Bangsa kita adalah bangsa maritim, slogan yang telah lama didengungkan oleh para pendahulu kita yang berhasil membangun kejayaan Indonesia pada zaman kerajaan. Kita harusnya bersyukur dan bangga dengan potensi pulau-pulau keciil dan luas lautan dari sabang-marauke yang begitu indah dengan segala potensi yang ada. Namun dibalik potensi itu terselip makna yang sangat memilukan tentang semakin berurangya minat anak muda yang ingin menjadi nelayan, tak ada lagi anak muda yang bangga bahwa mereka ingin menjadi nelayan mereka malu dan berkata ‘ Malu Aku Menjadi Nelayan”
Matahari baru saja muncul dari timur menyinari alam dan laut yang begitu indah disebuah desa pesisir Zaenuddin bersiap siap berangkat kesekolah, didepan rumah dipingiir pantai dia menumui bapaknya yang sedang memperbaiki perahu dan jaringya untuk persiapan malam hari mencari ikan, zaenuddin pamitan kebapaknya dengan mencium tanganya sang bapak berkata dan berdoa “ semoga jadi anak yang sukses jangan seperti bapak yang hanya bisa jadi nelayan “
Saya sempat sedih mendengar pesan pesan dan doa orang tua zaenuddin yang berkata “ semoga jadi anak yang sukses jangan seperti bapak yang hanya bisa jadi nelayan “ perkataan ini seolah-olah menjadi nelayan sebagai pilihan paling terburuk diantara banyak pekerjaan dan profesi yang ada. Ada rasa malu dan minder ketika dirinya hanya seorang nelayan sehingga kemudian timbul pesan-pesan kepada anaknya semoga menjadi anak yang sukses dan mendaptkan pekerjaan yang lebih baik.
Persitiwa tentang Zaenuddin adalah persitiwa yang harus menjadi catatan bagi pemerintah, cerita ini saya saksikan disebuah desa nelayan di pulau kecil di Sulawesi selatan didalam perjalanan mengunjungi pulau pulau kecil di selat Makassar terdapat fakta-fakta yang sungguh sangat memprihatinkan disepanjang deretan pulau-pulau yang terpencil terdapat kemiskinan kemiskinan nelayan, ironis ketika kemudian ikan yang ditangkap oleh nelayan kemudian dijual kepasar dengan harga yang sangat murah.para rentenir dan mafia harga yang menyulitkan nelayan hingga menghisap yang mengakibatkan semakin tertinggalnya dan dimiskinkanya nelayan kita.
Selain itu fakta yang sangat memprihatinkan adalah Kepala BPS mengungkapkan, ada sejumlah catatan di sektor perikanan seperti penurunan drastis jumlah nelayan tradisional. Menurut survei BPS hasil sensus 2003-2013, jumlah nelayan tradisional turun dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Darai data tersebut jumlah nelayan usia tua lebih banyak disbanding usia muda sehingga data ini memberikan fakta bahwa tidak adanya lagi minat generasi muda untuk menjadi nelayan entah itu disebabkan dari lingkungan keluarga nelayan itu sendiri atau memang keberpihakan pemerintah dalam menghadirkan kebijakan kebijakan untuk kesejahteraan nelayan sangat kurang. Oleh sebab itu data dan fakta ini harus menjadi rujukan kebijakan pemerintah agar kita bangsa maritim tidak meninggalkan lautan.
Namun tidak tepat jika hanya menyoroti Zaenuddin dan bapaknya saja, mereka benar jika kemudian berkata “ jika anak saya menjadi nelayan maka tidak ada peningkatan dari kelurga” aplagi saat saat zaman sekarang siapa sih anak muda yang igin menjadi nelayan ? yang hidupnya miskin susah tak berpendidkan kalaupun ada pasti satu sampai dua orang itupun ingin menjadi nelayan atau pengusaha disektor perikanan nah tentunya beda dengan nelayan. Pmerintah mestinya tersentuh hatinya atas perstiwa ini.
Dikalangan nelayan disebut sebagai salah satu kantong kelompok kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia mencapai 7,87 juta atau sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang.bisa kita bayangkan besarnya jumlah kemiskinan yang terdapat dikalangan profesi nelayan.
Didepan mata persoalan nelayan semakin memprihatinkan ketika banyak anak muda yang kemudian tidak ingin lagi menjadi nelayan dan lebih memilih menjadi tenaga buruh dikota-kota besar, terlibih lagi persoalan nelayan belum mendapat perhatian dan keberpihakan kebijakan pemerintah yang terjadi adalah : (1) .semakin berkurangya SDM yang produktif (2).tidak tersedianya jaminan akses modal (3). Tidak tersedianya jaminan akses pasar (4) sarana inrastuktur yang tidak memadai (5).tidak tersedia teknologi yang memadai. Jika hal ini terus terjadi maka akan menjadi bencana atas ketersedian pangan.
Dibalik semua itu seluruh rakyat Indonesia harusnya bersyukur memiliki individu individu nelayan yang berjuang ditengah ganasnya gelombang hanya untuk mencari ikan yang menjadi tumpuan seluruh anak bangsa sebagai bahan pangan dan sumber protein. Sungguh sangat ironis ketika nasib nelayan tak seindah dengan birunya laut dan indahnya terumbu karang.tak sebanding dengan berapa generasi muda cerdas yang dilahirkan seperti BJ.Habibie.
Saya teringat dengan pidato Presiden pertama RI Soekarno dalam pidato di tahun 1953 menegaskan, “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” Kata-kata Bung Karno ini seolah menjadi pemacu semangat pemerintahan baru untuk “kembali” ke laut.
Jakarta 1 Muharram 1437 H. (IW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H