Konflik internal. Antara Qiyadah mereka yang sudah gelap mata tidak terima dikritik dengan teman-teman seperjuangan sekalipun yang juga merupakan bagian dari pendiri partai ini.
Para pengkritik dari dalam tidak dikasih kesempatan untuk hak minta klarifikasi dari apa yang sudah dilakukan qiyadah nya, justru berakhir dengan ada yang dipecat, ada yang mundur. Ada yang tak terima dipecat sehingga menuntut dan berujung ke pengadilan. Dua kubu berseteru, baik secara langsung maupun lewat SMS dan bahkan via media sosial.
Namun sayangnya searogansi apapun Qiyadah mereka ini dalam menyikapi para pengeritik nya dari dalam, tidak ada kader atau petinggi partai lain yang berani memprotes atau mengingatkan, karena akan mengalami nasib yag sama seperti rekan mereka sebelumnya.
Lalu, para pemimpin PKS tidak lagi menjadi orang-orang yang meniru dan meneladani para salafush shalilh, yang hidup zuhud dan wara’, tetapi menjadi barisan para pengikut “Qorun” dan “Bal’am”. Yang lebih mementingkan kekayaan. Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka sang pangeran Anis Matta dalam Bukunya “Dari Qiyadah untuk para Kader”
Mereka menjadi para penikmat demokrasi untuk mengambil keuntungan dan kekuasaan. Menjadikan duniawi sebagai sesembahan mereka yang baru. Bukan lagi Allah Rabbul ‘Alamin.
Para elit PKS tidak lagi berwala’ (memberikan loyalitas) kepada Allah dan Rasul, tetapi sebaliknya memberikan wala’nya kepada urusan dunia seputar jabatan, dan bagi-bagi kekuasaan.
Karena itu, PKS yang hakekatnya Jamaah Ikhwan itu, melakukan pengkhianatan terhadap manhaj dan tujuan gerakan itu sendiri. Seperti yang telah mereka lakukan saat mereka mendeklarasikan dirinya menjadi partai terbuka, di Hotel Rizt Carlton, Juni 2010.
Selanjutnya, PKS sebagai gerakan dakwah tidak berani bersikap bara’ (menolak) segala bentuk pelanggaran, penyimpangan, dan kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah kehidupan. Tetapi justru malah bermanuver melakukan hal-hal yang sebenarnya bisa dianggap kontropersial.
Seharus nya klo memang mau bertindak lebih jauh bebas tanpa terikat dengan kaidah atau nilai2 keislaman, maka tidak usah lagi melabelkan diri nya sebagai partai dakwah atau partai Islam, nyatakan saja sebagai partai terbuka seperti partai-partai yang lain, dengan secara resmi merubah asas partainya, sehingga tidak jadi polemik tentang apa sesunguhnya yang menjadi asas landasan partai ini.
Dan mirisnya, meskipun penyimpangan itu sudah didepan mata para kader nya. Selalu saja nanti disikapi dan dihadapi dengan RETORIKA COUNTER seperti: Iri hati, dengki, Fitnah, Ghibah, memecah belah,hanya pandai mengeritik, tidak Tabayun dulu, dll. Selalu dan selalu muncul retorika counter seperti itu.
Demikian adanya…!Salaaam biasa saja ,( tidak pake 3 besar yaa..! )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H