Mohon tunggu...
Indiera Rizky Dwirani
Indiera Rizky Dwirani Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010148

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

20 November 2024   18:38 Diperbarui: 20 November 2024   18:38 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendekatan Robert Klitgaard menekankan pada faktor sistemik dalam menjelaskan korupsi, yang tercermin dalam formula Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability. Klitgaard mengidentifikasi tiga komponen utama yang memfasilitasi korupsi dalam sebuah sistem: 

1. Monopoli: Korupsi berkembang ketika sebuah individu atau kelompok memiliki kontrol penuh atas sumber daya atau keputusan tanpa adanya persaingan atau pengawasan. Di Indonesia, monopoli sering terjadi di berbagai sektor, terutama dalam birokrasi dan sektor ekonomi yang dikuasai oleh beberapa kelompok besar atau pejabat yang memiliki akses eksklusif terhadap kebijakan atau sumber daya negara. Dalam banyak kasus, pejabat pemerintah yang memegang kekuasaan dalam pembuatan kebijakan atau pengalokasian anggaran memiliki kontrol yang sangat besar terhadap keputusan keputusan penting, yang membuka peluang besar untuk terjadinya korupsi. Misalnya, dalam pengadaan barang dan jasa atau sektor penerbitan izin, pejabat yang memiliki monopoli terhadap proses ini bisa saja menyalahgunakan kewenangannya. Mengurangi monopoli dapat dilakukan dengan mendiversifikasi kekuasaan dan memastikan adanya persaingan yang sehat antar lembaga atau sektor ekonomi, serta membatasi wewenang yang terpusat pada satu individu atau kelompok. Dengan mendorong desentralisasi dan pembagian kekuasaan yang lebih merata, Indonesia dapat menciptakan ruang yang lebih terbuka untuk transparansi dan mengurangi potensi korupsi. 

2. Diskresi: Adanya kewenangan yang luas tanpa pengawasan yang jelas memberi ruang bagi pejabat atau individu untuk menyalahgunakan kekuasaan. Di Indonesia, banyak pejabat yang memiliki diskresi yang sangat besar, terutama dalam pengambilan keputusan administratif atau dalam pengelolaan anggaran. Dalam beberapa kasus, mereka diberi kebebasan untuk membuat keputusan yang dapat mempengaruhi aliran dana atau pengalokasian sumber daya tanpa ada sistem kontrol yang memadai. Untuk mengurangi peluang korupsi, diskresi harus dibatasi dengan standar operasional prosedur yang jelas, serta aturan yang mengharuskan pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan berbasis bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Penguatan peraturan internal di institusi pemerintah dan lembaga negara adalah langkah penting dalam mengurangi diskresi yang tidak terkendali. Selain itu, perlu ada evaluasi rutin terhadap kebijakan yang diambil oleh pejabat dan memastikan bahwa setiap keputusan memiliki landasan yang jelas dan dapat diaudit oleh pihak yang independen. 

3. Akuntabilitas: Klitgaard menekankan bahwa korupsi akan lebih mudah terjadi ketika akuntabilitas rendah. Dalam konteks Indonesia, banyak lembaga yang kurang akuntabel dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Banyak proyek dan kebijakan pemerintah yang minim pengawasan, sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada reformasi dalam sistem pengawasan internal dan eksternal, seperti memperkuat peran BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), serta lembaga pengawasan lainnya untuk memastikan adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan publik. Reformasi dalam sistem akuntabilitas harus mencakup perubahan dalam cara pengawasan dilakukan, dengan mengadopsi teknologi untuk memantau aliran dana, serta meningkatkan kemampuan lembaga pengawasan untuk melakukan audit dan memberikan laporan yang transparan. 

Faktor Individu: Pendekatan Bologna 

Sementara Klitgaard lebih menekankan faktor kelembagaan, Jack Bologna menawarkan penjelasan yang lebih berfokus pada faktor individu dalam terjadinya korupsi melalui teori fraud triangle yang terdiri dari tiga elemen: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Teori ini berfokus pada motivasi individu yang terlibat dalam korupsi, serta bagaimana elemen-elemen ini saling terkait untuk menciptakan situasi di mana korupsi menjadi pilihan. 

