Libur panjang yang bertepatan dengan perayaan imlek tahun 2018 membuat kawasan Chinatown (Pecinan) Bandung diramaikan oleh wisatawan.
Di halaman depan Kampung Cina (Pecinan) di Jalan Kelenteng Bandung berdiri gagah lambang seekor anjing berukuran tinggi sekitar 170 cm, karena dalam kalender tionghoa tahun ini melambangkan shio anjing tanah. Lampion warna merah mendominasi di area lokasi.
Kawasan pecinan ini sejak diresmikan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil Agustus tahun 2017 cukup menarik perhatian wisatawan. Geliat ekonomi sungguh terasa, area seluas 3000 m2 ini berisi aneka kuliner, tempat bermain anak, penjualan pernak-pernik maupun tempat untuk berfotoria bernuansa pecinan.
Pengunjung dapat menikmati beragam kuliner, baik tradisional seperti seblak, makanan barat maupun oriental seperti bakmi, bakpao, cahkwe dan aneka menu lainnya. Di tempat ini pengunjung juga dapat menyewa kostum koko cici untuk sekedar berfoto dan bergaya di atas jembatan buatan.
Saking ramainya untuk masuk kawasan ini di akhir pekan pengunjung dikenai tarif Rp. 20.000. Di masa liburan bahkan tempat ini  menjadi destinasi wisata yang menarik dan ramai dikunjungi wisatawan baik dari Bandung maupun dari luar kota.
Dalam catatan sejarah, kawasan pecinan Bandung berkembang pesat di sekitar pasar baru tahun 1905. Warga tionghoa umumnya menjadi pedagang. Salah satu perintis toko yaitu Tan Sioe How pendiri kios jamu babah kuya di jalan belakang pasar tahun 1910.
Bangsa tionghoa sendiri sebenarnya datang ke bumi nusantara jauh sebelum tahun itu. Pertama kali datang diperkirakan tahun 1405-1433 ketika Laksamana Ceng Hoo melakukan ekspedisi membuka jalur sutra dan keramik. Sejak itu berangsur-angsur bangsa tionghoa berdatangan dan membangun pecinan di beberapa daerah di Pulau Jawa.
Di masa lalu alasan munculnya pecinan yaitu karena faktor alasan sosial dan alasan politis. Alasan sosial karena keinginan sendiri masyarakat tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling membantu.Â
Alasan politis karena pemerintah hindia belanda mengharuskan masyarakat tionghoa dikonsentrasikan di tempat-tempat tertentu supaya lebih mudah diatur, dikenal dengan kebijakan wijkenstelsel. Pemerintah hindia belanda menganggap kedekatan warga tionghoa dan pribumi dapat membahayakan kehidupan mereka.
Salah seorang budayawan tionghoa menyatakan bahwa hubungan warga tionghoa dan pribumi  sekitar abad ke-19 dekat sekali alias tidak ada batasan. Namun pemerintah Belanda tidak senang melihat kedekatan tersebut sehingga Belanda memisahkan tionghoa dan pribumi dari segi ekonomi. Warga tionghoa dijadikan pedagang perantara rempah-rempah bangsa eropa dan pribumi. Lama kelamaan kedekatan menjadi memudar.
Adanya pecinan seolah mengenang nostalgia ke masa lalu. Kehadiran pecinan dan pengaruh budaya tionghoa ternyata turut memperkaya khasanah budaya nusantara.
Salam wiken.
Bandung, 18 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H