Sumpah Pemuda
Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia,
menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Tentang Bahasa, ada penggalan yang menarik pada butir ketiga sumpah pemuda, memutuskan sifat paralelisme kalimat. Dua penggalan sebelumnya selalu menggunakan objek (tumpah darah dan bangsa) yang satu, berubah diksi kata menjadi “menjunjung bahasa persatuan”.
Mengapa? Menarik menanyakannya langsung pada pemuda tahun 1928 silam. Menurut Summer Institute of Linguistics tahun 2005, terdapat setidaknya 742 jenis bahasa yang terdapat di Kepulauan Nusantara. Fakta kemudian berlanjut, dari jumlah tersebut ditemukan bahwa 707 bahasa masih fungsional, 32 terancam punah, dan 3 diantaranya telah punah.
Dan fakta ini menjadi salah satu jawaban untuk menjawab pertanyaan diatas. Indonesia tidak memaksakan pemakaian Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang satu yang kemudian akan menenggelamkan bahasa-bahasa lainnya, akan tetapi dijunjung satu bahasa untuk menyatukan keberagaman di Indonesia, yang kemudian menjadi bahasa ibu di negara ini.
Indonesia lahir dengan mengakui keberagaman bahasa pada dirinya, sekaligus mengikrarkan diri untuk menjaga keberagaman tersebut. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah memiliki kedudukan yang sama untuk dilestarikan, sehingga keduanya menjadi alat komunikasi dalam negara, lebih jauh lagi mereka menjadi identitas bagi Indonesia.
Keseriusan dalam menjaga bahasa terbukti saat dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu kebangsaan. Lebih jauh lagi, peraturan ini mengatur serta mewajibkan beberapa lembaga formal dan ruang-ruang umum untuk menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan aturannya.
Aturan yang tepat sasaran untuk menjunjung Bahasa Indonesia, tetapi tetap saja tingkat ketersampaian informasi mengenai aturan ini serta keberterimaan masyarakat belum menginjak pada tingkat yang seharusnya. Lokasi-lokasi perbelanjaan modern lebih mengedepankan pemakaian bahasa asing, wajar saja, sebab tingkat pemasarannya lebih menarik perhatian masyarakat daripada menggunakan bahasa formal Bahasa Indonesia. Terlebih lokasi-lokasi perbelanjaan tradisional, lebih mengedapankan bahasa daerah sebagai bahasa percakapan sehari-hari.