Mohon tunggu...
Indie Bintari
Indie Bintari Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

Halo aku indie si mahasiswa kunang kunang (kuliah-nangis) tapi nangis kecil kok soalnya capek juga ngelaprak semangatttttt!!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Standart Ganda yang Terkesan Tidak Adil Tetapi Sudah Lumrah di Kehidupan Sosial

10 Juni 2022   02:34 Diperbarui: 10 Juni 2022   02:42 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Double standart / Standart ganda adalah kondisi dimana kita menilai,merespon,memberikan Tindakan yang berbeda terhadap suatu permasalahan atau kasus yang serupa. Standar ganda itu bisa disebut hipokrit. Lebih umum lagi disebut orang munafik. Bermuka dua dalam menetapkan standar. 

Jika kita melihat kesalahan orang, seringkali kita menjadi hakim yang kejam, dengan bengis kita akan menuntut perbaikan dari orang tersebut. Sedangkan untuk kesalahan diri sendiri, kita banyak minta toleransi. Jiwa kita memberlakukan peraturan berstandar ganda. 

Penilaian moral tersebut sering banget kita temui di Indonesia dan biasanya dilakukan sebagian orang buat mengadili perilaku orang lain yang punya perbedaan prinsip, kelompok, agama, maupun ras.Kenapa banyak orang ber-standar ganda? Karena mereka lebih gemar dan terbiasa ‘menakar dan mengukur’ orang lain pakai takaran pikirannya sendiri. 

Kerap menilai orang lain dari ‘sudut pandang’ dirinya sendiri. Dan tidak mampu memahami orang lain dari sudut pandang yang berbeda. Gagalnya orang memahami realitas. Tidak berani berbeda dan hanya mau menang sendiri. Orang-orang ber-standar ganda. Hanya mau menuntut orang lain bersikap dan berbuat seperti yang dia mau. Tapi dirinya sendiri tidak mau melakukannya untuk orang lain. 

Standart ganda yang kerap kali terjadi pada masyarakat yakni : 

1. Cewek menangis dianggap wajar, cowok menangis dianggap lemah. Dalam ranah patriarki, laki-laki diberi label kuat, harus bertanggung jawab pada keluarga, tidak boleh menangis.Padahal menangis adalah cara seseorang mengekspresikan perasaannya atau meluapkan emosi. 

Bahkan menurut penelitian, menangis juga punya manfaat yang baik untuk kesehatan, salah satunya mengurangi rasa stres. Anggapan bahwa cowok yang menangis itu lemah ternyata bisa membuat depresi dan tertekan, ini bisa berakibat pada tindakan kriminal hingga bunuh diri.

2.  Perbedaan warna kulit di Indonesia. Warna kulit di Indonesia sangat beragam, dari kuning langsat, putih 'susu', putih pucat, sawo matang, sampai cokelat. Hal ini tentu tidak terlepas dari letak geografis Indonesia yang memang sangat berbeda dari provinsi satu dengan yang lain. 

Sayangnya, keberagaman yang ada bukan dijadikan sebagai harta kekayaan, melainkan cemoohan yang sering ditemukan. “This world could be fed, This world could be fun, This could be heaven for everyone, This world could be free, This world could be one,” begitulah sepenggalan kata yang dilantunkan Freddie Mercury. menjadi dorongan kuat untuk meruntuhkan labelisasi dan turut menginspirasi orang lain agar mengakui keberagaman yang ada agar dunia menjadi lebih indah. 

3. "Keadilan sosial bagi mereka yang goodlooking" Sangat sulit untuk mengatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat good-looking tidak diterapkan di Indonesia. Mungkin komparasi diatas sedikit tidak apple to apple, tetapi esensinya adalah ketika kamu tidak berwajah tampan atau cantik, 

kamu akan mendapatkan perlakuan yang sedikit berbeda dari orang lain, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mengimani prinsip "Don't judge book by the Cover". Tugas kita adalah mempercantik atau merombak penampilan kita agar terlihat lebih good-looking sesuai dengan kapasitas kita, bukan memberikan hate speech terhadap orang yang sudah terlebih dahulu menjadi good-looking.

4.  Seorang laki-laki yang berkomentar seksual akan lebih terlihat ambigu dibandingkan saat perempuan yang melakukannya.Komentar yang paling disoroti adalah komentar dengan kalimat bernada seksual seperti, “rahimku bergetar”, “M*m** ku welcome” , “roti sobek” dan masih banyak komentar memalukan lainnya. 

Entah apa yang diharapkan perempuan-perempuan seperti ini, mungkin sebagian dari mereka menganggap hal itu sebagai candaan atau justru sebagian sudah terbiasa berkomentar seperti itu kepada laki-laki lain  Keduanya jelas sama-sama harus dinilai sebagai perilaku yang negatif dan harus dihindari baik oleh laki-laki maupun perempuan sehingga tidak ada lagi standar ganda yang merugikan salah satu gender.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun