Irwanto
Penerjemahan dan penerbitan buku Why Puberty menuang reaksi keras dari berbagai kalangan. Buku yang dimaksudkan sebagai informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas dianggap sebagai sumber malapetaka bagi anak-anak dan remaja karena salah satu informasinya adalah mengenai konstruksi jender ketiga dan hubungan mendalam antar sesama jenis. Ini dapat dimaklumi, karena komentator dan medianya lebih tertarik pada unsur sensasi dan keuntungan yang melekat pada segala sesuatu yang sensasional. Reaksi yang reflektif dan rasional yang dilandaskan pada bukti-bukti empirik yang ada mungkin bukan berita.
Komentar yang menabukan isi buku tersebut juga berasal dari kalangan profesional. Sayang mereka juga tidak menggunakan ilmunya tetapi menggunakan pandangan umum dan dalil ketabuan untuk melindungi dirinya karena ditanya. Mereka tidak sempat berpikir apakah jawabannya merugikan anak dan remaja (yang menjadi obyek dari buku tersebut) atau memang menguntungkan/melindungi mereka.
Kasus seperti ini mengingatkan kita untuk kesekian kalinya betapa sulitnya anak-anak kita mengenali realitas hidup sehari-hari. Ada semacam tirai moralitas semu yang menggelumuti sistem pengasuhan yang berlaku. Banyak orangtua lupa bahwa kita tidak dapat menjaga anak kita 24 jam sehari dan anak kita akan hidup di masa depan dan harus mengambil keputusan sendiri tanpa bantuan orangtua.
Melindungi tanpa memberitahu?
Secara teknis, mohon pertanyaan ini dijawab dengan rasional. Mampukan kita melindungi anak kita dari berbagai mudarat di dunia ini tanpa memberitahu apa yang kita anggap sebagai buruk untuk mereka?
Penelitian di ranah kesehatan reproduksi (kespro) telah memperoleh banyak bukti bahwa informasi yang faktual, disajikan dan didiskusikan sesuai dengan usia anak mampu membantu anak mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan di masa remaja, aborsi, dan PMS. Tetapi pengetahuan tentang kespro saja tidak cukup. Anak-anak kita juga membutuhkan dialog yang terbuka, faktual, dan suportif tentang seksualitas – termasuk orientasi seksual. Tetapi di sinilah kita mampet. Walau BKKBN dan sektor kesehatan mendukung program kespro bagi remaja Aku Bangga Aku Tahu – tetapi tokoh masyarakat dan oportunis sensasi masih gerah dan oversensitif dengan informasi seputar seksualitas.
Tabu dan diskriminasi
Tabu meliputi berbagai persoalan yang tidak layak dibahas secara terbuka di masyarakat. Karena tidak dibahas secara terbuka, maka hal-hal yang ditabukan diselimuti misteri. Hal-hal yang misterius mengundang rasa takut dan reaksi punitif (penghukuman) jika dilanggar. Jika yang misterius itu melekat pada manusia, seperti orientasi seksual dan perbuatan lain yang diharamkan (narkoba), maka manusianya distigma dan didiskriminasi. Hak-hak mereka dipasung dan ciptaan YME ini dianggap setengah manusia. Akibatnya, jika persoalan mereka merambah ke populasi umum, merekalah yang disalahkan dan solusi yang rasional tidak pernah ditemukan.
Informasi terbuka – menciptakan dialog
Moralitas semu berkedok tabu telah lama membuat anak-anak kita bingung dengan dirinya sendiri karena yang dianggap tabu dikaburkan dalam pengasuhan. Penis disebut “burung”, demikian juga organ lain diberi nama-nama yang tidak selaras dengan ilmu pengetahuan. Ketika ia mempelajari biologi, maka dia harus melakukan proses re-learning yang buang-buang waktu dan energi.
Keterbukaan informasi akan menciptakan dialog yang konstruktif – cara yang jauh lebih sehat untuk memperoleh informasi dan keterampilan yang relevan dengan informasi tersebut. Bagaimana membantu anak memutuskan tindakannya untuk menghindari kehamilan, PMS, HIV/AIDS, tanpa membicarakan seks, orientasi seksual dan konsewensinya? Bagaimana mencegah anak-anak kita menggunakan narkoba tanpa membicarakan zat-zat yang berbahaya dan konsekuensinya bagi tubuh kita?
Keterbukaan informasi juga membantu anak-anak kita untuk tidak menstigma dan mendiskriminasi teman-teman mereka yang berbeda. Mereka juga tidak takut dan tahu bagaimana menjadi dirinya sendiri.
Informasi memang pedang bermata dua. Meskipun demikian, berbagai kajian empirik tetap menyatakan bahwa keterbukaan informasi yang dikemas faktual (bukan sensasional) sesuai usia anak sebagai cara yang lebih efektif untuk mencegah kemudaratan bagi kesejahteraan anak dibanding mendiamkan dan membiarkan anak mencari informasi sendiri-sendiri. Beberapa di antara mereka sudah terjebak dalam situasi berisiko dan harus mengambil keputusan terbaik.
Moralitas mana yang kita anut?
Jika anda sebagai orangtua, guru, atau tokoh masyarakat, mana yang lebih bermoral? Apakah tindakan mendiamkan anak-anak bingung dalam seksualitasnya, memberikan nasehat moral yang abstrak, membiarkan anak mencari informasinya sendiri (dari sumber yang belum tentu berkualitas), dan bereksperimen dengan seksualitasnya sambil menanggung segala resiko yang mungkin terjadi.
Atau..
Memaparkan anak pada informasi yang baik, mengajak berdiskusi mana yang sesuai dengan adat budaya atau agama yang dianut, mengajarkan situasi-situasi di mana resiko terjadi, dan mengajar anak cara untuk menghindari resiko tersebut.
Busur dan anak panah
Sastrawan besar Khalil Gibran (1883-1931) dalam sebuah karyanya menyatakan bahwa peranan orangtua dalam mengasuh anak diandaikan sebagai busur yang membentang dan mengantarkan anak ke masa depannya. Anak adalah si anak panah yag melesat ke masa depannya sendirian. Menggunakan karya sastranya sebagai contoh, lebih baik busur dibentangkan dan anak panah di luncurkan di tempat yang terang – karena di tempat yang gelap kita tidak mengetahui sasaran anak panahnya.
Informsi memang pedang bermata dua. Meskpun demikian, lebih baik anak tahu sedang bermain pedang yang tajam dibanding tidak tahu sedang bermain dengan benda apa. Saya berharap masyarakat, terutama tokoh-tokohnya tidak selalu bersikap reaktif dalam menghadapi informasi tentang seksualitas. Jangan-jangan informasi seperti inilah yang akan menyelamatkan masa depan anak kita. Sebagai orangtua, saya memilih anak saya tahu apa yang dia pilih dan putuskan dalam hidup walau berisiko, dibanding ia harus menanggung resiko atas tindakannya dan saya menyesali diri karena tidak pernah membicarakan dan mengajar anak-anak saya tentang resiko tersbut.
Jakarta, 9 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H