mengajak, memengaruhi, membatasi, dan menekan suatu kelompok yang didominasi.

Sebagai contoh, di Indonesia ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Pengaruh hukum Islam terhadap hukum di Indonesia tidak bisa dipungkiri banyaknya. 

Misalnya zina yang merupakan perbuatan haram dalam hukum Islam. Karena perbuatan tersebut adalah perbuatan terlarang dalam hukum Islam dan mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka perbuatan zina dianggap terlarang dan dicantumkan dalam undang-undang pidana. 

Kata "zina" dipengaruhi oleh bahasa kitab umat Islam, Quran, yang menggunakan bahasa Arab. Kata "zina" sendiri dipakai untuk melambangkan persetubuhan di luar nikah dan merupakan perbuatan tercela serta hina. 

Kata "zina" memiliki konotasi negatif, sehingga pelaku zina akan merasa malu dengan perbuatan tersebut karena dipandang jelek oleh mayoritas orang. Jadi kata "zina" dianggap sebuah contoh bahasa dominasi dari kelompok mayoritas.

Bahasa dominasi yang digunakan penguasa bisa ditemukan pada Orde Baru. Dalam Rokhman dan Surahmat (2016) dijelaskan bahwa Soeharto menekankan kata "prasejahtera" untuk menggantikan kata "miskin". 

Kata "miskin" memiliki konotasi kata yang negatif, dan kata tersebut melambangkan bentuk lain seperti fakir, melarat, dan  papa. Kata "prasejahtera" bermakna "dalam keadaan belum mencapai kesejahteraan". 

Penggunaan kata tersebut bertujuan untuk memberikan efek eufemisme terhadap kata "miskin" yang berkonotasi negatif tersebut.

Hal ini digunakan untuk menumbuhkan kesan bahwa pada masa Orde Baru Soeharto berhasil mengatasi kemiskinan dengan jarangnya digunakan kata "miskin" tersebut.

Orang-orang pintar cenderung menggunakan bahasa akademik untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah kaum terpelajar dan mampu berpikir kritis. 

Dengan seringnya orang-orang menggunakan bahasa akademik ini, akhirnya mulailah timbul kepercayaan bahwa orang tersebut bisa diandalkan dan dapat dipercaya. 

Dengan kepercayaan yang telah didapatkan, maka orang-orang berpendidikan tersebut mampu menggerakkan massa untuk ikut berpikir lebih kritis atau setidaknya memberikan solusi dalam suatu permasalahan dalam masyarakat. 

Orang-orang tersebut menggunakan dominasinya dengan menggunakan bahasa-bahasa akademik untuk membangun kepercayaan bahwa ia adalah orang yang pintar dan mampu memberikan solusi.

Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang kaya. Mereka yang hidup dengan kemewahan adakalanya menunjukkan bahasa dominasi mereka. 

Sebagai contoh kata "udik" sering digunakan untuk melabeli orang-orang desa yang dalam benak banyak orang sering dianggap miskin dan terbelakang, padahal belum tentu semua orang desa miskin dan terbelakang. 

Seringnya penggunaan kata tersebut mengakibatkan kata tersebut berkonotasi negatif jika disematkan pada seseorang. Akibatnya timbullah perasaan rendah diri dan perasaan malu karena ia telah dilabeli "udik" oleh orang-orang kaya tersebut.

Berdasarkan beberapa contoh tersebut, bahasa yang mereka gunakan merupakan contoh bahasa dominasi. Berdasarkan penggunanaan bahasa dominasi tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa term ngemis online yang disematkan kepada pelaku-pelaku konten tidak mendidik tersebut merupakan term yang digunakan kelompok dominan untuk memberikan efek negatif dan menggambarkan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak baik, buruk, dan tidak terhormat dalam masyarakat kita. 

Term "ngemis online" ini didasarkan pada pencelaan perbuatan buruk dan usaha yang buruk dari pemilik konten agar memberikan efek tekanan pada pelaku konten supaya merasa malu dan tidak lagi melakukan perbuatan meminta-minta tersebut. 

Kelompok dominan ini berasal dari banyak kalangan yang akhirnya menjadi mayoritas yang menentang perbuatan tersebut.

Term ini merupakan term yang sebenarnya bagus karena bisa menggerakkan opini publik untuk tidak ikut-ikutan melakukan perbuatan tersebut, mengajak orang-orang untuk berhenti memberi gift untuk hal yang tidak bermanfaat sama sekali, dan mengajak masyarakat untuk berhenti memviralkan hal-hal bodoh dan tidak bermanfaat di media sosial.

***

Penulis: Indira Ginanti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun