Nelayan Menunggu Nahkoda Baru KKP
Oleh: Indar Wijaya
[caption id="attachment_352069" align="aligncenter" width="530" caption="foto.banjarmasin.tribunews.com"][/caption]
Potret kemiskinan nelayan seolah menjadi “penyakit akut” yang tak kunjung dapat terobati. Ditengah gencarnya kebijakan PT. Pertamina untuk pembatasan penggunaan solar bersubsidi bagi nelayan sebesar 20% tentu makin menghimpit kehidupan mereka. Kemiskinan seolah menjadi kawan akrab dalam kehidupan nelayan. Menurut Hadiwageno dan Pakpahan (dalam Salim, 1984: 45), yang berpendapat bahwa kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a) sumber daya alam yang rendah; b) teknologi dan unsur pendukung yang rendah; c) sumber daya manusia yang rendah; dan d) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik. Ketiga faktor inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama nelayan menderita penyakit akut ”kemiskinan struktural”.
Kemiskinan struktural terjadi akibat kesenjangan antara si nelayan miskin dan nelayan kaya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetaplah miskin. Seperti saat saya mengikuti kegiatan dan bertemu dengan nelayan di Muncar, Banyuwangi beberapa waktu lalu ketimpangan sosial begitu terasa di pelabuhan perikanan itu. Memang sebagai juragan kapal maupun tengkulak (nelayan kaya), kekayaan mereka seakan menjadi dua sisi mata pisau bagi buruh nelayan, punggawa, perempuan nelayan (nelayan miskin). Ketergantungan nelayan miskin terhadap keberadaan nelayan kaya dengan memonopoli dan menguasai pasar. Nelayan miskin tidak mampu memperbaiki nasibnya sendiri. Karena bagi nelayan miskin modal melaut saja mereka harus mendapatkan dana dari nelayan kaya, atau wajib menyerahkan hasil tangkapan dengan harga yang sudah ditentukan.
Hal ini semakin diperparah dengan ketidaktepat sasaran progam pemerintah yang digulirkan untuk mengentaskan nelayan dari kemiskinan. Nelayan muncar mengeluhkan bahwa progam seperti Kapal INKA MINA ternyata malah tidak menguntungkan mereka akibat ketidaksesuaian kondisi kapal dengan kondisi perairan dan area tangkap. Mereka sesungguhnya mengharapkan progam dari pemerintah yang sifatnya untuk diaplikasikan seperti pendekatan teknologi penangkapan dan pengolahan ikan maupun pendidikan. Penyakit kemiskinan struktural pasti berdampak pada pendidikan anak nelayan yang menjadi terabaikan. Kemiskinan struktural bagi nelayan miskin menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagai contoh ketika kelemahan ekonomi mendera tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan.
Pendidikan bukanlah menjadi prioritas utama karena bagi mereka jauh lebih baik bekerja untuk makan hari ini dan esok. Hidup mati mereka mutlak dari hasil sektor perikanan yang diakibatkan rendahnya pendidikan nelayan tanpa memiliki keterampilan alternatif. Saat saya menanyakan kepada salah seorang buruh nelayan di Muncar, apakah bapak berkenan untuk alih profesi dari nelayan untuk perbaikan nasib? Mereka menjawab tidak karena mereka tidak memiliki keterampilan lebih selain melaut.
Ketika musim paceklik tiba, nelayan hanya mengandalkan simpanan sisa panen raya untuk biaya makan keluarga dan ujungnya berhutang pada tengkulak. Begitu terpurukkah mereka? Maka berdasarkan uraian singkat diatas, diperlukannya langkah awal yang dilakukan secara kontinu dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan yakni memberikan penyuluhan, pendidikan, pelatihan keterampilan dan pendekatan teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Di mana upaya-upaya ini tidak hanya diberikan kepada nelayan saja, tetapi juga dilakukan terhadap keluarga nelayan (istri dan anak), karena mereka merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pendapatan keluarga nelayan.
Saat ini setelah proses demokrasi pemilihan presiden terlewati, nelayan menunggu sosok nahkoda perikanan yang profesional. Nelayan mendambakan sosok nahkoda perikanan profesional yang dekat dan peduli dengan nasib mereka. Sehingga mampu membawa kejayaan perikanan di bumi pertiwi. Saya yakin keberadaan nelayan akan menjadi prioritas utama presiden baru Jokowi –JK. Dengan presiden baru nelayan menanti harapan baru dengan menteri yang akan menahkodai KKP berasal dari nelayan minimal dekat dan mengerti persoalan nelayan.berikut nama nama tokoh perikanan dan kelautan yang menjadi perbincangan dalam kabinet usulan Rakyat (KUR) untuk menjadi nahkoda baru KKP.
1.Prof. Dr. Ir. RokhminDahuri (Ketua Umum MAI)
2.Dr. Ir. Gellwyn Yusuf, M.Sc (Ketua Umum ISPIKANI)
3.Dr. Ir. AgusSuherman (Dirut BUMN Perikanan Indonesia)
4.Prof. Dr. Ir. JamaluddinJompa, M.Sc (Dekan FIKP Unhas)
Selain ke empat calon yang mewakili dari berbagai kalangan diatas muncul nama baru seperti Dr.Suseno (Kepala BPSDM) Arif Satria (dekan FEM IPB) Riza Damanik (Aktivis Nelayan).
Tokoh tokoh tersebut memiliki integritas dan diangggap selama ini memperjuangkan sektor perikanan dan nelayan ,Namun, bukan berarti nelayan bergantung pada nahkoda perikanan tapi setidaknya mampu menyulutkan hasrat nelayan untuk memperbaiki kehidupan. Selain itu, sektor perikanan dan kelautan harus menjadi pilar pembangunan perekonomian Indonesia. Nelayan akan bangkit jika nahkoda profesional. Nelayan akan bangga ketika mereka menjadi perhatian dalam pembangunan Indonesia. Salam Bahari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H