Mohon tunggu...
Rathy Oktriana .H
Rathy Oktriana .H Mohon Tunggu... -

Manusia biasa, yang datang dan pergi kapan saja. Waktu adalah sahabat yang paling dekat dan setia untuk bercerita tentang apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Jalan

1 Maret 2010   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:41 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini malam adalah yang kesekian lelaki itu bercengkrama dengan alam. Ditemani asap yang bukan asap sigaret, dan minum air yang bukan air.
Ia hisap, ia teguk.
Sepuasnya.
Sesukanya.
Hingga lelaki itu terlempar dalam kesadaran tak bermakna. Bercanda ia dengan angin malam, bintang-bintang, dan rembulan yang sepotong ditutup awan.
Mengoceh ia kepada angin malam.
Di pojok pasar, sendirian.
Inilah saya; mahluk yang dilahirkan dari rahim kesedihan, dan dibesarkan dalam pangkuan kemalangan. Dan dalam kesadaran tak bermakna ini, saya benar-benar menemukan kebahagiaan yang tiada duanya.
Ia teguk.
Ia hisap.
Lelaki itu terlena dalam keadaan demikian.
Seakan meninggalkan bumi.
Terbang munuju khayangan.
Bercumbu dengan bidadari bermata jeli.
Lelaki itu terlena.
Seekor binatang berkaki empat dengan lidah menjulur menggonggong. Lelaki itu menoleh. Ia memandang binatang itu yang berada beberapa meter di samping kirinya.
Mata binatang itu menyala terkena sinar lampu pasar.
Binatang itu kembali menggonggong.
Lelaki itu menjadi kesal dibuatnya. Nafasnya jadi memburu. Binatang yang ia pandangi itu samar-samar jadi mirip dengan seorang lelaki yang sering memberi pukulan kalau ia minta jajan waktu kecil dulu, memberi makian kalau menolak perintahnya, atau tak segan-segan menendang seperti bola kalau ia tidak membantunya mencopet di pasar.
Bapak ….
Anjing Kurap!
Brak! Klontang! Binatang itu dilemparnya dengan botol. Botol mengenai bak sampah, lalu mental ke kaleng minyak yang sudah kosong.
Binatang itu lari terbirit-birit. Mengkaing-kaing di sepanjang pelarian.
Lelaki itu memakinya, menyumpahnya; sebagaimana bapaknya memaki dan menyumpahnya sehabis ia dipukul dan lari dari hadapan bapaknya.
Tapi seminggu yang lalu bapaknya telah meninggal; dikeroyok massa begitu tertangkap tengah mencopet di pasar.
Lelaki itu benar-benar menyesal. Merasa tak berguna menjadi manusia. Karena selama ini, ia tak pernah menuruti perintah bapaknya untuk membantu si bapak mencopet.
Ia tak punya keberanian.
Padahal usianya sudah kepala dua.
“Kamu sudah dewasa, sudah bisa main perempuan, tapi tidak pernah mau membantu Bapak dalam usaha. Siapa lagi yang akan mewarisi pekerjaan Bapak kalau bukan kamu.”
Lelaki itu terdiam.
“Hai, bangsat! Kalau orang lagi bicara didengar!” itu, makian terakhir bapaknya, sebelum siang itu ia mendapati tubuh tegap berisi itu sudah terkulai di jalan, dengan darah di mana-mana, dan nyawa yang telah pergi entah ke mana.
Bapaknya telah pergi.
Lelaki itu baru merasakan penyesalan yang teramat dalam begitu ditinggal oleh orang yang sebenarnya begitu dekat dengannya.
Meski pun bapaknya galak.
Bapak ….
Yang ia tahu, ia memang telah lama memanggil lelaki yang sudah pergi itu dengan sebutan Bapak.
Samar dalam ingatannya, hujan deras malam itu bukan hanya mengguyur bumi, tapi juga tubuh kecil lelaki itu yang menangis tanpa suara, menggigil kedinginan di pinggir jalan.
Perutnya juga lapar.
Tak tahu apa-apa, dan memang tak pernah tahu apa-apa kenapa dan bagaimana ia bisa sampai di pinggir jalan itu.
Hujan memukul-mukulnya.
Tubuh kecilnya sudah tak berdaya ketika seorang lelaki datang – entah dari mana dan entah siapa – menggendong tubuh kecilnya.
Sejak itu, ia disuruh memanggil Bapak kepada lelaki itu. Dan ia pun diberi tempat, bukan hidup. Karena untuk hidup, ia harus mencari barang bekas yang bisa dikilo, atau menadahkan tangan di perempatan jalan minta belas kasih orang. Dari sanalah ia bisa bertahan hidup sampai ia mengerti bagaimana mencari uang tanpa harus menuruti kemauan bapaknya; menjadi pencopet.
Giris, ia mengenang itu semua.
Tetapi lelaki itu – Bapak – sudah menolongnya. Sedangkan ia tidak dapat menolong bapaknya ketika puluhan orang mengeroyok dan memukuli si Bapak hingga tewas ketika ketahuan mencopet.
Lelaki itu telah menyesal kenapa tidak sekali pun ia membantu usaha Bapak.
Padahal ia sudah ditolongnya.
Kini bapaknya sudah pergi.
Apa yang bisa ditolong untuk orang yang sudah bersemayam di perut bumi?
Doa-doa tak dihafalnya.
Hanya menyesal, yang bisa dilakukan. Sambil menikmati penyesalan itu sendiri, dari hidup yang menyengsarakan.
Di atas, bulan masih sepotong.
Pagi dini hari pasar akan segera ramai.
Lelaki itu menyeret langkahnya ke perempatan jalan.
Terdengan suara shalawat dari surau di perkampungan samping pasar.
Lelaki itu terpukau.
Seperti ada yang menyeret langkahnya, suara shalawat menjelang subuh itu.
Ia terus melangkah menuju suara shalawat berasal; di surau, atau juga mungkin di dalam hatinya (?).
Lelaki itu memang tak pernah mengenal Tuhannya.
Padahal Tuhan ada di mana-mana.
Seperti cahaya bulan malam itu, yang juga ada di mana-mana. Tetapi bulan bukan Tuhan, dan Tuhan bukan bulan.
….
Lelaki itu memang belum mengenal Tuhannya.
Padahal banyak orang hidup dengan mengatasnamakan Tuhannya.
Tuhan … lelaki itu bergumam di dalam hatinya yang paling dalam.
Jasadnya pun terguncang.
Angin merangkulnya.
Lelaki itu merasa kotor dalam hidupnya. (Padahal ia suci sebelum lahirnya).
Kematian bapaknya telah mengkoyak kesadarannya. Lelaki itu pun merasa tak ada artinya kalau jasadnya telah tergeletak seperti bapaknya. Tetapi ruh, ada artinya. Namun mau pergi ke mana?
Ia merasa kotor malam ini (Apakah sebelumnya ia suci?).
Di pelataran depan surau, lelaki itu menghentikan langkahnya. Jasadnya goyang; kakinya tak kuat menyanggah berat tubuhnya; ruhnya, kesadarannya.
Kematian Bapak telah mengingatkannya.
Lelaki itu menangis, menangis mendengar suara adzan subuh yang seperti memanggil dirinya.
Memang memanggilnya.
Memanggil manusia untuk terjaga.
Terjaga dari lelap malam agar mengingat Tuhannya.
Lelaki itu merasa suara adzan memang telah memanggilnya; memanggil untuk berpaling dari hidup yang telah dilaluinya.
Padahal suara adzan berkumandang sudah berabad-abad lamanya.
Kematianlah yang membuka hatinya. Tuhan telah membukakan pintunya; sebuah jalan yang dapat ia lalui menuju hidup yang lebih berarti.
Lelaki itu tertunduk malu.
Ia merasa nista. Kenapa tidak dari dulu, ia mengingat Tuhannya. Bukankah bila kita dekat, Tuhan juga akan dekat? Dan cahaya itu datang melalui kematian bapaknya. Seperti janji Tuhan; Hanya dengan menyebut Namanyalah jiwa jadi tenang.
Kini ia ingin hidup dengan tenang.
Ia rebah di tanah, dan tangisnya pun tumpah namun tanpa suara. Hanya satu nama yang ia ucapkan; Tuhan ….*

- Kedai Sastra Gara ; 03/01-2003

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun