BahagiaÂ
Karya: Indi Astriani
Gia, seorang gadis pintar yang suka membaca buku menginjakkan langkahnya menuju tempat favoritnya, perpustakaan. Meskipun ia berasal dari desa terpencil, namun semangatnya akan ilmu pengetahuan tidak pernah memudar. Ia pergi ke satu-satunya perpustakaan yang ada di sekolahnya. Dengan senangnya ia melihat buku-buku berjejeran di rak kayu yang sudah lusuh, dimakan rayap.
Gia senang membaca ensiklopedia, buku sains, politik, filsafat, dan semua buku yang ia temui pasti ia baca. Selain gemar membaca, Gia suka menulis puisi dan cerpen. Gia juga menjadi penggerak literasi di sekolahnya. Agar teman-temannya suka membaca, Gia selalu menceritakan apa yang ia baca dengan semenarik mungkin supaya teman-temannya tertarik untuk membaca.
Ruangan berukuran 4x6 m itu selalu ramai oleh peminjam buku. Namun, saat Gia melangkah masuk ke perpustakaan, ruangan itu hening seperti tidak ada seorang pun di dalamnya. Dan memang benar tidak ada siapa-siapa di dalamnya.
Saat Gia sedang mengambil buku di rak, tiba-tiba penglihatannya kabur dan gelap. Bukan, bukan penglihatan Gia yang kabur tapi ternyata ruangannya yang menjadi gelap. Buku-buku mulai berjatuhan seperti daun yang gugur, rak-rak kayu roboh, dan ada suara dentuman yang keras dari luar.
"A-ada apa ini?" ucap Gia.
Badannya bergetar ketakutan, ia menggigit bibir sambil menyandarkan diri di tembok yang masih utuh.
***
Ian, seorang kurir JNE yang baru bekerja selama beberapa bulan, merasa senang akan mengantarkan paket hari ini. Alamat yang ia tuju yaitu kampung kecil yang isinya orang-orang yang bermimpi untuk menjadi orang besar. Ian terus melihat GPS agar ia tidak tersesat. Jalan yang ditempuh sangatlah curam dan rawan gerakan tanah. Motor honda varionya terus melaju dengan kecepatan yang minimum. Ian harus cepat sampai alamat tujuan.
Hujan sangat deras hari ini. Jalanan menjadi licin dan Ian takut akan ada pohon yang roboh atau apalah yang bisa membahayakan dirinya.
"Hei,mau kemana kau?" tanya seseorang sambil berteriak.
Ian lansung berhenti dan menghampiri bapak-bapak tua yang sedang berteduh di pangkalan ojek.
"Mau nganter paket, pak" jawab Ian.
"Gak bisa lewat jalan itu, tadi ada longsor, jalannya udah ketutup. Takutnya nanti longsor lagi, di daerah sini rawan soalnya, tunggu reda aja hujannya!"
Ian mengeluh sedikit karena masih banyak juga paket yang harus ia kirim. Di pangkalan ojek itu hanya ada 3 orang dan 3 motor, Ian, bapak-bapak umur 40-an, dan tukang ojek. Mereka mengeluhkan hujan kali ini, Ian dan bapak-bapak umur 40 tahunan akan melanjutkan perjalanan namun dicegah oleh tukang ojek.
"Jangan kemana-mana dulu pak, bahaya. Mending puter balik aja, kayaknya longsornya juga besar kalau hujannya deras kayak gini," sahut tukang ojek.
Mereka bertiga hanya menunggu, sesekali mengobrol. Ian mengecek hp-nya, sungguh tidak ada sinyal yang muncul sedikit pun. Memang di daerah ini selalu tidak ada sinyal meskipun tidak sedang hujan juga, harus berada di tempat-tempat tertentu agar bisa mendapatkan sinyal yang lancar. Jika sudah terjadi longsor begini, angkot-angkot tidak bisa beroperasi, anak sekolah juga tidak bisa berangkat karena tidak ada akses menuju sekolah. Butuh 2-3 hari agar jalannya normal kembali.
Setelah dua jam menunggu, Ian tidak melanjutkan perjalanan ke alamat yang dituju, ia pulang dan melapor kepada Kepala kantornya bahwa terjadi longsor di daerah Barat dan akan mengirim paket itu dua hari kemudian.
***
Gia terus berteriak meminta pertolongan, tapi nihil tak ada seorang pun yang ada di sana. Ia hanya berdoa. Waktu terasa begitu cepat, baru saja Gia akan mengambil buku di rak perpustakaan sekolahnya, tiba-tiba semuanya hancur, 180 derajat keadaan telah berubah. Gia bingung ia harus melakukan apa, ia hanya seorang diri.
Perpustakaannya masih utuh, namun rak dan buku-bukunya nyaris hancur. Seperti ada alat pendeteksi kapan buku-buku itu harus lebur, atau ada alat penghancur transparan yang melenyapkan buku-buku, atau ada seseorang yang memutasi rayap untuk menghancurkan barang-barang dengan cepat, sangat cepat. Entahlah, pikiran Gia terus berputar namun tubuhnya kaku.
10 menit berlalu, satu jam, dua jam.
Gia ingat beberapa hari yang lalu ia memesan sebuah buku. Apakah buku itu juga hancur? Tidak, tidak mungkin semua buku yang ada di dunia lenyap begitu saja. Tapi, kalau iya bagaimana? Â Gia takut akan hal itu. Buku-buku tidak boleh hancur lebur secara sia-sia, bagaimana jadinya jika dunia berjalan tanpa adanya ilmu pengetahuan? Bagaimana jadinya jika peradaban hancur dengan kebodohan?
Gia terus berusaha agar ia bisa bergerak, lambat laun akhirnya ia bisa. Tangannya mulai bisa dikendalikan, badannya, juga kakinya. Langit-langit juga mulai terang tidak gelap lagi seperti sebelumnya. Ia seolah-olah hidup kembali.
***
Sesuai tugasnya, Ian kembali mengantarkan paket yang dua hari kemarin tidak bisa ia antarkan. Hari ini ia bersemangat sekali, langit pun cerah secerah semangat Ian.
"Tumben semangat banget, Bang Ian," ujar salah satu karyawan.
"Iya nih, mukanya cerah banget kayak langit," sahut karyawan lain.
Ian hanya tersenyum, tak menanggapi.
Motornya terus melaju. Melawan curam dan licinnya jalan. Perjuangan seorang kurir yang harus mengirimkan paket-paket dengan aman ke alamat penerima. Sampai di alamat tujuan, ia langsung menelepon penerima. Mungkin penerima sudah dari kemarin-kemarin menunggu paketnya datang, tapi apalah daya hujan lebat dan longsor menghadang.
Tut..tut..tut..
Teleponnya belum diangkat juga, tapi Ian terus mencoba menghubungi. Beberapa detik kemudian diangkat.
"Halo, siapa ya?"
"Ini ada paket mbak, eh, Gia." Jawab Ian. Tapi kayak bukan suara Gia. Batin Ian.
"oh iya, sebentar ya, masnya sudah di depan rumah?"
"Sudah."
Ibu Gia langsung membangunkan Gia yang sedang tidur siang. Sebelumnya Gia jarang tidur siang, namun hari ini Gia sedang tidak sehat jadi harus banyak istirahat. Saat bangun, Gia kebingungan dan kaget ternyata barusan hanya mimpi, tapi rasanya nyata sekali. Tak harus lama menunggu, Gia langsung keluar kamar.
"Ia, itu ada paket," kata ibu Gia.
"Iya bu, aku keluar ya."
Gia langsung keluar rumah dan menghampiri kurir yang mengantarkan paketnya.
"Hai." Sapa Ian.
"Eh, Ian?"
Gia kaget dan senang ternyata yang mengantar paketnya yaitu teman SMA-nya.
"Iya Gia, apa kabar?"
"Baik, kamu sendiri gimana?"
"Baik juga. Oh iya ini paketmu, maaf telat dua hari kemarin hujan dan jalanya longsor. Â Â Di sini ternyata masih rawan longsor juga, ya?"
 "Oh iya pantesan, aku nunggu paket ini lho, makasih ya."
Ian dan Gia sudah saling mengenal satu sama lain karena dulu mereka satu SMA. Itu yang membuat Ian semangat untuk mengantarkan paket kali ini. Mereka mengobrol sejenak mengingat masa SMA dan bertanya mengenai kegiatan masing-masing.
Gia membuka paketnya, isinya buku-buku yang dipesan olehnya satu minggu yang lalu. Ian kagum ternyata Gia masih suka membaca sampai saat ini.
"Masih suka membaca ternyata,"
"Membaca itu penting Ian, Â biar tambah wawasan, bair gak bisa dibohongin orang juga," jawab Gia, mereka tertawa.
"Aku bahagia banget kalo udah terima paket buku pesananku, bisa baca buku baru, nyium wangi buku, dapet ilmu baru juga tentunya" lanjutnya.
"Iya Gia, bahagia itu sederhana ternyata,"
"Bisa ketemu temen lama juga seneng rasanya," lanjutnya sambil melirik Gia yang sibuk melihat-lihat buku barunya hingga ia lupa dengan mimpinya yang aneh itu.
"Ini kenang-kenangan buatmu," kata Gia sambil memberikan sebuah buku.
"wah, beneran Gia?"
"Iya, biar kamu suka baca juga."
Setelah itu, Ian pulang dengan membawa buku pemberian dari Gia. Ian akan mencoba untuk mulai suka membaca, bukan hanya karena Gia, tapi Ian sadar membaca bisa membawa dirinya kemanapun, berimajinasi, dan bermimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H