Banyak sekali contoh pemimpin yang luar biasa dalam sejarah. Salah satu favorit saya adalah Umar bin Khatab. Waktu Umar dipilih menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah, pemimpin umat, Umar menganggapnya sebagai tanggung jawab yang sangat besar. “Lebih baik saya menjadi Umar saja, bukan pemimpin umat, karena tanggung jawabnya besar sekali nanti di akhirat.” Jadi posisi penting sebagai pemimpin bukanlah hadiah yang disambut gembira oleh Umar, tapi sesuatu yang tidak ia inginkan karena sangat serius dan bisa memberatkan di akhirat. Padahal ia adalah salah satu sahabat terdekat Rasulullah saw, pastilah posisinya sudah dijamin di surga.
Ada beberapa hal yang perlu kita pelajari dari Umar:
- Umar berprinsip bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat.
Dan demikian pula keluarganya. Banyak pemimpin dan keluarganya yang menjadi mewah hidupnya setelah menjadi pemimpin, paling jor-joran dan kebal hukum pula. Tapi Umar jauh dari sifat seperti itu.
- Keluarga pemimpin adalah penopang kepemimpinan.
Umar menjadikan keluarganya sebagai penopang penting dalam menjalankan tugasnya. Semua anaknya dikumpulkan di awal masa kepemimpinannya, dan semua diminta untuk tidak mentang-mentang. Justru karena mereka adalah keluarga dari Amirul Mukminin, pemimpin umat, mereka harus ikut memikul tanggung jawab yang berat pula.
- Keluarga pemimpin adalah contoh.
Saat ada peraturan yang akan ditetapkan, Umar memanggil pula keluarganya untuk berdiskusi dan kemudian mengatakan, “Kalau sampai ada keluarga Umar yang tidak taat, akan kutetapkan hukuman dua kali lipat daripada orang biasa, karena kalian adalah keluarga Umar.” Justru keluarga pemimpin harus memberi contoh ketaatan sebagai warga yang baik. Bukan mentang-mentang keluarga khalifah lalu mereka kebal hukum.
- Pemimpin dan keluarganya adalah yang terakhir menikmati hidup.
Salah satu anaknya pernah dilihatnya makan daging. Dipanggilnya anaknya tersebut. “Lihat rakyat di sana, masih banyak yang makan roti keras, dan kamu seenaknya makan daging.” Semua harus ikut prihatin, sampai tidak ada lagi yang tidak bisa makan daging, baru anaknya boleh makan daging. Keluarga pemimpin harus menjadi yang terakhir menikmati kemewahan, hanya kalau semua sudah bisa menikmati hal yang sama.
- Pemimpin dan keluarganya hanya mendapat jatah kalau ada pembagian, kalau ada sisa.
Hafsa, putrinya yang juga istri Rasulullah saw, pernah mengatakan saat ada pembagian harta, “Ayah, sebagai kerabat khalifah, bolehkah kami mendapat bagian khusus?” Jawab Umar, “Karena kamu kerabatku, kamu dapat bagianku nanti, kalau masih ada sisa.” Jadi justru karena kerabat, Hafsa hanya bisa mendapatkan jatah Umar, yang hanya diambil kalau ada sisa. Yang lain lebih prioritas.
- Pantang memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi, segenting apapun.
Suatu saat Umar pernah harus berhutang. Maka Hafsa memberikan saran, “Ayah, mungkinkan sudah saatnya kau naik gaji, jadi kau bisa bayar hutang.” Dimarahinya Hafsa. Tidak ada naik gaji selama rakyat seluruhnya makmur. Maka Umar pun harus menjual rumahnya agar bisa menutup hutangnya. Tidak ada cerita pemimpin seenaknya mempengaruhi kebijakan gaji untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Pernah pula seorang sahabatnya datang menemuinya di tempat kerjanya. Sebelum mereka bercakap-cakap Umar mematikan pelitanya sehingga ruangan menjadi gelap. Lalu ia berkata, “Minyak yang menjadi bahan bakar lampu ini dibiayai negara.”
Pemimpin tidak memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
- Tidak ada kemudahan bisnis untuk pemimpin.
Salah satu anaknya pernah mengelola sapi, dan sapi-sapinya berkembang biak menjadi banyak dan gemuk-gemuk. Umar sangat khawatir rakyat menilainya memberikan kemudahan pada bisnis anaknya. Maka dipanggilnya anaknya, “Kau jual saja sapi-sapimu, dan keuntungannya kauberikan pada kas negara agar bisa diberikan pada masyarakat luas.” Menjadi keluarga pemimpin bukan berarti lantas mendapat kemudahan dalam berbisnis, malah diwajibkan untuk menjadi penyumbang utama bagi kas negara.
- Memastikan kondisi yang dipimpinnya.
Umar selalu menyempatkan diri berkeliling semua wilayah-wilayah yang dikuasainya, atau dalam pandangan Umar, “yang dilayaninya,” untuk melihat kondisi rakyatnya. Ia selalu memastikan tidak ada yang lapar, tidak ada yang melarat. Maka di masa Umar rakyatnya sejahtera dan sangat mencintai Umar.
Begitu banyak contoh yang Umar berikan pada kita semua untuk menjadi pemimpin yang baik. Yuk, kita teladani Umar bin Khatab, Khalifah kedua pengganti Rasulullah saw, yang sangat bijaksana, adil dan rendah hati. Karena sesungguhnya Allah menciptakan semua manusia sebagai pemimpin. Pertama bagi diri sendiri, dan kedua baru bagi orang lain.
Setiap orang yang bisa memberikan contoh adalah pemimpin.
Semua orang yang bisa mempengaruhi orang adalah pemimpin.
Semua orang yang bisa menginspirasi adalah pemimpin.
Kita semua bisa menjadi pemimpin karena kita semua bisa melayani.
Apakah yang saat ini dapat kita lakukan dengan lebih baik lagi sebagai pemimpin?
Bagaimanakah kita dapat terus konsisten menajaga agar kita terus lebih baik lagi setiap hari sebagai pemimpin?
Dan bagaimanakah kita dapat mengajak orang lain untuk turut menjadi pemimpin yang lebih baik lagi bagi dirinya dan orang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H