Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ambivalensi adalah perasaan tidak sadar yg saling bertentangan terhadap situasi yg sama atau terhadap seseorang pada waktu yg sama. Dalam kekuasaan ambivalensi bisa diartikan sebagai sebuah kondisi dimana sang penguasa melakukan tindakan yang saling bertentangan antara apa yang ia ucapkan dengan apa yang ia lakukan terhadap rakyatnya.
Penguasa yang memiliki sifat ambivalensi dalam menjalankan roda pemerintahannya cenderung melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan bagi lingkaran kekuasaan, orang atau kelompok yang dianggapnya bisa dijadikan sandaran dan basic dukungan terhadap kekuasaan yang dipegangnya.
Pemimpin seperti ini hanya akan menghasilkan mimpi buruk bagi rakyatnya, karena apa yang dilakukan semata-mata hitung-hitungan untung rugi bagi kekuasaan yang dipegangnya. Yang dilakukan oleh pemimpin seperti ini bukan mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya tetapi mendistribusikan kekuasaan terhadap pihak-pihak yang bisa mengokohkan kekuasaanya.
Yang didapatkan oleh rakyat dari model kepemimpinan yang ambivalen adalah kesemrawutan dan ketidak-jelasan pencapaian pembangunan yang dilakukan, penuh kesemuan dan pencitraan. Korupsi yang merajalela, hukum yang berpihak kepada mereka yang punya uang dan akses kepada kekuasaan, keresahan dimasyarakat, kemiskinan yang semakin menjadi-jadi, kehidupan beragama yang menyimpan bara, semakin tingginya sikap individualisme, dan yang terparah adalah terjun-bebasnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Ketika rakyat sudah tidak lagi percaya kepada pemimpinnya maka tinggal menunggu saja kejadian seperti Tunisia dan Mesir.
Penyebab utama terjadinya ambivalensi kepemimpinan bisa dikarenakan enggannya sang pemimpin maju sebagai negarawan dan melepaskan atribut partai yang telah membawanya ketampuk kekuasaan. Sistem demokrasi yang mengkolaborasikan posisinya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan kekuatan politiknya diparlemen disatu sisi bisa sangat menguntungkan untuk memudahkan akselerasi kebijakan pro rakyat yang akan ditelurkan, tetapi disisi lain akan menghasilkan otoriterianisme atau tirani kekuasaan jika dikuasai pemimpin ambivalen.
Oleh karena itu disisa waktu kepemimpinan SBY di jilid kedua ini masih ada kesempatan untuk berputar alih dari kekuasaan yang ambivalen menuju kekuasaan yang benar-benar ingin mewujudkan janji-janji kampanye. Tinggalkan baju partai dan berkoalisilah dengan rakyat, tinggalkan bentuk-bentuk koalisi yang tidak konstruktif yang hanya menguntungkan elit-elit partai sehingga merugikan rakyat secara keseluruhan.
Jikalau diperlukan umumkan komitmen untuk berkoalisi dengan rakyat itu agar semua bisa menilai siapa yang menciderai amanat yang telah diberikan, jangan takut dukungan akan berkurang hanya karena melepaskan baju partai dan teman koalisi yang suka merongrong kekuasaan. Tinggalkan pola-pola pencitraan yang hanya akan bikin rakyat semakin muak, tinggalkan soal curhat-curhatan, pemimpin seharusnya mencontohkan rakyatnya untuk curhat kepada pemilik kehidupan saja.
” Rakyat rindu pemimpin yang negarawan, pemimpin yang cinta rakyat dan rakyat pun mencintainya karena kepemimpinannya yang amanah “
sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H