Korupsi merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh Indonesia dalam berbagai sektor kehidupan, baik pemerintahan, ekonomi, maupun sosial. Upaya pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas utama dalam sistem hukum Indonesia, namun tantangan besar tetap ada dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang kompleks. Dalam konteks hukum pidana, untuk dapat mengadili seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, terdapat dua elemen utama yang harus dibuktikan, yaitu actus reus (perbuatan tercela) dan mens rea (niat jahat). Kedua elemen ini, meskipun bukan hal yang baru dalam sistem hukum pidana modern, memiliki akar yang dalam dalam tradisi hukum Inggris melalui pemikiran para tokoh besar seperti Edward Coke.
Edward Coke adalah seorang tokoh hukum Inggris yang dikenal sebagai penggagas penting dalam pengembangan prinsip-prinsip dasar hukum pidana, terutama yang berkaitan dengan pemahaman actus reus dan mens rea. Pemikirannya ini menjadi dasar penting dalam sistem hukum pidana di banyak negara, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan penegakan hukum terhadap kejahatan yang melibatkan niat dan perbuatan. Dalam konteks korupsi di Indonesia, penerapan kedua unsur tersebut tidak selalu mudah, mengingat adanya faktor-faktor kompleks yang mempengaruhi tindak pidana tersebut, seperti penyalahgunaan kekuasaan, kolusi, serta niat jahat yang sulit dibuktikan secara langsung.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis penerapan prinsip actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi di Indonesia, dengan merujuk pada konsep hukum yang dikembangkan oleh Edward Coke. Melalui analisis ini, diharapkan dapat ditemukan wawasan yang lebih jelas mengenai tantangan dan solusi dalam penegakan hukum terhadap korupsi di Indonesia.
Apa perbedaan atau persamaan penerapan actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi di Indonesia dibandingkan dengan sistem hukum Inggris?
Penerapan actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi di Indonesia dan Inggris memiliki beberapa persamaan dan perbedaan yang signifikan, meskipun kedua sistem hukum ini sama-sama mengakui pentingnya kedua elemen tersebut untuk menentukan pertanggungjawaban pidana.
Persamaan
Baik di Indonesia maupun Inggris, untuk membuktikan seseorang bersalah dalam tindak pidana korupsi, kedua unsur actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat) harus dibuktikan. Actus reus merujuk pada tindakan fisik yang dianggap sebagai kejahatan, seperti penerimaan suap, penyalahgunaan wewenang, atau penggelapan dana. Sedangkan mens rea berkaitan dengan niat atau kesengajaan pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut, yang menunjukkan bahwa pelaku memiliki kesadaran akan akibat hukum dari tindakannya.
Kedua sistem hukum ini juga mengakui bahwa dalam beberapa kasus, tidak selalu diperlukan kedua unsur tersebut untuk terjadi bersamaan. Seseorang bisa saja memiliki niat jahat (mens rea) tetapi gagal melaksanakan perbuatannya (actus reus), atau sebaliknya, melakukan perbuatan yang merugikan tanpa niat jahat yang jelas. Oleh karena itu, pembuktian kedua unsur ini menjadi kunci dalam menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas tindak pidana korupsi.
Perbedaan
Meskipun ada kesamaan dalam penerapan actus reus dan mens rea, terdapat perbedaan dalam penerapannya antara Indonesia dan Inggris. Di Indonesia, sistem hukum cenderung lebih menekankan pada objektivitas perbuatan itu sendiri. Pembuktian actus reus dalam kasus korupsi lebih difokuskan pada tindakan yang merugikan negara, seperti suap atau penyalahgunaan wewenang, yang dapat dibuktikan meskipun tidak selalu ada bukti langsung mengenai niat jahat pelaku. Hal ini menyebabkan pembuktian mens rea dalam kasus korupsi di Indonesia sering kali lebih sulit, karena niat jahat pelaku sering kali tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.
Di sisi lain, sistem hukum Inggris lebih menekankan pada pembuktian mens rea secara eksplisit. Dalam kasus korupsi di Inggris, selain membuktikan adanya actus reus (misalnya penerimaan suap), penting juga untuk membuktikan bahwa pelaku memiliki niat jahat dan kesadaran akan ilegalitas tindakannya. Penerapan ini lebih mengarah pada kebutuhan untuk menunjukkan bahwa pelaku dengan sengaja melakukan tindakan yang merugikan negara atau pihak lain demi keuntungan pribadi.
Selain itu, hukum Inggris juga lebih berkembang dalam hal penerapan actus reus dan mens rea pada badan hukum atau korporasi. Dalam sistem hukum Inggris, prinsip vicarious liability memungkinkan perusahaan atau organisasi untuk dimintai pertanggungjawaban jika tindak pidana dilakukan oleh karyawan atau pejabat yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan, jika terbukti ada niat jahat yang berkaitan dengan tindakan tersebut. Sementara itu, di Indonesia, meskipun ada ketentuan mengenai tanggung jawab badan hukum dalam kasus korupsi, penerapan prinsip ini belum sekuat di Inggris.
Mengapa hukum Indonesia cenderung lebih fokus pada pembuktian actus reus ketimbang mens rea dalam kasus korupsi?
Hukum Indonesia cenderung lebih fokus pada pembuktian actus reus ketimbang mens rea dalam kasus korupsi karena beberapa alasan yang berkaitan dengan karakteristik sistem hukum Indonesia, tantangan dalam membuktikan niat jahat, serta sifat kompleks dari tindak pidana korupsi itu sendiri.
1. Kesulitan dalam Membuktikan Niat (Mens Rea)
Salah satu alasan utama mengapa pembuktian actus reus lebih dominan dalam kasus korupsi adalah kesulitan dalam membuktikan mens rea atau niat jahat pelaku. Dalam kasus korupsi, terutama yang melibatkan pejabat publik, seringkali niat jahat pelaku sulit untuk dibuktikan. Banyak tindakan korupsi yang dilakukan dengan cara-cara tersembunyi, seperti suap, pemalsuan dokumen, atau penyalahgunaan wewenang yang tidak langsung menunjukkan niat buruk. Oleh karena itu, pembuktian mens rea menjadi tantangan besar, terutama jika tidak ada bukti yang jelas mengenai niat atau kesengajaan pelaku untuk merugikan negara atau masyarakat.
2. Pendekatan Objektif dalam Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia, yang lebih mengutamakan pendekatan objektif, cenderung lebih fokus pada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku (actus reus). Dalam konteks korupsi, actus reus dapat lebih mudah dibuktikan melalui bukti fisik seperti dokumen, transaksi keuangan, atau saksi yang melihat langsung perbuatan tersebut. Sebaliknya, mens rea yang berhubungan dengan niat atau kesengajaan untuk melakukan tindak pidana sering kali membutuhkan bukti yang lebih kompleks, seperti percakapan pribadi, komunikasi elektronik, atau rekaman yang sulit didapatkan. Oleh karena itu, pembuktian actus reus dianggap lebih praktis dan memungkinkan proses hukum berjalan lebih cepat.
3. Kompleksitas Kasus Korupsi
Kasus korupsi di Indonesia sering melibatkan pejabat tinggi negara, anggota legislatif, atau perusahaan besar, dengan jaringan yang sangat rumit dan tersembunyi. Pembuktian actus reus dalam hal ini lebih memungkinkan karena sering kali dapat ditemukan bukti fisik yang jelas terkait dengan perbuatan tersebut, seperti pengalihan dana negara atau penerimaan suap. Namun, pembuktian niat jahat (mens rea) menjadi lebih sulit, karena banyak pelaku yang berusaha menutupi atau menyembunyikan niat mereka di balik berbagai lapisan hukum atau administrasi yang rumit. Oleh karena itu, pembuktian actus reus lebih diprioritaskan sebagai langkah awal untuk memastikan adanya kerugian negara.
4. Efektivitas Proses Hukum
Dalam praktiknya, pembuktian actus reus lebih memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan pembuktian mens rea. Proses hukum terhadap kasus korupsi sering kali memerlukan waktu yang lama dan melibatkan banyak pihak. Dengan memfokuskan pada pembuktian actus reus, jaksa penuntut dan penyidik dapat mengumpulkan bukti lebih cepat, yang membantu mempercepat proses peradilan. Sementara itu, untuk membuktikan niat jahat pelaku, yang sering kali tersembunyi, dibutuhkan pembuktian yang lebih mendalam dan waktu yang lebih lama.
5. Budaya Birokrasi dan Kekuasaan
Di Indonesia, budaya birokrasi dan kekuasaan yang sering kali membuka celah bagi praktik korupsi membuat pembuktian actus reus menjadi lebih mudah dilakukan. Perbuatan-perbuatan yang merugikan negara, seperti penyalahgunaan jabatan atau penggelapan, dapat teridentifikasi dengan lebih jelas meskipun tidak selalu dapat dibuktikan secara langsung dengan bukti niat jahat pelaku. Hal ini menjadikan pembuktian actus reus sebagai langkah yang lebih pragmatis dalam menghadapi kasus korupsi, terutama untuk memastikan bahwa kerugian negara dapat segera dihentikan, meskipun niat pelaku sulit terungkap.
Secara keseluruhan, meskipun baik actus reus maupun mens rea adalah dua unsur penting dalam penegakan hukum pidana, fokus pada pembuktian actus reus dalam kasus korupsi di Indonesia lebih disebabkan oleh kesulitan dalam membuktikan niat jahat pelaku serta kebutuhan untuk segera menangani kerugian negara yang terjadi. Pembuktian actus reus memberikan jalan yang lebih realistis dan efisien dalam penuntutan kasus-kasus korupsi yang kompleks dan melibatkan banyak pihak.
Bagaimana hukum di Indonesia saat ini menggunakan elemen actus reus dan mens rea untuk membuktikan tindak pidana korupsi?
Dalam hukum pidana Indonesia, elemen actus reus (perbuatan melawan hukum) dan mens rea (niat jahat) digunakan untuk membuktikan tindak pidana, termasuk korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Kedua elemen ini merupakan bagian integral dari pembuktian pidana.
1. Actus Reus dalam Kasus Korupsi
Actus reus dalam tindak pidana korupsi merujuk pada tindakan konkret yang melawan hukum, seperti menerima suap, memperkaya diri sendiri, atau menyebabkan kerugian negara. Contohnya adalah pelanggaran Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menuntut adanya perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara. Dalam konteks ini, bukti material seperti dokumen keuangan, rekaman transaksi, atau pengakuan saksi menjadi kunci untuk membuktikan perbuatan tersebut.
2. Mens Rea dalam Kasus Korupsi
Mens rea mengacu pada niat atau kesengajaan pelaku saat melakukan tindak pidana korupsi. Di Indonesia, elemen ini tercermin dari frasa "secara melawan hukum" dan "dengan sengaja" dalam pasal-pasal yang relevan. Dalam pembuktian mens rea, jaksa perlu menunjukkan bahwa pelaku menyadari tindakannya bertentangan dengan hukum dan memiliki niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau merugikan pihak lain. Hal ini sering didukung oleh bukti berupa percakapan, korespondensi, atau pola tindakan pelaku.
Sinergi Keduanya
Pembuktian korupsi di Indonesia mengharuskan jaksa menunjukkan hubungan antara actus reus dan mens rea. Actus reus membuktikan adanya perbuatan melawan hukum, sedangkan mens rea menunjukkan niat di balik perbuatan tersebut. Pemenuhan dua elemen ini penting untuk memastikan bahwa tindakan korupsi dapat dijatuhi hukuman yang sesuai.
Studi Kasus
Kasus korupsi PT Asabri melibatkan penyalahgunaan dana pensiun TNI, Polri, dan ASN Kementerian Pertahanan dengan kerugian negara mencapai Rp 22,7 triliun, salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Modus operandi yang digunakan adalah manipulasi investasi, di mana dana Asabri ditempatkan pada saham gorengan---saham dengan nilai yang dimanipulasi melalui skema kolusi antara pihak internal perusahaan dan pengusaha eksternal. Selain itu, dana juga diinvestasikan pada reksadana berisiko tinggi yang portofolionya tidak jelas, sehingga keuntungan ilegal dialirkan ke aset pribadi para pelaku. Di antara pelaku utama adalah mantan Direktur Utama PT Asabri, Adam Damiri dan Sonny Widjaja, serta pengusaha Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, yang juga terlibat dalam kasus Jiwasraya. Tindakan ini dilakukan secara sistematis untuk memperkaya diri sendiri, merugikan keuangan negara, dan menghancurkan kepercayaan terhadap pengelolaan dana publik. Pengadilan menjatuhkan hukuman berat, termasuk penjara seumur hidup untuk Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, serta penyitaan aset untuk menutup kerugian negara. Kasus ini menyoroti kelemahan tata kelola keuangan di BUMN dan pentingnya pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah korupsi dalam pengelolaan dana publik.
Kesimpulan
Kesimpulannya, pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan pembuktian actus reus (perbuatan melawan hukum) dan mens rea (niat jahat). Kasus PT Asabri menunjukkan fokus pembuktian pada actus reus melalui bukti tindakan yang merugikan negara, sementara mens rea sering sulit dibuktikan karena niat jahat pelaku tersembunyi. Penegakan hukum yang tegas dalam kasus ini mencerminkan pentingnya reformasi tata kelola dan penguatan pengawasan untuk mencegah korupsi di masa depan.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, 2010.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press, 1961.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998.
Simons, Kenneth. "Mens Rea and Actus Reus." Criminal Law Review, 2007.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H