Mohon tunggu...
inda suhendra
inda suhendra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

suka membaca, suka menulis juga, dan suka traveling.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Menunjukkan Agama

24 September 2012   11:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kawan mengirim pesan singkat (SMS),"Apa kabar?" Kemudian saya jawab, "Puji Tuhan". Kawan saya kembali mengirim SMS, "Kamu pindah agama?"

Saya yakin, jika saya jawab SMS-nya dengan kata alhamdulillah barangkali teman saya itu tak perlu meragukan agama saya. Padahal, puji Tuhan dan alhamdulillah (al-hamd li al-ilah) itu kurang lebih artinya sama dan sebangun. Hanya saja yang satu bahasa Indonesia dan yang lain bahasa Arab.

Contoh lain ketika seseorang berkata akan melakukan kebaktian, niscaya pendengar akan mengasosiasikannya sebagai Kristen atau Katolik. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebaktian itu sama artinya dengan ibadah yakni perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah.

Demikian pula ketika musim haji tiba, media massa juga ramai memberitakan jemaah haji. Kata jemaah seolah-olah milik Islam, sedangkan jemaat kepunyaan orang Kristen atau Katolik. Hal itu tak bisa disalahkan karena KBBI sendiri telah menaballkan jemaat sebagai lema yang berasosiasi dengan agama Kristen. Tengoklah lema jemaat dikukuhkan sebagai nomina yang dibubuhi keterangan Kris (Kristen). Sedangkan lema jemaah baik di KBBI maupun Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) keduanya mengaitkannya dengan haji (salah satu ibadah wajib dalam Islam).

Padahal baik jemaat maupun jemaah keduanya (diserap dari bahasa Arab) memiliki kesamaan arti. Hanya saja jemaat adalah kata benda bentuk jamak/plural (isim jama' muannats), sedangkan jemaah bentuk tunggal/singular (isim mufrad muannats). Kita memang sudah terbiasa mengabaikan tunggal-jamak ketika menyerap bahasa asing. Kita kerap tak peduli untuk membedakan antara datum dan data, ruh dan arwah, alumnus dan alumni, nur dan anwar, unsur dan anasir, situs dan siti, locus dan loci.

Demikian juga ketika kita mengenal orang dengan nama Jakob, Moses, David, Yohanes, Abraham, Salomo kemungkinan besar adalah seorang Kristen atau Katolik. Lain lagi jika seseorang bernama Yakub, Musa, Daud, Yahya, Ibrahim, atau Sulaiman. Hampir dapat dipastikan mereka beragama Islam. Padahal nama-nama tersebut hanya mengalami perbedaan pelafalan karena sumber yang berbeda budaya. Nama-nama tersebut hakikatnya merujuk kepada person yang sama.

Hal itu juga terjadi dalam kata Allah (berasal dari al-ilah) yang dalam KBBI diartikan sebagai nama Tuhan dalam bahasa Arab. Jika seseorang dalam ujaran (ragam bahasa lisan) menyebut "allah" (dengan vokal a), dapat dipastikan bahwa orang tersebut seorang Kristen atau Katolik. Sedangkan bunyi "alloh" (dengan vokal o) diujarkan orang Islam. Asosiasi istilah tersebut hanya berlaku dalam ragam bahasa lisan, karena dalam bahasa tulis kedua agama menulis hal yang sama seperti dalam KBBI yakni Allah.

Di negeri jiran Malaysia, kata "Allah" pernah jadi rebutan dua agama hingga menimbulkan kerusuhan. Kasusnya bahkan bergulir ke pengadilan. Padahal jika dikembalikan ke bahasa donornya, beberapa istilah di atas akan menemui makna yang serupa, tidak lagi menunjukkan khusus milik satu agama.

Dalam bidang birokrasi kita juga mengenal asosiasi istilah yang merujuk suatu agama. Anda tahu KUA? Ya, singkatan Kantor Urusan Agama, yakni kepanjangan tangan Kementerian Agama di tingkat kecamatan. Secara bahasa, KUA idealnya adalah tempat urusan semua agama yang ada pada level kecamatan. Nyatanya, KUA hanya mengakomodasi satu agama saja. Jadi, jangan berharap nonmuslim dapat menikah atau berurusan di KUA.

Masih banyak contoh lain asosiasi bahasa yang menunjukkan agama. Anda mau coba? Silakan datang ke toko buku, dan mintalah al kitab. Niscaya pelayan toko buku akan mengarahkan Anda ke rak kitab suci agama Kristen. Padahal jika merunut ke bahasa aslinya, al kitab itu artinya adalah buku (the book). Dalam hal ini beberapa kata mengalami penyempitan makna.

Tanpa disadari kita telah memilah-milah bahasa berdasarkan ideologi atau agama. Namun, istilah-istilah khusus tersebut semoga jadi penanda identitas dan bentuk keragaman yang harus dirawat bangsa Indonesia. Keragaman bahasa bukan untuk melebarkan jarak perbedaan dan menumbuhkan permusuhan. Kesimpulannya, bahasa –selain dapat menunjukkan bangsa– tampaknya bisa juga menunjukkan agama. Agama-agama yang tumbuh dan hidup dalam pelangi Bhinneka Tunggal Ika yang menghias langit Nusantara. Sekian dan terima kasih, assalaamu 'alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh (bagi pembaca Muslim) dan salam sejahtera untuk kita semua (bagi pembaca non-Muslim).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun