Mohon tunggu...
inda suhendra
inda suhendra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

suka membaca, suka menulis juga, dan suka traveling.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keterasingan Kaum Buruh

1 Mei 2012   12:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_174747" align="aligncenter" width="283" caption="Demo buruh menuntut kesejahteraan"][/caption] Menurut Karl Marx (1818-1883), dalam dunia kapitalis manusia tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan karena terpaksa hanya untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukannya tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan dirinya.

Analisis Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts of 1844 tersebut tampaknya masih relevan dengan iklim perburuhan saat ini. Kaum buruh makin teralienasi dari dirinya sendiri, pekerjaan, keluarga, dan lingkungannya. Bahkan kaum buruh juga makin terasing di negerinya sendiri.

Upah buruh

Ada banyak faktor penyebab keterasingan kaum buruh, salah satunya adalah upah. Dengan upah minimum yang benar-benar minim, buruh terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan mencari tambahan uang lembur atau side income lainnya. Delapan jam sehari dalam lima hari kerja tak menghasilkan rupiah yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

Setelah jam kerja usai, idealnya seorang buruh pulang ke rumah. Tak ada buruh yang ingin bekerja lembur hingga malam atau bekerja di hari libur. Tapi buruh tak punya pilihan lain, faktor kebutuhan terpaksa mengalahkan kebersamaan dengan keluarga. Dengan demikian buruh akan terasing dari keluarga dan lingkungannya karena minimnya interaksi.

Bekerja karena keterpaksaan membuat pekerjaan jadi kehilangan makna. Ia bekerja untuk tidak kelaparan semata (Franz Magnis-Suseno: Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme). Ketika bekerja, buruh tak memiliki dirinya lagi. Buruh jadi milik pemodal dan ia tak punya kendali atas dirinya sendiri. Keadaan tersebut mengakibatkan kaum buruh jadi terasing dari dirinya.

Untuk meningkatkan kemampuan pemenuhan kebutuhan buruh, parameter penentuan upah sudah seharusnya dievalusai. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) harus dikaji ulang. Menakertrans sudah berjanji akan merevisi komponen KHL ini pada Desember 2011 dan akan merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Februari tahun ini. Sayangnya hingga kini masih sebatas janji. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah meminta Menakertrans untuk benar-benar memfasilitasi dan memperhatikan kesejahteraan para buruh, termasuk di dalamnya upah buruh (Kompas, 18/4).

Outsourcing

Sistem kerja outsourcing (alih daya) juga jadi penyebab lain keterasingan kaum buruh. Secara empiris, sistem kerja outsourcing telah mereduksi hak-hak normatif dan status kaum buruh. Sistem kerja outsourcing bisa dibilang sebagai bentuk halus perbudakan modern.

Bayangkan sesorang bekerja pada perusahaan A tetapi ia bukan karyawan perusahaan A, melainkan karyawan perusahaan B yang jadi penyedia jasa tenaga kerja di perusahaan A.

Buruh outsourcing juga kerap dianggap sebagai pekerja kelas dua dengan benefit di bawah standar normatif. Status keberlanjutan kerjanya juga tak pasti, bahkan buruh outsourcing kerap tidak mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang sifatnya wajib. Dengan demikian, seorang buruh jadi terasing dari lingkungan tempat ia bekerja.

Terkait dengan outsourcing, Mahkamah Konstitusi telah melakukan judicial review (Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011). Tapi, putusan tersebut tidak menghapuskan praktik outsourcing. MK hanya mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja outsourcing dari penyedia jasa yang satu ke penyedia jasa lainnya. Putusan ini pun tampaknya perlu aturan lebih rinci yang hingga saat ini belum juga ada wujudnya.

Penegakan hukum

Keterasingan selanjutnya disebabkan faktor penegakan hukum (law enforcement) yang masih lemah. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, buruh dapat menempuh koridor hukum. Ketika berselisih masalah ketenagakerjaan ia dapat menempuh penyelesaian bipartit dan tripartit, bahkan sampai di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Namun dalam banyak kasus, buruh kerap dikalahkan oleh kekuatan kapital yang mengintervensi lembaga yudikatif. Sebagai contoh, tengoklah kasus suap yang melibatkan oknum hakim PHI Bandung. Kasus tersebut hanyalah gunung es dari realitas peradilan di tanah air. Lagi-lagi, buruh teralienasi dalam proses mencari keadilan di negeri sendiri.

Perbaikan regulasi ketenagakerjaan bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga beberapa kali diusulkan banyak pihak untuk direvisi. Bahkan MK sudah melakukan uji materi terhadap beberapa pasal undang-undang ini (di antaranya Putusan Nomor 012/PUU-I/2003, 115/PUU-VII/2009, 27/PUU-IX/2011, dan 37/PUU-IX/2011). Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam regulasi ketenagakerjaan, hal terpenting adalah kepastian pelaksanaan hukum itu sendiri. Karena sesempurna apa pun sebuah regulasi, tak akan punya arti jika pelaksanaannya kurang maksimal.

Pengawasan Ketenagakerjaan

Banyak kasus pelanggaran yang dilakukan pengusaha dengan jelas-jelas mengangkangi hukum ketenagakerjaan. Namun pemerintah, dalam hal ini Kemenakertrans kerap tak hadir memastikan pelaksanaan hukum tersebut.

Kini, bukan saatnya lagi pemerintah menarik investor dengan iming-iming fleksibilitas pasar tenaga kerja (labor market flexibility) dan upah buruh murah. Bukan zamannya pula ketidakseimbangan angkatan kerja dan lapangan kerja menjadi dalih untuk menindas kaum buruh. Pemerintah harus melakukan pengawasan yang masif agar hukum ketenagakerjaan yang ada dapat dijalankan dengan benar oleh semua pemangku kepentingan.

Karena jika itu tak dilakukan, korban utamanya lagi-lagi adalah buruh. Kaum buruh makin terkalahkan dan tersingkir hingga merasa tak punya peran vital dalam kehidupan berbangsa.

Kasus-kasus korupsi yang vulgar makin menegaskan ironi dan akan mempertebal kecemburuan sosial. Akibatnya, kepercayaan buruh terhadap pemerintah makin menipis bahkan hilang sama sekali. Keterasingan-keterasingan kaum buruh pada gilirannya akan terakumulasi menjadi energi negatif yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dan secara naluriah kaum buruh akan membuka paksa isolasi keterasingannya sendiri.

Sosialisme yang diusung Marx telah mati–setidaknya pasca keruntuhan Uni Soviet. Namun kapitalisme juga harus mengoreksi diri agar menjauh dari kapitalisme yang dibayangkan Marx. Buruh dan pemilik modal tak harus saling menegasikan, melainkan harus berdialektika demi sebuah sintesis baru dalam hubungan industrial. Pemilik modal harus mengubah paradigma konservatif bahwa buruh hanyalah alat produksi seperti mesin.

Kini saatnya buruh dan pengusaha bersinergi. Hubungan kerja yang asimetris dan tak berimbang harus segera diluruskan dengan cara kembali pada hukum dan aturan.

Kaum buruh perlu pendekatan humanistis. Karena buruh juga manusia yang–dalam terminologi Abraham Maslow–butuh ruang aktualisasi diri. Tentunya dengan jalan yang bermartabat, bukan jalan anarkistis. Selamat hari buruh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun