Mohon tunggu...
Indarwati Indarpati
Indarwati Indarpati Mohon Tunggu... -

Seorang ibu rumah tangga biasa berbuntut 3 yang belajar jadi penulis di Kompasiana. :-)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Motivasi Ibu Bekerja Apa?

29 November 2011   06:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:03 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih dua minggu aku menemukan moment itu, tapi bayangannya masih lengket di kepala. Sebabnya bukan apa-apa, melainkan karena aku pernah berada di posisi sama dengan kondisi yang sedikit berbeda. Dua status ibu rumah tangga hebat—menurutku—di sebuah grup Facebook semakin mengentalkan bayangan mengenaskan yang terekam.

Pagi itu, sendirian aku brisk walking di sekitar kompleks. Biasanya kalau weekend jalan-jalan ditemani anak-anak dan suami meski jalannya tak lagi jadi brisk tapi slow. Maklum, dua dari tiga yang terakhir masih masuk kategori batita dan balita. Sampai di blokku, belakang rumahku persis tapi beda satu rumah, kulihat seorang batita, umurnya sekitar 2,5 tahun menangis kencang. Tangisannya sungguh menyayat pagi yang cerah. Bersinergi dengan isak dan teriak tangisnya, dia memanggil-manggil mamanya.

Duh, hati ibu mana yang tega mendengarnya. Sendirian dia berdiri di depan pintu pagar yang sudah tertutup rapat. Tak tampak sang nenek yang biasanya mengantar lelaki kecil itu berputar-putar kompleks dengan strolleynya—mungkin beliau sedang ke belakang. Tak pula ada jejak ibu bapak yang pastinya sudah berangkat kerja. Kerja, mencari nafkah, itulah alasan sang ibu meninggalkan anaknya. Salahkah? Jelas tidak. Dengan tuntutan jaman yang makin gila-gilaan, yang bahkan sesuatu bernama keinginan telah menjelma menjadi kebutuhan, jika tanpa gaji suami yang ‘lebih’ niscaya tidak mudah bagi seorang istri mengatur pengeluaran.

Bocah laki-laki itu, hampir tak pernah kutemui tersenyum, meski saat kuajak bicara atau bertemu teman sebayanya. Entah mengapa. Satu yang pasti, itu bukan lantaran dia terus-terusan sakit gigi. Pasti ada sesuatu yang membuat anak batita itu tampak tak nyaman. Jika boleh mengira-ngira, pasti ada hubungannya dengan ditinggal sang ibu bekerja.

Salah seorang ibu rumah tangga hebat yang kusinggung di atas menuliskan point antara lain:

1.Sebandingkah besar income dari pekerjaan itu dengan waktu, tenaga, dan pikiran saat meninggalkan anak-anak untuk bekerja di luar. Dan..

2.Apakah keluarnya seorang ibu bekerja itu hanya untuk ambisi berlebihan bernama kemapanan atau memang dia sudah siap dan yakin anaknya terhandle dengan baik?

Dua point yang kunukil yang kurasa paling pas dengan kondisi bocah laki-laki tetanggaku itu didapatnya dari curhat nenek kakek tentang anak, menantu, dan cucunya kepada si ibu. Sedikit banyak, aku mendapat gambaran apa yang dicurhatkan si nenek dan kakek sehingga muncul point-point tersebut.

Seorang ibu hebat lagi yang kusinggung di paragraf awal menuliskan status bahwa seorang ibu rumah tangga dengan segala kesibukan tiada hentinya--apalagi jika masih punya bayi dan balita--hingga tak sempat bekerja mencari nafkah tidak lantas berarti sedang bergantung sepenuhnya secara finansial kepada suami. Matematika Tuhan, berbeda dengan matematika manusia. Nilai uang dan rejeki bisa berbeda tergantung sudut pandang kita.

Seorang ibu, perempuan, haruslah mandiri. Termasuk secara finansial. Ya, saya setuju itu. Tapi, ada yang lebih penting dari kemandirian finansial seorang perempuan. Anak-anak, sebagai generasi penerus haruslah mendapat porsi yang utama. Jangan sampai mereka kehilangan guru pertama dan utamanya: bunda. Boleh mencari uang, asal pengasuhan anak tak terlalaikan. Bahkan sebenarnya, seorang ibu rumah tangga—jika dia sadar potensi dan terus mengasah diri—dalam lingkup domestik dan lingkungan pun bisa meletakkan dasar untuk usahanya mandiri secara finansial jika sekiranya anak-anak sudah bisa dikondisikan untuk ditinggal/diajak bekerja. Aktif di perkumpulan orang tua di sekolah anak-anaknya misal, lalu memanfaatkan jaringan itu untuk berjualan.

Satu hal yang jelas pasti takkan terulang dan tak tergantikan adalah golden age, periode emas perkembangan otak dan emosial anak. Uang sebanyak apapun tak kan bisa membeli waktu. Uang sebanyak apapun takkan bisa menggantikan kasih seorang ibu.

So, jika Anda seorang ayah, benarkah merasa perlu sekali dibantu istri mencari nafkah? Dan jika Anda seorang ibu, sudah luruskah motivasi bekerja itu serta sudah yakinkah buah hati kita, yang kita kandung dan lahirkan dengan susah payah dan menyabung nyawa berada di pengasuhan yang tepat? Hanya nurani yang bisa menjawabnya. ;)

Tanah Baru, 29/11/’11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun