Mohon tunggu...
irwanto irwanto
irwanto irwanto Mohon Tunggu... profesional -

Dosen. Tinggal di Bintaro, Tangerang. Penulis bebas.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Senja Keruh Pilkada DKI

30 Oktober 2016   23:23 Diperbarui: 30 Oktober 2016   23:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja yang indah di Pulau Dewata Bali, adalah kenyataan yang kontras dengan suasana sosial politik di DKI Jakarta. Suasana sosial politik di Ibukota menjadi senja yang keruh karena banyaknya cerdik pandai yang menghalkan cara-cara paling busuk dan pengecut untuk merebut kekuasaan. Mereka ini mempunyai reputasi akademik atau mewakili lembaga yang seharusnya menjadi sumber kesejukan dan nurani yang jernih.

Cerdik pandai yang terlibat dalam carut marut politik Pilkada di DKI, bukan orang-orang sembarangan. Tetapi mereka merelakan reputasi mereka dikotori dengan ketamakan sehingga otak dan nurani mereka yang biasanya inspiratif dan bijaksana, tiba-tiba menjadi liar, tidak bertanggung jawab (tidak mempertimbangkan resiko yang lebih besar dari akibat tindakan mereka), licik dan picik, dan tanpa malu-malu.

Semua orang waras tahu bahwa pemilihan pimpinan daerah adalah proses politik yang mengandalkan persaingan berbasis kapasitas yang terdiri dari pengalaman, keterampilan memimpin, kejujuran, dan integritas. Mereka juga tahu bahwa ilmu pengetahuan yang diperlukan adalah manajemen dan administrasi publik (termasuk ekonomi pembangunan), kepempimpinan, dan keadilan sosial. Jika Ilmu dan Pengetahuan tentang Agama dibutuhkan, adalah untuk memastikan bahwa para calon dan program kerja mereka mencerminkan bahwa mereka adalah orang yang jujur dan berahklaq dan menghargai kesetaraan setiap manusia.

Apa yang dipertontonkan dalam Pilkada DKI adalah pemutar balikan fakta - seperti "relokasi" menjadi "penggusuran", "memberi nasehat" menjadi "penistaan", ketegasan dan keberanian mengambil putusan dan tindakan menjadi "tabiat buruk yang tidak sopan". Bukan itu saja, berbagai wacana secara gamblang memberikan gambaran rencana makar politik dengan agenda menjatuhkan pemerintahan yang sah. Lagi-lagi, persoalan yang begitu serius dianggap enteng oleh para cerdik pandai - anggota-anggota civitas akademik universitas besar di negeri ini -- dan secara memalukan (walau yang bersangkutan tidak merasa malu) menumpang media dan wacana yang bertentangan dengan yang mereka ajarkan di kelas untuk mahasiswa mereka. Mereka seolah tidak sadar sedang menghancurkan bangsanya sendiri.

Jika para cerdik pandai dalam dunia pragmatisme telah menjadi bagian pembusukan karakter bangsa ini, masih adakah yang tersisa? Ada bebersapa kelompok cerdik pandai yang mencoba mempsosikan diri sebagai elemen kritis dalam derap pembangunan daerah dan nasional. Mereka ini cerdik pandai idealis - sering melihat dan meneropong masalah secara teoretik idealis dan tidak menghitung variabel-variabel (cost-benefits) dalam realitas yang sesungguhnya. Sayangnya, kelompok idealis ini juga sering terpeleset dalam wacan yang lebih a-teoretik (nir-teori) bahkan cenderung terperangkap dalam wacana primordial yang sama dengan cerdik pandai pragmatik haus kekuasaan.

Sebagai bagian dari upaya pendidikan nasional, saya merekasa ikut gagal dalam memberikan sumbangan yang bermakna di negeri ini. Semoga anak-anak muda yang menjadi modal dan harapan Indonesia di masa depan tidak hanya belajar dari kami, tetapi dari pengalaman bangsa-bangsa lain yang berhasil menjadi besar karena berhasil mengedepankan dan mempertahankan kejujuran, integritas berpolitik, kerjasama, salng menghargai, dan kompetisi politik yang sehat.

Bintaro, 30 Oktoner 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun