Mohon tunggu...
Indi Khairun Nisa
Indi Khairun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi KPI'22 (STAI TebingTinggi Deli)

Menulis adalah bukti bahwa kamu pernah ada dalam peradaban

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Peredaran Barang Dagang di Sumatera Timur

1 Februari 2024   21:47 Diperbarui: 1 Februari 2024   21:59 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara Sumatera Timur? Mungkin masih terdengar tabu oleh segelintir orang  atau mungkin ini kali pertama kamu  mendengarnya? Ya, Negara Sumatera Timur (NST) adalah salah satu negara bagian yang merdeka dari Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.  Wilayah yang dicakup oleh Negara bagian ini meliputi Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Simalungun, Asahan dan Batubara. Negara Sumatera Timur terbentuk karena banyak faktor kompleks yang membentuk aliansi anti republik.  Aliansi ini terdiri dari kaum bangsawan Melayu, sebagian besar Raja-raja Simalungun, beberapa kepala suku Karo, dan tokoh-tokoh Tionghoa. Sesuai dengan namanya NST kini kita sebut Provinsi Sumatera Utara (SUMUT).

Dalam buku Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di SumateraTimur, Daniel Perret beranggapan bahwa Sumatera Timur didiami dua masyarakat utama yang hidup terpisah, yaitu:

  • Masyarakat melayu yang hidup di tepi laut, beragama islam, beradab, dan terbuka pada dunia luar.
  • Masyarakat Batak yang di pedalaman, hidup secara tertutup dengan kepercayaannya sendiri sebelum memeluk agama Kristen.

Sebenarnya, masyarakat di pedalaman dan masyarakat di tepi laut bukanlah dua etnis yang bertentangan.  Sebaliknya keduanya adalah golongan-golongan sosial yang bergantung satu sama lain.

Pada awal abad ke-19  hingga berdirinya administrasi kolonial, Sumatera Timur menjadi jalur peredaran produk setempat dan produk impor penting seperti garam, candu, budak, kuda, dan yang paling utama adalah lada.

Garam, menjadi salah satu barang dagang paling penting.  di pesisir timur laut, garam yang diproduksi berasal dari jawa atau india selatan. Perdagangan itu dapat diperkirakan melalui catatan yang ditulis seorang pegawai pemerintah Belanda tahun 1860-an di Batubara. Penduduk setempat memberitahukan bahwa pada awal abad ke-19 beratus-ratus orang turun gunung untuk membeli garam. di Deli, para datuk (kepala urung), memegang menopoli perdagangan garam di masing-masing wilayahnya, sedangkan di dataran tinggi di Utara Danau Toba, perdagangan garam disebut pelanja sira dan pada umumnya kegiatan ini sebagai kerja sampingan selain bertani.

Kuda, pada zaman dahulu sudah ada perdagangan kuda antara dataran tinggi di Utara Danau Toba dan Langkat melalui sungai wampu, ini disebutkan dalam Pustaka Kembaren. Diperkirakan pusat pemasok kuda terbesar adalah Pulau Samosir di tengah Danau Toba, dipelihara di daerah Tongging kemudian dijual di Deli. Bahkan pada awal abad ke-19 terdapat ratusan ekor kuda setiap tahunnya diekspor ke Pinang dan Malaka untuk menarik gerbong kecil di pertambangan timah.

Candu, dalam buku yang berjudul Mission to the East Coast of Sumatera, Anderson mengatakan bahwa saat ia mengunjungi daerah Pesisir Timur Laut pada tahun 1823, candu yang didatangkan dari Benggala sudah banyak ditemukan di daerah dataran rendah. Pada tahun 1883, sumber-sumber menyebutkan bahwa dari Danau Toba sampai Deli, orang-orang banyak menghisap candu. di Deli, sama seperti garam, monopoli perdagangan candu ada di tangan para datuk, ini tertuang dalam buku MIDDEN-SUMATRA. Sejumlah pemimpin di pedalaman pergi sendiri membeli candu di selat Malaka dan menjualnya kembali dengan untung yang besar.

Budak, pada abad ke-17, Aceh mengambil budak dari Pesisir Timur Laut dan dua abad kemudian kesultanan Aceh masih memiliki budak-budak yang berasal dari sekeliling Danau Toba, ini seperti yang tertuang dalam buku De Pe in Gal Gedoopt, Karya H.N. Van der Tuuk. Tahun 1864, di Labuhan Batu (Panai dan Bila), terdapat perdagangan budak  besar dengan transaksi diperkirakan mencapai ribuan orang per tahun. Kebanyakan dari mereka adalah penduduk pedalaman yang ditangkap ketika terjadi perang antar kelompok dan dijual oleh pemenang perang kepada pedagang-pedagang Melayu atau Tionghoa di pesisir. Perdagangan budak itu menurun setelah penghapusan perbudakan di Pinang dan Melaka serta dengan berkembangnya perkebunan lada. Sebenarnya pada tahun-tahun awal abad ke-19, penduduk pedalaman sengaja menjual anak mereka karena kekurangan beras, tetapi kemudian budak lebih sulit didapatkan  karena berkembangnya penanaman lada yang memungkinkan mereka memperkaya diri dan mandiri.

Perkebunan lada, Christine Dobbin dalam bukunya, Islamic Revivalism in a Changing Peasent Economy: Central Sumatra,  mengatakan, belum ditemukan informasi untuk memperkirakan dengan tepat saat munculnya perkebunan lada di Pesisir Timur Laut Sumatera. Catatan pertama yang meyakinkan berasal dari abad ke-18 dalam sebuah laporan Inggris yang menyebutkan bahwa Langkat, yang berbatasan dengan Aceh menghasilkan lada, ini tercantum dalam jurnal "A Brief Account of the Several  Countries Surrounding Prince of Wale's Island with their production: Recd. From Captain Leight: Enclosed in Lord Cornwallis's letter to Mr. Dundas, dated 7th January, 1789."

Itulah tadi sejarah singkat peredaran barang dagang di daerah Sumatera Timur. Masyarakat di pedalaman dengan masyarakat di tepi laut bukan satuan etnis yang bertentangan, pemisah antara masyarakat pantai dan pedalaman baru timbul setelah kedatangan penjajah bersama gelombang migrasi yang besar mulai akhir abad ke-19 secara bertahap, ini menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun