Dalam pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) delapan kabupaten mulai dari Sabang, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Jaya, hingga Lhoksuemawe semuanya dimenangkan oleh calon independen. Lebih khusus lagi, bahwa calon independen yang menang adalah eks. anggota GAM.
Dibeberapa daerah yang lain, kemenangan calon independen sangat dipengaruhi oleh kedekatan emosional yang terbangun dari struktur kultural yang dimiliki sang calon. Selebihnya karena ada tarik ulur kepentingan sang calon independen dengan partai politik tempat dia bernaung yang tidak memberikan restu untuk maju dalam pilkada, sehingga memunculkan simpati yang besar dari pendukungnya.
Bila mencermati kemenangan calon independen yang ada, mereka tampil sebagai pemenang bukan karena perjalanan karir politik yang instant bahwa mereka menawarkan independensi semata, ditengah-tengah kejenuhan masyarakat terhadap calon-calon yang berasal dari partai politik.
Mereka yang menang punya ikatan emosional yang kuat serta struktur kultural yang kental. Para eks. anggota GAM di NAD yang maju sebagai calon independen dalam pilkada, jelas lebih disukai pemilih daripada calon dari partai politik yang ada, mengingat bagaimana perjuangan GAM membawa pemerintah duduk dalam meja perundingan adalah buah dari dukungan rakyat selama masa operasi militer terjadi disana.
Kemenangan calon independen di Garut adalah salah satu contoh betapa kuatnya ikatan kultural sehingga mengalirkan dukungan politik bagi mereka. Bila kemudian ditanah Papua anggota OPM bisa bernasib sama dengan anggota GAM di Aceh, sangat mungkin mereka akan memenangkan pilkada yang digelar disana.
DKI Jakarta sama-sekali bukanlah tempat yang mirip seperti Aceh yang bisa serta merta menjadi lahan yang cocok bagi calon independen untuk bertarung. DKI Jakarta adalah tembok partai politik raksasa sekaligus barometer perpolitikan nasional. Partai politik disini jelas telah memiliki struktur politik yang lebih kuat, sehingga akan sulit bagi calon independen untuk bergerak untuk "merusak" tatanan yang telah ada untuk menawarkan ke "independenan" mereka.
Bila kemudian salah satu kompasianer kini hendak ikut dalam bursa pencalonan merebut kursi DKI 1, tentu ini menjadi sebuah kebanggan bagi kita bersama. Bahwa melalui blog keroyokan ini telah hadir sosok yang bukan hanya menyumbangkan buah fikirannya melalui tulisan-tulisannya saja, melainkan melangkah lebih maju untuk menghadirkan asa dari cita seluruh penduduk DKI Jakarta tercinta ini.
Namun sangat disayangkan tema besar yang diusung oleh Ramelan Prayitno kurang menjual, kalau tidak mau dikatakan sebuah copy-paste dari tema kampanye PKS tahun 2007 lalu terkait soal pembenahan kemacetan dan banjir yang selama ini mendera DKI Jakarta. Tegas dan Independen belum tercermin dengan jelas bila hanya ingin mengusung tema besar yang sudah basi tersebut. Dua persoalan tersebut (macet dan banjir) akan sangat bersinggungan dengan rakyat kebanyakan dan para pengusaha besar dinegeri ini.
Persoalan banjir sangat erat terkait dengan pola hidup masyarakat DKI Jakarta. Normalisasi sungai-sungai yang ada di Jakarta, termasuk kali-kali kecil yang kini menyempit hingga bisa dilompati tentu akan berhadapan langsung dengan calon pemilih pasangan independen ini. Beranikah Prayitno Ramelan mengatakan dalam kampanyenya bahwa ia akan menggusur semua penghuni yang menghalangi langkah normaslisasi sungai yang akan ia lakukan jika terpilih?, sekaligus memberikan ganti tempat tinggal yang layak bagi mereka?
Pertumbuhan pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan mal-mal besar juga sangat memberi andil semakin minimnya daerah resapan air. Beranikah Prayitno Ramelan mengatakan stop pembangunan gedung pencakar langit dan pusat-pusat hedonisme di Jakarta yang mengurangi daerah resapan air tersebut kepada para pengusaha dan pengembang?, yang artinya ini akan mengurangi pendapatan DKI Jakarta dari bisnis properti.
Begitu pula dengan persoalan kemacetan, akan sangat berkaitan erat dengan rakyat kebanyakan dan para pengusaha. Beranikah Prayitno Ramelan melakukan hal ekstrim untuk mengatasi kemacetan di DKI Jakarta?, misalnya menghentikan penjualan kendaraan motor dan mobil kecuali hanya untuk peremajaan saja, atau menghilangkan seluruh mobil yang sudah tidak laik jalan dengan batasan tahun yang diperbolehkan. Serta menghadirkan angkutan massal yang murah-meriah.
Karena untuk memenuhi syarat menjadi calon peserta pilkada pun belum terpenuhi oleh pihak Prayitno Ramelan, ada baiknya untuk menimbang kembali keputusan untuk melangkah melalui jalur independen di pilkada DKI Jakarta 2102 ini. Bergandeng tangan dengan partai politik yang memiliki visi dan misi yang sama dan bisa menyokong kemenangan untuk duduk di DKI 1 tak ada salahnya untuk ditempuh.
Apalagi mengingat kecenderungan golput di pilkada DKI Jakarta akan meningkat, maka yang akan menang adalah mereka yang memiliki basis struktur politik yang kuat dimasyarakat. Dengan tingginya "masa-bodoh" masyarakat terhadap dunia politik akan memperkecil peluang kemenangan calon-calon independen yang muncul.
sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H