Jangan Asal Main Clurit
Hingar bingar dan hiruk pikuk rekan kompasianer yang berseteru dan berbeda pendapat terkait kasus Pakde & Gayus masih terus bergulir. Ada 3 kelompok kompasianer atas kasus ini, yaitu: pertama kelompok yang menghujat alias menghakimi, kedua kelompok yang mendukung  dan ketiga kelompok yang bersikap netral alias tak berpihak.Â
Aku sendiri cenderung tidak ikut ketiga kelompok tersebut, melainkan memilih kelompok keempat, yaitu kelompok yang menganggap tulisan rekan kompasianer sebagai hiburan semata. Yang baik diambil, yang buruk ditinggalkan. Ketika ada artikel yang isinya clurit-cluritan, aku jadi teringat waktu masih tinggal di Surabaya dulu. Ini kisahnya.
Sewaktu masih di Surabaya, aku banyak berinteraksi dan berkenalan dengan sahabat-sahabatku warga madura. Walaupun temanku orang madura aku gak pernah denger sobatku ini ngomongin soal clurit menclurit. Aku bahkan pernah traveling menyusuri mulai ujung jembatan Suramadu sampai ujung timur Sumenep tanpa takut di clurit.
Di Surabaya, salah satu tukang sate yang ku kenal namanya cak Tole (samaran), sering mangkal dekat rumah. Kalau malam biasanya aku beli sate cak Tole. Namun karena selalu membawa clurit dilacinya, maka aku gak pernah mau deket-deket cak Tole waktu membeli satenya. Takut kesrempet cluritnya!Â
Suatu ketika saat ada kesempatan mengobrol-ngobrol, sambil bercanda aku mengomentari rasa sate yang dijual cak Tole. Aku tanya begini: "Cak, kalau aku bilang sate kambing ini gak enak piye?"Â
"Oo tak clurit sampean!". Jawabnya sambil ngipas-ngipas sate.
Yo wis cak, jangan marah-marah. Ini kan cuma bercanda! Lagian ini kan sate ayam bukan sate kambing! Hehehe...
Truss aku tanya lagi. "Cak, umpamanya aku beli sate truss gak bayar piye cak? "
"Oo tak clurit sampean!". Jawabnya masih sambil ngipas-ngipas sate.
"Ihh bikin takut aja!"