Mumpung sedang silaturahim dan jalan-jalan di Sumedang sesudah lebaran 1437 H, rasanya gak afdol kalau nggak mampir dan  berziarah ke makam pahlawan nasional asal Aceh yang wafat dan dimakamkan di pemakaman  Gunung Puyuh Sumedang yang hanya berjarak 2 km dari pusat Kota Sumedang. Setelah menjejakkan kaki di kompleks pemakaman, aku pun memohon ijin kepada juru kunci makam untuk memasuki bangunan makam Tjut Nya' Dhien yang kondisinya terawat baik, rapi dan bersih. Renovasi dan pembangunan makam yang masih terawat baik ini sepenuhnya berkat bantuan pemerintah daerah Aceh.
Di waktu-waktu tertentu makam Cut Nya' Dhien di Sumedang ramai dikunjungi, baik untuk ziarah wisata, tugas karya ilmiah para pelajar sekolah maupun sarasehan yang dilakukan kelompok masyarakat asal Aceh.Â
Di sekitar makam Cut Nya' Dhien terdapat makam keluarga / ahli waris KH Sanoesi yang dulu merawat Cut Nya' Dhien semasa hidupnya. Di Sumedang sendiri Cut Nya' Dhien hanya hidup menetap selama 2 tahun sebelum akhirnya meninggal dunia. Beliau cukup berjasa dan dihormati masyarakat karena merupakan ahli agama karena sempat mengajarkan ilmu mengaji bagi warga setempat. Cut Nya' Dhien mendapat gelar pahlawan nasional yang diberikan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1964.
Selanjutnya pada tahun 1906 Cut Nya' Dhien dibuang ke Sumedang (Jawa Barat) disertai pengawalnya Panglima berumur 50 tahun dan Teuku Nana (berumur 15 tahun). Belanda menyerahkan Cut Nya' Dhien kepada Kanjeng Dalem Pangeran Aria Soeryaatmadja (Bupati Sumedang). Kemudian Kanjeng Dalem memanggil KH Ilyas, Imam Besar Masjid Agung Sumedang dan menyarankan agar Cut Nya' Dhien ditempatkan di rumah Hj Soleha, yang terletak dibelakang Masjid Agung. Kanjeng Dalem bertanggungjawab penuh selama Cut Nya' Dhien berada di Sumedang, sehingga segala kebutuhan sehari -hari dan kesehatannya sangat diperhatikan. Â
Hal ini karena Kanjeng Dalem Pangeran mengetahui sepak terjang perjuangan Cut Nya' Dhien di Aceh, yang tidak mau bertemu dengan pemerintah Belanda, apalagi menerima pemberian mereka. Cut Nya' Dhien juga tidak mau tinggal diam walau dalam keadaan buta dan sakit-sakitan, sehari-harinya beliau mengaji dan tidak pernah keluar rumah. Dengan menguasai ilmu agama dan hafal Alquran, banyak anak-anak kaum dan masyarakat sekitarnya belajar mengaji dan ilmu agama, sehingga Cut Nya' Dhien dianggap sebagai ibu suci oleh masyarakat sekitarnya.Â
Kanjeng Pangeran Soeryaatmaja kemudian memberi gelar Cut Nya' Dhien sebagai ibu prabu (ibu ratu) selain srikandi nasional. Cut Nya' Dhien dirawat oleh KH Sanoesi yang dikenal sebagai guru agama, kemudian diteruskan oleh putranya H Hoesna. Kesehatan Cut Nya' Dhien semakin lama semakin menurun sehingga wafat pada usia 60 tahun pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di tanah pemakaman keluarga KH Sanoesi. Semoga Allah SWT memberi rahmat kepada arwah suci pahlawan putri yang amat berjasa dan setia ini serta memberi rahmat kepada orang-orang yang telah berjasa merawat dan melindungi di masa pembuanganya. Aamiin."
Inilah sekilas catatan ringan saat ziarah wisata ke makam salah satu pahlawan nasional. Cut Nya' Dhien, pahlawan wanita yang layak untuk dikenang!
Sumedang, Â Syawal 1437 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H