"Wherever we are, there is always, a social stratification."
 *****
Ever in a morning, saya dan tunangan saya sedang ngopi ngopi di rj.ampat. On our holiday, saya iseng memancing dia untuk membicarakan tentang sesuatu,
basically tentang kehidupan. Lama kelamaan kami ngobrol, akhirnya kami sampai di suatu topik, dan topik tersebut adalah tentang stratifikasi sosial.
Saya yakin, kalau stratifikasi sosial itu nggak kerasa didalam diri saya. Jadi apa ya... Barrier dalam stratifikasi sosial itu palsu, sebenarnya hanya angan angan bagi beberapa individu saja.
Karena saya bisa berada di atas, dan saya yakin, saya juga bisa berada di posisi terbawah dalam kehidupan ini.
and then.. My fiance challenge me for doing a quest.
Quest apakah itu, saya bertanya kepada dirinya. Kemudian she answer me with a very good answer.
"Kamu... Harus coba bertransaksi jual beli dengan orang orang yang tidak mampu. Kamu harus masuk kedalam dunia mereka. Dan kamu harus jadi bagian dari mereka semua.
Gimana... Kamu sanggup?"
Dan tanpa ba-bi-bu, saya terima tantangan dia, tunangan saya itu. Beberapa minggu kemudian saya rehat dari keperluan bisnis saya, dan mulai mempersiapkan tantangan ini.
Karena tunangan saya itu menyuruh saya untuk berpikir kreatif, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi pedagang di pasar tradisional.
Selain itu, saya juga memutuskan untuk berdagang hewan peliharaan di pasar itu juga. Kisah berlanjut, saya pergi ke pasar tradisional,
saya cari tempat untuk saya sewa, kemudian saya menyiapkan barang dagangan saya dan keperluan2 lainnya yang menyangkut kegiatan berdagang saya ini.
Beberapa hari kemudian saya sudah berdagang, hari pertama, saya masih mencoba untuk tidak merasa rasakan bau amis yang saya cium, saya berpakaian masih seperti hari kemarin
Dan saya bingung, kenapa pakaian saya jauh berbeda dengan orang orang di pasar tradisional ini. Beberapa jam di hari pertama saya rasakan cukup menantang.
 Tetapi dalam hati saya, ada sesuatu yang mengganjal. Apakah itu, saya coba abaikan saja.
 ******
Hari kedua.
Saya kedapatan orang yang membeli hewan peliharaan yang saya jual disana. Sebenarnya ini sangat jauh dari standar saya, tapi saya coba lawan itu sebisa mungkin, karena saya yakin bahwa boundaries pada stratifikasi sosial itu hanyalah ilusi buatan saja.
Tetapi siang itu terasa panas, sungguh bau, dan amat sangat menjijikan rasanya saya harus berada disini. Tapi saya masih terus berusaha, karena saya percaya, kesuksesan tidak mengenal tempat.
 Jam demi jam berlalu. Pembeli berlalu lalang. Tiba tiba, ada seorang pembeli yang berkata begini kepada saya.
"Mas, mas tau abyssinian, mas tau russian blue.. Dan mas tau ras ras hewan itu.
Saya yakin, kalau mas sebetulnya nggak jual hewan hewan ini... Mas sebetulnya jual hewan hewan eksotik itu, kan?
Ayo deh mas ngaku aja... Saya tahu kok model orang macam mas ini... Mas ini pasti orang berada, bisnis mas yang sebenarnya pasti jauh lebih dahsyat daripada hanya berjualan disini.
Saya tahu koneksi orang besar di bisnis jual beli hewan ini mas... Soalnya majikan saya juga orang punya..."
Deg.
Saya berhenti untuk sekejap. Menyadari perkataan pembeli saya itu. Kok? Orang itu bisa mencium bau bau asal keberadaan saya ya? ah, benar benar sebuah renungan bagi saya di siang hari itu.
 ******
Hari ketiga.
 Toko saya digrebeg preman, saya dipajak liar oleh mereka. Gila, ternyata begini kerasnya ya kehidupan berdagang di sini. Kalau begitu benar, saya mau bersyukur atas keberuntungan saya, karena saya sudah berada di upper class society.
 Setelah kejadian itu, saya belajar untuk lebih cerdas. Pakaian saya kini tidak mencolok. Dan hari ini saya masih yakin kalau boundaries dalam stratfikasi sosial itu tidak eksis, tidak real. Di hari hari selanjutnya saya masih berdagang disana.
 Bisnis saya meningkat, karena saya ramah dalam melayani pelanggan dan saya bisa berdiplomasi dengan para preman preman itu, entah kenapa, setelah saya mulai merasakan bahwa diri saya menyatu dengan orang orang disini..
Ada satu hal kecil yang timbul didalam hati saya...
 Berbulan bulan selanjutnya saya dapat kabar dari asosiasi bisnis saya, kalau saya dibutuhkan untuk hadir didalam rapat dengan direksi. Mendengar ada rapat direksi, tunangan saya menelfon saya, karena dia mau lihat, kalau saya berhasil apa tidak menjalani tantangan yang telah dia berikan itu.
 Di suatu siang pada hari rabu, tunangan saya menelfon, begitu hati hatinya saya mengangkat telfon di pasar, karena saya tidak ingin terlihat mencolok lagi
"Hi honey... Kamu dimana?"
 "Aku di pasar... Katanya kamu mau kesini ya?"
"Iya.. Nanti sore aku kesana ya. Kamu kirim aja alamat blok yang kamu sewa di pasar itu.."
 "Oke... Nanti kukirim, aku tunggu ya."
"Thanks honey"
 Sore pun akhirnya tiba, dia, tunangan saya itu, datang ke pasar tidak seperti biasanya, dia berpakaian super duper aneh... Dia pakai boots anti becek, dia pakai trench coat yang anti becek juga... Pokonya semuanya serba terproteksi.
 Bener bener licik ini orang... Hahahahaha.
"Hon..."
"Oh my god... Kamu kok dekil... Kumuh gitu sihhh ?"
 "Hahahaha, ya dong... Biar keren."
"Ih, keren darimana nya, aku jijik tau liatnya..." -- Dia sambil menutup hidungnya, mendekati saya.
 "Ya... Gapapa. Hehe. Tapi aku berhasil kann menyelesaikan tantangan dari kamu?"
"Ya kamu berhasil sayang... But honey, you don't belong here..."
"Duh... Calon suami aku ini kok hot banget ya..."
 "Kamu kali yang hot, itu serba ketutup begitu, ya gimana nggak hot."
"Hihihi iya... You tau aja..."
 "Ya sudah, aku beres beres dulu sebentar lagi aku mau pulang."
"Oke honey... Aku pulang ke hotel duluan ya... Awas lohh jangan sampe telat, soalnya aku udah turn on gara2 ngeliat kamu."
 "Hahaha... Uddahhh sana ke hotel..."
That day, i realize, that boundaries in social strafication, did existed.
 Hanya, saya saja yang mampu beradaptasi didalamnya.
 ******
Fiksi Kota Kota, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H