Ternyata kakak dan adik mengatakan bahwa mereka akan menanggung penuh biaya rompi. Alhamdulillah …. untuk langkah pertama Allah sudah memberi kemudahan bagi saya. Dan bukan hanya disitu Allah memberi kemudahan bagi saya. Di tengah kegiatan ospek anak saya ternyata diterima di STAN. Dan setelah saya serahkan semua kepadanya, ternyata dia pilih STAN di Tangerang, dekat Alam Sutra, meski cuma D1. Dengan keputusan anak saya, saya lebih mantap melangkah terapi ke CCare.
Setelah saya membuat keputusan, saya mencoba datang lagi ke dokter onkologi. Saya mengatakan bahwa saya memilih untuk tidak kemo, dan saya akan ganti dengan pemakaian alat elektromagnetik. Saya hanya minta resep obatnya yang harus saya konsumsi selama 5 tahun.
Apa yang terjadi? Dokternya marah-marah mendengar keputusan saya. Saya pun langsung pamit. Setelah itu saya seperti trauma dengan dokter dan rumah sakit. Pada saat itu pikiran dan hati saya betul-betul kacau, karena saya berharap bisa jalan dua-duanya secara parallel, C Care dan medis, ternyata kenyataannya tidak bisa begitu. Akhirnya saya jalani di ccare dan diajak adik ke bogor pengobatan herbal sinshe.
Menjalani hal ini semua ini dalam dua bulan setelah diagnose kanker bukan sesuatu hal yang mudah bagi saya. Suami saya pegawai LAPAS yang sangat tidak mudah untuk izin walaupun untuk mengantar saya berobat ke Jakarta sekalipun. Saya jalan sendiri semua ini. Suami saya belum pernah sekalipun mengantar ke Jakarta. Dan saya harus maklum.
Selama tiga bulan pertama saya sering menangis, apalagi saat ada yang bertanya di Jakarta ataupun sepanjang perjalanan di kereta. Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu saya merasa nelongso. Akibatnya, saya semakin drop. Saya seperti tak punya semangat, tak punya tenaga dan takut kematian. Maklum sudah setengah abad lebih. Hampir setiap hari saya menangis dan saya pun bertambah lemah. Makin banyak menangis saya makin lemah.
Mulai bangkit dan mendapat doa Ibu
Sampai suatu saat saya tak tega melihat anak-anak dan suami yang mulai ikut bingung dan mulai tak terurus. Saya mulai bangkit. Saya mulai bertanya pada diri saya sendiri, “Kenapa harus nelongso? Kenapa harus sedih? Bukankah kamu harusnya bersyukur masih bisa jalan kemana mana sendiri. Kamu tak perlu digotong atau ditopang, syukuri itu semua, hidup sudah ada yang mengatur. Cobalah sabar, ikhlas, selalu bersyukur dan yakin dengan ikhtiar yang kamu jalani. Hidup mati semua urusan Allah.” Berkali-kali kata-kata itu saya katakan pada diri saya sendiri.
Alhamdulillah kata-kata itu membuat saya benar-benar bangun. Saya bisa punya semangat untuk tetap bertahan hidup demi keluarga. Saya bertekad untuk tetap sehat dan harus semangat demi orang orang yang saya sayangi.
Pada bulan Agustus waktu saya menerima diagnosa tumor, saya tak berani cerita ke ibu. Baru bulan Desember waktu saya sowan mengunjungi ibu di Madiun, saya beranikan untuk bercerita. Dengan kondisi fit saya bercerita. Tujuan saya hanya satu..ingin didoakan ibu.
Pada saat itu ibu saya menangis. Tak menyangka sama sekali. Padahal saat itu pengobatan sudah berjalan empat bulan. Memang sebelumnya setiap kali bertanya saya selalu bilang saya baik-baik saja. Dan saya selalu berusaha telepon dua hari sekali. Saya selalu berusaha menelepon saat saya tak galau sehingga tak bisa Ibu mencium ada hal yang tak beres. Saya putuskan untuk menyampaikan langsung saat sowan, takutnya kalau lewat telepon ibu bisa salah tangkap.
Alhamdulillah setelah saya cerita ke ibu, saya merasa beban saya berkurang dan saya yakin doa ibu yang paling tulus, insyaa Allah dihijabah Allah. Saya sangat yakin akan hal itu. Saya sangat lega.