" Sesendok garam Indonesia asin rasanya, tetapi se-kapal garam impor ternyata manis rasanya"
Ungkapan diatas tentu bukan hendak memperkenalkan varian baru dari rasa sebuah garam, tetapi itulah anekdot yang ada tentang pergaraman Indonesia saat ini.
Teringat sebuah cerita legenda rakyat tentang asal muasal dipergunakannya garam sebagai bumbu penyedap masakan. Singkat cerita disebuah kerajaan akan dilangsungkan jamuan makan yang dihadiri sang raja, tanpa sengaja koki kerajaan menjatuhkan butiran-butiran kristal yang tidak diketahui siapa pemiliknya kedalam sebuah hidangan berkuah dan dengan penuh perasaan bersalah sang koki terpaksa menghidangkan kepada Sang Raja. Tanpa dinyana ternyata Sang Raja sangat menyukai masakan tersebut dan bertanya kepada sang koki kerajaan " apa yang membuat masakan tersebut begitu lezat?", sang koki kerajaan menjawab "bahwa ia tadi tidak secara sengaja menjatuhkan butiran-butiran kristal kedalam makanan yang dihidangkan untuk raja" . Butiran-butiran tersebut adalah air laut yang mengkristal dan kemudian dinamakan garam.
Bumbu penyedap masakan yang kini tidak lepas dari kehidupan kita sehari-hari bahkan menjadi komoditas yang menjadi incaran mafia. Komoditas yang mungkin tak "begitu berarti" seperti menghirup udara karena saking melekatnya dalam menu makanan yang kita santap setiap hari ini, ternyata sebuah komoditas yang bergantung kepada produksi luar negeri. Artinya komoditas ini harus di import untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan dalam negeri yang berkisar pada angka 3 juta ton pertahun, ternyata hanya mampu diproduksi di dalam negeri pada angka 1.3 juta ton. Sehingga 1, 7 ton garam yang beredar dipasaran selama ini adalah garam import.
Mengapa kita tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri sendiri?, padahal kita adalah negara maritim dengan sumber daya alam yang cukup melimpah dan berpotensi besar untuk menjadi pengekspor garam, bukan malah sebaliknya malah menjadi pengimpor garam. Sebuah ironi yang mungkin bagi sebagian besar kita tak menyadarinya. Bahwa komoditas yang menjadi penyedap masakan kita ternyata harus di impor terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan nasional.
Menjadi lebih ironis lagi bila kita masih mengingat bahwa salah satu pulau yang ada di Indonesia berjuluk " Pulau Garam" pun tak luput dari ancaman garam impor. Menyedihkan memang bahwa potensi kelautan kita, terutama untuk memproduksi garam tak menjadi perhatian yang serius pemerintah. Piooner pemberdayaan garam rakyat kita pun harus terdepak dari "kursi panas" Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP), yaitu Fadel Muhammad. Boleh jadi disebabkan karena mafia garam yang selama ini menikmati manisnya garam impor terganggu oleh karena program Kementerian KKP yang berpihak kepada garam rakyat dan mengancam keberlangsungan bisnis mereka selama ini.
Tidak hanya dalam dimensi hukum dan politik saja mafia begitu digdaya mengobok-ngobok Indonesia sehingga tidak pernah menjadi mandiri meskipun berdaulat, tetapi dalam soal pemenuhan akan kebutuhan garam nasional ada peran mafia yang begitu dalam sehingga untuk mencukupinya harus mengimpor.
Bangsa ini tidak kekurangan pakar terutama soal garam ini dan harus diketahui bahwa kita mampu memproduksi garam untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar internasional, jika saja ada political will yang kuat dari pemerintah untuk memberdayakan petani garam rakyat yang tersebar dalam sentra-sentra produksi yang ada. Tidak terlena dan keasyikan mencari praktis dan untung besar dalam sekejap dengan kebijakan mengimpor garam untuk kebutuhan nasional.
Adalah Fadel Muhammad yang ternyata dalam sebuah siaran bincang-bincang bisnis disebuah radio swasta dengan pakar garam yang saya lupa namanya, telah menjadi sosok yang begitu concern terhadap nasib para petani garam kita, sejak ia masih menjabat sebagai menteri maupun setelah dilengserkan hingga sekarang. Ia kemudian mendirikan sebuah yayasan yang tentunya untuk memfasilitasi seluruh kebutuhan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani garam kita, terlebih untuk mencukupi kebutuhan garam nasional sehingga tak perlu lagi mengimpornya suatu saat kelak.
Semoga saja dengan hadirnya Yayasan Pemberdayaan Garam Rakyat yang diketuai oleh Fadel Muhammad menjadi titik terang terangkatnya para petani garam diseluruh Indonesia menjadi lebih sejahtera, dan mampu melepaskan cengkeraman mafia garam yang mengecap manisnya bisnis garam impor selama ini.
Coba kita tengok dapur kita masing-masing , adakah garam yang ada adalah garam impor?. Jika jawabannya iya maka segera singkirkan garam tersebut demi mengangkat kesejahteraan para petani dan mulailah menggunakan garam produksi petani kita.
Mari menggarami Indonesia dengan garam beryodium produksi petani garam nasional, merdeka!
sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H