1. Tekanan: Tekanan dalam konteks Indonesia bisa berasal dari berbagai sumber, seperti kebutuhan finansial yang mendesak, biaya hidup yang tinggi, atau tekanan sosial untuk memenuhi ekspektasi tertentu, terutama bagi pejabat pemerintah atau pelaku bisnis. Tekanan ini dapat memotivasi individu untuk melakukan tindakan korupsi sebagai jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Di Indonesia, ketidakpastian ekonomi, gaji yang tidak mencukupi, atau bahkan kebutuhan untuk mendukung keluarga besar seringkali menjadi pemicu yang memaksa individu untuk mempertimbangkan tindakan korupsi. Tekanan ini juga bisa datang dari rekan sejawat yang memiliki perilaku korupsi yang sudah mapan, yang menganggap bahwa korupsi adalah cara normal untuk bertahan hidup dalam lingkungan tersebut. Untuk mengurangi tekanan, penting untuk memperbaiki kesejahteraan sosial-ekonomi dengan mengurangi ketimpangan pendapatan dan menyediakan akses yang lebih baik terhadap layanan publik, sehingga masyarakat tidak merasa terdesak untuk melakukan korupsi. Selain itu, penguatan sistem gaji yang adil bagi pejabat negara juga dapat mengurangi tekanan yang memicu korupsi. Penyesuaian dalam kebijakan ekonomi yang memberikan insentif bagi pegawai negeri untuk tidak terlibat dalam korupsi akan menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bebas dari tekanan untuk melakukan tindakan ilegal. 

2. Peluang: Dalam teori Bologna, peluang untuk melakukan korupsi terjadi ketika pengawasan dan kontrol internal yang lemah memungkinkan individu untuk menyalahgunakan kekuasaan tanpa takut dihukum. Di Indonesia, peluang untuk melakukan korupsi masih sangat besar, terutama di sektor publik yang minim pengawasan. Banyak proses dalam administrasi publik yang tidak transparan, yang memungkinkan individu untuk menyalahgunakan posisi mereka. Misalnya, dalam proses pengadaan barang dan jasa, kurangnya transparansi sering menciptakan peluang bagi pejabat untuk melakukan korupsi. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan reformasi besar-besaran dalam sistem pengawasan, dengan meningkatkan peran teknologi dalam memantau jalannya pemerintahan dan memastikan setiap transaksi atau keputusan dapat dilacak dan diaudit. Selain itu, penerapan prinsip "open data" di instansi pemerintah akan mengurangi peluang untuk melakukan tindakan yang tidak sah. Teknologi juga dapat digunakan untuk menciptakan platform yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan kebijakan publik dan mengidentifikasi potensi penyalahgunaan. 

3. Rasionalisasi: Banyak individu yang terlibat dalam korupsi seringkali mencari alasan atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakannya. Mereka merasa bahwa korupsi adalah hal yang wajar atau bahkan diperlukan karena dianggap sebagai bagian dari sistem yang ada, atau karena mereka merasa tidak ada hukuman yang efektif. Rasionalisasi ini sering kali muncul karena individu tersebut merasa bahwa mereka tidak bisa mencapai tujuan mereka tanpa melanggar aturan, atau mereka beranggapan bahwa tindakan mereka tidak merugikan siapa pun. Untuk mengatasi rasionalisasi ini, penting untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan tentang etika dan integritas, baik di kalangan pejabat publik maupun di masyarakat. Pendidikan tentang bahaya dan dampak negatif dari korupsi harus dimulai sejak dini, dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Selain itu, memperkuat penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi akan mengurangi ruang bagi rasionalisasi tersebut. Proses ini juga mencakup perubahan dalam budaya kerja di Indonesia, di mana perilaku korupsi dianggap sebagai tindakan yang tidak bisa diterima di semua level. 

Pendekatan Gabungan: Sistemik dan Individu 

Untuk mengurangi peluang korupsi di Indonesia, pendekatan yang menggabungkan faktor sistemik (seperti yang dijelaskan Klitgaard) dengan faktor individu (berdasarkan teori Bologna) adalah kunci. Reformasi kelembagaan yang mengurangi monopoli kekuasaan, membatasi diskresi, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi harus didukung oleh upaya yang berfokus pada perubahan perilaku individu. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan sosial, memperkuat pendidikan tentang integritas, dan memperbaiki sistem pengawasan. Upaya untuk mengurangi peluang korupsi juga harus mencakup penciptaan mekanisme yang lebih baik untuk menangani pelaporan korupsi dan perlindungan terhadap whistleblower, sehingga individu yang melihat tindakan korupsi dapat melaporkan dengan aman dan tanpa takut akan pembalasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun