Mohon tunggu...
Didi Irawan
Didi Irawan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Semua adalah pemenang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Simulacra: Ilusi Story WA dalam Pertemanan

28 September 2024   20:27 Diperbarui: 28 September 2024   20:42 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : lagaligopos.com

Di era media sosial, Story WhatsApp (WA) telah menjadi cara yang populer untuk berbagi momen sehari-hari dan tetap merasa terhubung dengan teman-teman. Setiap kali kita mengunggah story dan melihat siapa yang telah "melihatnya", ada rasa senang dan merasa ada pengakuan sosial yang kita rasakan. Tanda "dilihat" ini sering kali memberikan kesan bahwa hubungan sosial kita masih kuat dan bahwa teman-teman memperhatikan kita. Namun, apakah benar tanda ini mencerminkan kedekatan yang nyata, atau hanya sekadar ilusi digital yang diciptakan oleh simbol visual?

Dalam dunia digital, penting untuk mengkaji bagaimana tanda-tanda seperti "dilihat" dan "like" membentuk persepsi kita tentang hubungan sosial. Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulacra, menjelaskan bahwa tanda-tanda visual ini bisa menciptakan ilusi kedekatan yang dangkal. Simulacra adalah representasi dari realitas yang tampak nyata, tetapi tidak memiliki kedalaman atau substansi. Dalam konteks media sosial, simbol-simbol seperti "dilihat", "like", dan bahkan "emoji" menjadi tiruan dari perhatian yang sebenarnya, membuat kita merasa terhubung, meskipun sering kali tidak ada keterlibatan emosional yang mendalam.

Bagi kita yang  beraktifitas dengan jadwal padat, fitur Story WA menawarkan cara cepat untuk tetap merasa terhubung dengan teman-teman. Setiap kali story kita dilihat, kita merasa bahwa pertemanan tersebut terjaga, meskipun tidak ada interaksi langsung. Namun, ini adalah bentuk simulasi perhatian. Tanda "dilihat" hanya mewakili tindakan pasif melihat, tanpa jaminan bahwa ada keterlibatan nyata atau percakapan lebih lanjut. Sering kali, orang melihat story sebagai bagian dari kebiasaan, bukan karena mereka benar-benar peduli atau tertarik pada apa yang kita bagikan.

Selain tanda "dilihat" dan "like", kini ada simbol lain yang semakin memainkan peran penting dalam komunikasi digital, yakni "emoji". Emoji telah menjadi bagian integral dari cara kita mengekspresikan emosi di dunia maya. Dengan satu emoji, kita bisa menyampaikan perasaan yang seolah-olah kompleks, dari tawa, sedih, marah, hingga cinta. Namun, sama seperti "dilihat" dan "like", penggunaan emoji juga bisa dilihat sebagai bagian dari fenomena simulacra. Emoji adalah simbol visual yang terlihat mewakili perasaan, tetapi sering kali kurang memiliki kedalaman emosional yang sejati.

Ketika seseorang mengirimkan emoji hati atau tawa, kita mungkin merasa bahwa mereka memberikan dukungan atau apresiasi. Namun, sering kali, emoji hanyalah reaksi instan yang tidak diiringi oleh keterlibatan lebih lanjut. Seperti like, emoji memberi kita ilusi bahwa ada hubungan yang terjalin, tetapi sering kali itu hanya tindakan cepat dan tidak mendalam. Dalam konteks simulacra, emoji adalah representasi tiruan dari emosi yang sebenarnya.

Dari sudut pandang psikologi, fenomena ini bisa dijelaskan melalui Teori Penguatan Operan dari B.F. Skinner. Setiap kali kita menerima emoji, seperti senyuman atau hati, kita menerima semacam penguatan positif yang memperkuat perilaku kita untuk terus terlibat di media sosial. Pelepasan dopamin yang kita rasakan setiap kali menerima respons digital, baik itu emoji atau like, menciptakan siklus di mana kita terus-menerus mencari validasi dalam bentuk simbol-simbol visual ini. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Baudrillard, semua ini adalah bagian dari simulacra, tiruan yang terasa nyata, tetapi sebenarnya kurang memiliki kedalaman emosional yang sesungguhnya.

Kita juga bisa melihat ini dari perspektif Abraham Maslow yang menekankan kebutuhan akan pengakuan sosial. Di era digital, emoji memberikan bentuk pengakuan yang cepat dan instan. Saat seseorang mengirimkan emoji pada unggahan kita, kita merasa diterima secara sosial, meskipun interaksi tersebut sering kali sangat dangkal. Penggunaan emoji menjadi cara untuk menunjukkan keterlibatan tanpa harus benar-benar memberikan perhatian yang mendalam. Dengan mengirimkan emoji tawa atau senyum, seseorang dapat memberikan respons tanpa memikirkan makna lebih dalam dari interaksi tersebut.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana media sosial menciptakan ilusi keterhubungan. Kita merasa terhubung dengan banyak orang melalui tanda "dilihat", "like", dan "emoji", padahal sering kali hubungan ini dangkal dan hanya bersifat sementara. Pertemanan yang dibangun di atas simulasi ini bisa memberikan perasaan keterlibatan yang cepat, tetapi pada akhirnya meninggalkan kekosongan emosional. Ketika kita terlalu mengandalkan simbol-simbol digital ini, kita kehilangan makna sejati dari pertemanan yang seharusnya dibangun melalui komunikasi langsung, percakapan mendalam, dan kehadiran nyata.

Tekanan sosial untuk terus terlibat melalui simbol-simbol ini juga dapat memicu FOMO (Fear of Missing Out), sebuah fenomena psikologis di mana kita merasa takut tertinggal jika tidak aktif atau tidak mendapatkan interaksi di media sosial. Hal ini mendorong kita untuk semakin bergantung pada tanda-tanda seperti like, dilihat, atau emoji, meskipun sebenarnya interaksi tersebut tidak memberikan kepuasan emosional yang nyata. FOMO adalah salah satu bentuk dampak negatif dari hiperrealitas yang diciptakan oleh media sosial, di mana simbol-simbol digital menjadi lebih penting daripada hubungan emosional yang sebenarnya.

Pada akhirnya, penting bagi kita untuk menyadari bahwa simbol-simbol visual seperti emoji, like, dan tanda dilihat hanyalah representasi kosong yang sering kali tidak memiliki kedalaman. Pertemanan yang sejati membutuhkan lebih dari sekadar simbol visual yang cepat dan instan. Meskipun simbol-simbol ini memberikan kepuasan sementara, hubungan yang kuat dibangun melalui percakapan yang mendalam, keterlibatan yang nyata, dan kehadiran emosional yang sesungguhnya. Jika kita terlalu bergantung pada tanda-tanda digital, kita berisiko kehilangan esensi dari pertemanan yang otentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun