Dalam rangka mencapai eudaimonia, seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas tentang bagaimana tindakan dan kebijakan mereka dapat berkontribusi pada kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Mereka harus mampu melihat melampaui kepentingan pribadi dan mempertimbangkan apa yang terbaik bagi keseluruhan komunitas.Â
Pemimpin yang mengejar eudaimonia akan memastikan bahwa semua tindakannya membawa manfaat jangka panjang dan mendukung pencapaian kehidupan yang bermakna dan bahagia bagi dirinya dan rakyatnya.Â
Singkatnya, eudaimonia dalam kepemimpinan menurut Aristoteles adalah kebahagiaan yang tercapai melalui hidup yang berbudi luhur, adil, dan bijaksana. Pemimpin yang mencapai eudaimonia adalah mereka yang tidak hanya mengejar kesuksesan material, tetapi juga membangun masyarakat yang sejahtera melalui tindakan yang bermoral, adil, dan rasional. Â
Aristoteles mengembangkan pemikiran tentang etika yang memiliki kesamaan dengan ajaran Sokrates dan Plato, terutama dalam hal tujuan mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan sebagai "kebaikan tertinggi" dalam hidup. Namun, Aristoteles memahami hal ini dengan cara yang lebih realistis dan sederhana.Â
Ia tidak fokus pada akal dan penerapannya, seperti yang dilakukan oleh Sokrates, dan tidak pula mencari pengetahuan tentang ide yang abadi dan tidak berubah, seperti yang dikemukakan oleh Plato mengenai ide kebaikan. Sebaliknya, Aristoteles lebih menekankan pada kebaikan yang bisa dicapai manusia sesuai dengan jenis kelamin, status, kedudukan, atau pekerjaannya masing-masing.Â
Menurut Aristoteles, tujuan hidup bukanlah semata-mata mencapai kebaikan demi kebaikan itu sendiri, tetapi untuk merasakan kebahagiaan. Misalnya, bagi seorang dokter, kesehatan adalah kebaikan; bagi seorang prajurit, kemenangan adalah kebaikan; dan bagi seorang pengusaha, kemakmuran adalah kebaikan. Ukuran kebaikan, menurutnya, adalah sejauh mana hal itu memiliki nilai praktis dalam kehidupan.Â
Tujuan kita bukanlah untuk sekadar mengetahui, melainkan untuk bertindak. Kita tidak perlu hanya memahami apa itu kebajikan, tetapi harus berusaha menjadi pribadi yang berbudi.
Aristoteles berpendapat bahwa manusia memiliki tujuan yang harus dicapai melalui tindakan-tindakannya. Hampir semua aktivitas manusia diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang biasanya ditujukan demi hal lain. Sebagai contoh, seorang ayah bekerja untuk mendapatkan uang, uang digunakan untuk membeli kebutuhan, dan kebutuhan tersebut dipenuhi agar berbagai tugas dapat diselesaikan.Â
Dalam kerangka ini, Aristoteles mengajukan pertanyaan apakah ada tujuan tertinggi, terbaik, dan final yang dikejar demi dirinya sendiri, bukan demi tujuan lain. Jika ada, maka semua tujuan yang telah disebutkan akan mengarah pada tujuan terakhir tersebut. Aristoteles menyatakan bahwa tujuan akhir ini adalah eudaimonia atau kebahagiaan, yang diartikan kebahagiaan well-being.Â
Well-being berarti bahwa semua kebutuhan terpenuhi, dan manusia hidup dengan baik serta sejahtera. Dalam bahasa Yunani, eudaimonia secara harfiah berarti 'memiliki daimn yang baik'.Â
Daimn di sini merujuk pada jiwa, sehingga memiliki jiwa yang baik -- atau jiwa yang berbahagia -- adalah tujuan akhir yang tidak ditujukan untuk hal lain. Tidak ada seorang pun yang mengejar kebahagiaan demi kehormatan, kekuasaan, atau kekayaan. Dengan demikian, kebahagiaan bukanlah sarana, melainkan tujuan akhir bagi manusia.