13 February 2019, terlihat ada yang berbeda dengan FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) Unesa. Spanduk tulisan tangan membentang di tempat parkir FBS bertuliskan "Kebebasan Berkarya Seni Taklagi Indah jika Dikeruhkan Soal Tawa Menawar".Â
Melangkah lebih ke dalam lagi di joglo juga terpampang tulisan "Kami Butuh Kepastian, Tolak Komersialisai fasilitas Kampus, Masa Dikit-Dikit Bayar?". Selain Sapnduk juga ada yang unik yaitu triplek bertuliskan tiga poin keluhan mahasiswa. Pertama, Tidak ada sosialisasi secara merata; kedua, kebijakan diambil tanpa pertimbangan mahasiswa; ketiga, mahasiswa butuh kepastian.
Bagi yang tidak tahu isu atau kebijakan kampus mereka akan tetap tanpa suara, terlebih lagi mahasiswa yang tidak berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Jangankan suara, mereka tahu saja untung. Bagaimana tidak kebijakan ini memang tidak ada sosialisasi lanjut seperti apa yang diungkapkan mahasiswa dalam tulisan di triplek di tengah-tengah bangunan joglo.
Apa kebijakan Birokrasi?
Saat ini kampus sedang menerapkan kebijakan uang sewa untuk fasilitas kampus, baik yang beratap seperti aula, ruangan kelas kecil, ruangan kelas besar, gedung pertunjukkan, ataupun tidak beratap, seperti kawasan hutan jati.
Mahasiswa mengeluhkan biaya yang harus dibayarkan, pasalnya mereka juga sudah dibebani biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang tidak sedikit. Dimana anggaran perawatan sarana prasarana dan fasilitas kampus harusnya sudah termasuk dalam pembayaran UKT yang dibayarkan tiap semester.
Jika untuk mengadakan agenda yang notabenenya juga kembali ke mahasiswa biayanya mahal maka bagaimana mahasiswa bisa mengasah kemampuannya? Dan jika mahasiswa tidak bisa merasakan fasilitas dengan gratis, maka untuk siapa fasilitasnya? Larinya Kemana UKT? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di benak mahasiswa.
Mengapa Terjadi Komersialisasi di Perguruan Tinggi?
Kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus tidak lepas dari kebijakan sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Maka sangat mudah untuk membaca pergerakan kampus ketika paham apa yang terjadi dengan negeri ini.
Latar belakang singkat terjadinya reformasi besar-besaran di sektor perguruan tinggi di negeri ini diwali pasca disetujuinya perjanjian GATS. Indonesia memulai dengan pemberian otonomi khusus ke PT (Perguruan Tinggi) sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada tujuh PT, yaitu UI, UGM, IPB, ITB, UPI, USU, dan Unair. Konsep BHMN didasari oleh PP no 61 th 1999 tentang Penetaan Perguruan Tinggi Neger sebagai BHMN.
Kemudian lahir serangkaian aturan yang menjadi landasan kebijakan tersebut yang dikenal dengan UU BHP. Akan tetapi perjalanan UU ini tidak mulus karena mendapat protes keras dari masyarakat sipil dan mahasiswa. Tahun 2010, UU tersebut berhasil dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai melanggar dasar konstitusi yaitu UUD 1945 tidak menghendaki adanya otonomi pengelolaan pendidikan.
Masih di tahun yang sama, pemerintah kembali mengajukan satu UU baru untuk menggantikan UU BHP, yaitu UUPT. UUPT disahkan DPR tanggal 13 Juli 2012. Walaupun baru tapi intinya masih sama yaitu otonomi PT. mayarakat dan mahasiswa masih angkat suara sampai ke MK, namun sayangnya cinta bertepuk sebelah tangan. Gugatan tidak diterima oleh MK. Ketua MK saat itu, Hamdan Zoelva menolak gugatan tersebut dan menyatakan UU 12/2102 tidak bertentangan dengan UUD 1945.
UUPT adalah wajah baru UU BHP dengan substansi yang sama yaitu meliberalisasi pendidikan dan melepaskan tanggung jawab negara dalam mengelola pendidikan secara penuh.pemerintah mengatakan tanggung jawab negara hanya di tingkat birokrasi dan membantu biaya pendidikan melalui subsidi. UUPT memeberikan otonomi kampus dalam mengatur dan mengelola pendanaan pendidikan tinggi. Walhasil birokrasi bebas menentukan tariff pendidikan dengan satuan UKT (Uang Kuliah Tunggal).
Dampak Penerapan Otonomi Kampus
Secara umum dalam memahami perubahan dari tahun ke tahun terkait perubahan sistem pendidikan nasional, secara tidak langsung menggambarkan bahwa era neoliberalisme dan kapitalisme tercermin dalam UUPT 2012.  Hubungan PT dengan dunia usaha juga semakin kuat. Tujuan PT diarahkan untuk melayani kebutuhan inovasi pengusaha dan  disesuaikan kebutuhan pasar. Â
Diantara dampak buruk penerapan otonomi kampus adalah pertama, biaya kuliah mahal. Otonomi kampus adalah usaha lepas tangan pemerintah dari tanggung jawabnya menyelenggarakan pendidikan gratis, berkualitas dan merata. Dengan alasan sebagian besar mahasiswa berasal dari keluarga kaya maka pemerintah menggunakan lagu lama yaitu tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk memberikan subsidi kepada orang-orang kaya.Â
Kedua, kampus menjadi bisnis ristek. Dengan dilegalkannya intervensi swasta atau pemodal dalam kampus maka akan semakin mudah riset dan inovasi produk yang seharusnya dikembangkan dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat justru dijadikan ladang bisnis. Hal ini mengakibatkan inovasi teknologi dan dihasilkan tidak bisa dijangkau tanpa merogoh kocek.Â
Ketiga, pemadatan kurikulum. Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan mahasiswa dituntut untuk lulus secepatnya dengan tugas yang menumpuk dan persyaratan kegiatan penunjang seperti mengikuti organisasi intrakampus. Sehingga dari sini mahasiswa harus memusatkan perhatian, tenaga dan waktu hanya sekedar bagaimana caranya lulus tepat waktu tanpa memikirkan keadaan tempat dimana dia hidup dan masalah apa yang tengah terjadi di lingkungannya.Â
Mahasiswa semakin apatis. Keempat, kebijakan drop out. Bagi mahasiswa yang tidak bisa lulus tepat waktu dan tidak bisa membayar biaya pendidikan maka kebijakan drop out (DO) diberikan pada mereka.
Walhasil, beginilah cerminan kebijakan sistem pendidikan di era demokrasi liberal. Sudah barang tentu PT akan menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah yaitu neoliberalisasi pendidikan tinggi yang hanya dimanfaatkan oleh para pemilik modal/Kapital. Sungguh ironis
(bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H