Mohon tunggu...
Indira Aulia Adisty
Indira Aulia Adisty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Art commissions open :3

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Furries: Subkultur Internet dengan Potensi Menyaingi Reputasi Budaya Wibu dan Kpop Stans

20 Juni 2022   00:03 Diperbarui: 20 Juni 2022   00:04 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada era digital ini, globalisasi yang melanda seluruh dunia membawa perubahan yang tidak mengenal henti. Hal tersebut mendorong tumbuhnya banyak gagasan, ideologi dan bahkan menciptakan budaya baru. Baru-baru ini, fenomena Korean Wave yang menjajakan media Korea beserta nasionalisme komersialnya menjadi peristiwa besar yang membekas dalam kehidupan masyarakat(Lee, 2011). Begitu pula dengan pendahulunya, yaitu menyebarnya media Jepang dalam bentuk Animasi bertajuk Anime yang keberadaannya pun masih prominen saat ini. Kedua fenomena tersebut melahirkan kelompok-kelompok penggemarnya yang kerap dikenal sebagai wibu dan Kpop Stans, menciptakan subkultur baru di ranah dunia maya. Jika melihat pola peristiwa kedua fenomena tersebut, maka diduga akan muncul subkultur internet baru, yaitu subkultur Furry—jamak Furries. 

Apa itu Furries?

Furries–atau tunggalnya disebut Furry–merupakan panggilan untuk sebuah kelompok sekaligus kondisi dimana seseorang memiliki kegemaran tersendiri atau ketertarikan terhadap karakter kartun berwujud hewan antropomorfik(Hsu & Bailey, 2019). Hewan antropomorfik disini merujuk pada sifat karakter hewan yang menunjukkan sejumlah karakteristik manusia seperti bisa berdiri tegak, berbicara dan lain-lain. Sejumlah kegiatan yang kerap digemari dan ditekuni oleh seorang Furry sebagai bentuk pewujudan hobinya yaitu menonton kartun, mengenakan fursuit, dan roleplay sebagai karakter kesukaannya. Furries itu sendiri memiliki basis komunitas yang diketahui didirikan dan prominen pertama kali di Amerika Serikat.

Namun walaupun komunitas ini memiliki banyak potensi untuk menjadi gelombang subkultur besar selanjutnya di dunia maya, masih ada sejumlah persepsi dari khalayak umum yang membuat pengaruhnya patut dipertanyakan. Salah satu persepsi sekaligus stigma terbesar terhadap komunitas Furries adalah bahwa komunitas tersebut membawa maksud terselubung; khususnya tujuan seksual(Hsu & Bailey, 2019). Sedikit penelitian yang dibuat untuk meliput topik tersebut, namun statusnya sebagai preferensi seksual bukan berarti hal tersebut merupakan agenda utama kaum Furries dan tidak membenarkan preferensi tersebut untuk distigmatisasi atau bahkan berujung diskriminasi. Karena pada akhirnya, subkultur lainnya pun menghadapi polemik yang serupa, hanya saja tidak terekspos layaknya komunitas Furries

Hambatan Besar Kaum Furries

Stigmatisasi aktivitas komunitas Furries menjadi hambatan dalam faktor penyebarannya secara positif dalam masyarakat, namun sesungguhnya hal tersebut terjadi di nyaris semua komunitas subkultur. Terus terang, seksualisasi terjadi dan tetap menjadi perdebatan hangat dalam masing-masing subkultur; contoh kalangan wibu dengan kadar shota, hingga Kpop stans dengan kecenderungan shipping yang dinilai dapat merusak relasi idolanya di dunia nyata. Di sisi lain, diungkapkan oleh Hsu dan Bailey(2019) bahwa Furries yang mengidentifikasi dirinya sebagai/sebagai penyuka karakter antropomorfik memiliki inversi identitas, sebuah kondisi yang tentunya tidak dimiliki satu komunitas secara keseluruhan. Di samping itu semua, “seksualisasi” yang terjadi dalam komunitas Furries merupakan sesuatu yang fiksi, maya, dan saya berani katakan anarkis; sehingga tidak seharusnya menjadi sesuatu yang digeneralisasikan atau diidentifikasikan dengan satu kelompok secara keseluruhan. 

Diduga bahwa stigma yang begitu buruk dititiskan atas nama komunitas subkultur Furries dikarenakan keresahan orang awam bahwa karakter-karakter yang umumnya ditemui dalam media anak kecil(contoh Looney Tunes, Zootopia) dapat diklaim oleh sebuah komunitas dan dipergunakan semaunya yang kemudian mendistorsi imej polos karakter-karakter yang dahulu dikenalinya(Strike, 2017). Memang menyedihkan, namun di dunia maya secara efektif tak ada hal yang tidak dapat dicari, seaneh dan semenggelisahkan apapun itu. Tentu saja, itu hanyalah bagian jelek dari subkultur ini dan tidak menutup bahwa tiap subkultur menghadapi masalah serupa, sehingga perlu diingat bahwa pada akhirnya semua subkultur menjajakan bentuk hiburan yang menyambut dan membawa kesenangan tersendiri bagi penggemar-penggemarnya.

Terlepas dari dinamikanya dengan subkultur lainnya, subkultur Furries itu sendiri merupakan komunitas yang terdiri dari orang-orang yang menyukai sesuatu yang sederhananya tidak merepresentasikan budaya maupun negara secara langsung, melainkan hobi dan fiksi. Sehingga aman untuk diasumsikan bahwa subkultur tersebut hanya terbatas pada karakter fiksi dan berkutat terutamanya hanya dalam sikap. Namun sebagai bagian dari subkultur yang pertama ditemukan komunitasnya di Amerika Serikat(juga dengan basis penggemar terbesar di Amerika Serikat), tidak akan aneh apabila kaum Furries yang tersebar di seluruh dunia merujuk pada basis penggemar Amerika Serikat untuk segala keperluan maupun aktivitas besar saat ini. 

Peluang Subkultur Internet Furries di Dunia Nyata

Sebagaimana Furries sebagai subkultur menerima banyak kritik serta stigma dari subkultur lainnya, tidak dapat dipungkiri bahwa komunitas Furries memiliki anggota yang banyak dan tersebar di berbagai belahan dunia. Menurut Furscience.com(2020), survei demografik keberadaan Furries di seluruh dunia menunjukkan bahwa 34,9% komunitas Furries paling banyak ditemui di Amerika Serikat, 16,5% di Kanada, 11,1% di Tiongkok dengan sisanya tersebar di berbagai negara di dunia. Persebaran dan jumlah anggota komunitas subkultur Furries itu sendiri memiliki peluang besar untuk terus meningkat melalui dorongan internet dan globalisasi. Komunitas Furries sebagai keseluruhan pun menyajikan hiburan dan hobi bagi penggemarnya baik baru maupun veteran yang makin mudah diakses dengan bantuan internet dan sosial media di era digital.

Jika dilihat dari karakteristiknya, layaknya subkultur internet lainnya seperti Kpop stans dan wibu maka subkultur Furries itu sendiri juga dapat mencapai skala fenomena sebesar dan sedahsyat mendunianya Anime atau bahkan setingkat Korean Wave. Furries memiliki komunitas yang solid dan memiliki ketertarikannya sendiri, contohnya komunitas seniman atau fursuiter yaitu semacam cosplayer namun menyerupai karakter hewan antropomorfik. Bahkan dengan perkembangan yang ada saat ini, mungkin aman untuk mengatakan bahwa ada kemungkinan di masa depan saat pengaruh Furries pun dapat mendatangkan acara-acara atau eventnya tersendiri yang lebih akrab dikenal sebagai Furcon, singkatan untuk Furry Convention

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun