Kesetaraan gender menjadi isu global yang banyak diperbincangkan. Di mana perempuan memperjuangkan haknya sebagai manusia untuk bisa maju, berkarir, bahkan memimpin. Ternyata kesetaraan gender ini sudah ada sejak zaman dulu, termasuk secara tidak langsung ada dalam kisah Ramayana.
Dalam penuturan dalam buku Rahuvana Tattwa, di kisahkan anak negeri Jambhudiva yang menyembah Siva tersingkir di tanah airnya oleh Indra dan bangsa Arya. Kemudian suatu saat Rahuvana memporak porandakan Indraloka dan meraih kemenangan atas keturunannya yang dihina, dianggap bengis, liar, dan bermoral rendah.
Kisah Ramayana dari sudut pandang Rahuvana, keturunan Daksha, bangsa Rakshasa, menuturkan kisah bahwa bangsa Rakshasa yang terkenal dengan kulit hitam, gagah, liar, berani, menjungjung tinggi bangsa, dan pantang untuk merendahkan perempuan. Bahkan peperangan yang terjadi antara Rama dan Rahuvana berawal dari Surphanaka, adik Rahuvana yang sedang mencari siapa pembunuh penjaga kerajaannya tidak sengaja bertemu dengan Rama dan adiknya, Lakhsmana. Karena terpikat dengan ketampanan Rama, Surphanaka langsung menyampaikan rasa sukanya kepada Rama (yang dianggap tidak pantas oleh Rama, keturunan Arya, bangsa Mannusa, bahwa perempuan seharusnya memiliki sifat yang pemalu, lemah lembut, dan rendah hati).
Alasan Rahuvana ingin memiliki Sita karena bukan hanya ia mirip dengan Vidyavati, namun beredar juga rumor bahwa Sita merupakan titisan Dewi Sri, dewi keberuntungan. Selain itu, Rahuvana ingin mengikuti jejak kakeknya Prabu Sumali yang mempunyai istri keturunan Mathili dan Sita pun keturunan Mathili.
Dalam kisah Ramayana, kontras sekali perbedaan antara bangsa Rakshasa dan bangsa Arya bukan hanya dari perbedaan warna kulit saja. Melainkan dari budaya, tradisi, ilmu pengetahuan bahkan dewa yang disembah. Bangsa Rakshasa sangat menghormati perempuan, menganggap perempuan sosok yang tangguh, berani, dan bangsa mereka tidak sekali pun berani untuk merendahkan perempuan. Hingga Rahuvana pun menyesal telah mendekati Vidyavati, dan Vidyavati merasa tidak terima hingga menyeruakan sapatha kepada Maharaja Alengkadiraja (di mana sapatha ini yang terus membayang-bayangi Rahuvana).
Berbeda dengan bangsa Rakshasa yang menganut matriarki, bangsa Arya penganut patriarki merasa laki-laki punya kehormatan yang lebih tinggi. Seperti sikap Rama yang tidak mempercayai kesucian Sita setelah bertahun-tahun hidup di Taman Asoka, Langkapura, hingga Sita memberanikan diri untuk membakar dirinya di dalam kobaran api. Namun, karena Sita masih suci ia tidak terbakar api.Â
Saat kesuciannya sudah terbukti pun Rama masih ragu kepada Sita, hingga Sita diusir dari Ayodhya dalam keadaan hamil oleh Rama, karena Rama tidak kuat menahan desas-desus rakyat Ayodhya, bahwa Sita telah terjamah oleh Rahuvana. Padahal tidak sekalipun Rahuvana menyentuh Sita, malah ia membiarkan Sita hidup di Taman Asoka yang indah dan memberikan pelayanan kepada Sita melalui dayang-dayangnya.
Bhibisana, adik Rahuvana yang berkhianat menyayangkan sikap Rama terhadap Sita, bagaimana mungkin seorang Rama yang dianggap titisan Vishnu meragukan kesucian istrinya yang setia dengan membiarkan dirinya menceburkan diri ke dalam kobaran api. Hati Bhibisana yang haus kekuasaan pun merasa menderita karena sikap Rama yang keji, dingin dan tidak  ramah kepada perempuan terutama istrinya sendiri, yang setia dan menunggunya.
Budaya patriarki masih banyak di anut oleh masyarakat hingga sekarang, di mana menganggap perempuan sebagai manusia berperasa lemah lembut, berada satu tingkat di bawah laki-laki, tidak bisa menjadi pemimpin, dan dituntut untuk mengurus hal-hal domestik dalam rumah tangga.
Kita bisa mengambil ibrah dari kisah Rahuvana, bangsa Rakshasa penganut matriarki yang menjunjung tinggi martabat perempuan bahwa perempuan tidak lemah, bisa memimpin, bertarung, dan berilmu.
Ternyata kesetaraan gender telah dikisahkan dalam cerita legenda ini, namun perwujudan dari kesetaraan gender hingga kini masih harus terus disuarakan karena terdoktrin budaya patriarki yang mendiskreditkan perempuan.
Referensi: