Mohon tunggu...
Indigo
Indigo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penyimak persoalan-persoalan sosial & politik,\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mission Impossible: Prayitno Ramelan Meraih Kursi DKI 1

1 Februari 2012   02:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:12 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) delapan kabupaten mulai dari Sabang, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Jaya, hingga  Lhoksuemawe semuanya dimenangkan oleh calon independen. Lebih khusus lagi, bahwa calon independen yang menang adalah eks. anggota GAM.

Dibeberapa daerah yang lain, kemenangan calon independen sangat dipengaruhi oleh kedekatan emosional yang terbangun dari struktur kultural yang dimiliki sang calon. Selebihnya karena ada tarik ulur kepentingan sang calon independen dengan partai politik tempat dia bernaung yang tidak memberikan restu untuk maju dalam pilkada, sehingga memunculkan simpati yang besar dari pendukungnya.

Bila mencermati kemenangan calon independen yang ada, mereka tampil sebagai pemenang bukan karena perjalanan karir politik yang instant bahwa mereka menawarkan independensi semata, ditengah-tengah kejenuhan masyarakat terhadap calon-calon yang berasal dari partai politik.

Mereka yang menang punya ikatan emosional yang kuat serta struktur kultural yang kental. Para eks. anggota GAM di NAD yang maju sebagai calon independen dalam pilkada, jelas lebih disukai pemilih daripada calon dari partai politik yang ada, mengingat bagaimana perjuangan GAM membawa pemerintah duduk dalam meja perundingan adalah buah dari dukungan rakyat selama masa  operasi militer terjadi disana.

Kemenangan calon independen di Garut adalah salah satu contoh betapa kuatnya ikatan kultural sehingga mengalirkan dukungan politik bagi mereka. Bila kemudian ditanah Papua anggota OPM bisa bernasib sama dengan anggota GAM di Aceh, sangat mungkin mereka akan memenangkan pilkada yang digelar disana.

DKI Jakarta sama-sekali bukanlah tempat yang mirip seperti Aceh yang bisa serta merta menjadi lahan yang cocok bagi calon independen untuk bertarung. DKI Jakarta adalah tembok partai politik raksasa sekaligus barometer perpolitikan nasional. Partai politik disini jelas telah memiliki struktur politik yang lebih kuat, sehingga akan sulit bagi calon independen untuk bergerak untuk "merusak" tatanan yang telah ada untuk menawarkan ke "independenan" mereka.

Bila kemudian salah satu kompasianer kini hendak ikut dalam bursa pencalonan merebut kursi DKI 1, tentu ini menjadi sebuah kebanggan bagi kita bersama. Bahwa melalui blog keroyokan ini telah hadir sosok yang bukan hanya menyumbangkan buah fikirannya melalui tulisan-tulisannya saja, melainkan melangkah lebih maju untuk menghadirkan asa dari cita seluruh penduduk DKI Jakarta tercinta ini.

Namun sangat disayangkan tema besar yang diusung oleh Ramelan Prayitno kurang menjual, kalau tidak mau dikatakan sebuah copy-paste dari tema kampanye PKS tahun 2007 lalu terkait soal pembenahan kemacetan dan banjir yang selama ini mendera DKI Jakarta. Tegas dan Independen belum tercermin dengan jelas bila hanya ingin mengusung tema besar yang sudah basi tersebut. Dua persoalan tersebut (macet dan banjir) akan sangat bersinggungan dengan rakyat kebanyakan dan para pengusaha besar dinegeri ini.

Persoalan banjir sangat erat terkait dengan pola hidup masyarakat DKI Jakarta. Normalisasi sungai-sungai yang ada di Jakarta, termasuk kali-kali kecil yang kini menyempit hingga bisa dilompati tentu akan berhadapan langsung dengan calon pemilih pasangan independen ini. Beranikah Prayitno Ramelan mengatakan dalam kampanyenya bahwa ia akan menggusur semua penghuni yang menghalangi langkah normaslisasi sungai yang akan ia lakukan jika terpilih?, sekaligus memberikan ganti tempat tinggal yang layak bagi mereka?

Pertumbuhan pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan mal-mal besar juga sangat memberi andil semakin minimnya daerah resapan air. Beranikah Prayitno Ramelan mengatakan stop pembangunan gedung pencakar langit dan pusat-pusat hedonisme di Jakarta yang mengurangi daerah resapan air tersebut kepada para pengusaha dan pengembang?, yang artinya ini akan mengurangi pendapatan DKI Jakarta dari bisnis properti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun