Mohon tunggu...
Indar Cahyanto
Indar Cahyanto Mohon Tunggu... Guru - Belajar

Belajarlah untuk bergerak dan berkemajuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bung Hatta Keteladanan untuk Anak Negeri

4 Oktober 2023   07:54 Diperbarui: 4 Oktober 2023   07:56 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sadar sebagai manusia biasa yang tidak paham dengan semua makna dari setiap kata atau istilah meski sudah mencari dalam kamus, maka dengan bahagianya ketika kemudian pikiran dan otak ini bisa mengerti juga paham apa yang dimaksud dengan,"Karya". Dibalik pemahaman yang absurd tentang karya, sering bertanya dalam lamunan,"Apa yang bisa saya kerjakan untuk negeri ini?". Ketika manufer pikiran makin luas pertanyaannya juga mengembang, "Apa yang akan dilakukan oleh generasi muda untuk negeri ini yang telah dimerdekakan para pendiri dan pendahulu kita? Bisakah negeri ini sesuai harapan Founding father dan mother kita?

            Sudut pandang terhadap kejeniusan pemikiran pendiri bangsa Bung Karno dan Bung Hatta, membuat banyak tokoh negarawan  menjadi semakin gemes dengan para pengambil kebijakan di negeri ini. Banyak generasi muda yang minim berliterasi hanya tahu bahwa Soekarno-Hatta sebagai Sang Proklamator. Karena hanya hal ini yang menjadi potongan lembaran sejarah Soekarno-Hatta yang sering diinfokan kepada generasi penerus di sekolah. Padahal ternyata banyak lembaran-lembaran penting yang seharusnya menjadi katalog penerus bangsa di negeri ini. Pemikiran briliyantnya membuat para tokoh baik di negeri sendiri maupun di Negara lain yang takut tersaingi, seolah sengaja diluputkan dari sejarah. Sehingga tidak heran  jika Soekarno-Hatta juga luput menjadi idola, tren center dan figure yang harus diteladani  oleh generasi penerus bangsa. Akhirnya sampai sekarang belum muncul pemimpin yang otentik seperti Dwitunggal Soekarno-Hatta di negeri ini.

Melihat latar belakang keluarga, agama, dan Pendidikan Bung Hatta, kemungkinan kita akan menebak beliau adalah seorang yang memiliki paham ideologi atau pemikiran yang islamis. Bung hatta memiliki latar Pendidikan ala barat yang kuat dan berkembang menjadi seorang pemuda yang modern sekaligus dekat dengan perilaku keagamaan yang saleh. Pendidikannya di Meer Uitgebried Lagereondermijsc (MULO), menjadikan kesadaran politiknya tumbuh dan berkembang, terutama dalam kedudukannya sebagai pelajar di sumatranen bond, dalam mengawali pemikiran dan ideologi Bung Hatta selanjutnya.

Bungg Hatta merupakan salah satu founding fathers bangsa Indonesia, sekaligus pemikir yang menguasai berbagai disiplin ilmu Barat, namun tetap berpegang pada nilai-nilai ke-indonesiaan. Karya-karyanya sangat banyak dan mewakili identitas bangsa Indonesia. Bung Hatta pernah mengenyam pendidikan di Belanda namun karena nasionalisme dan pemahamannya tentang Indonesia membuat karyanya sangat layak untuk dikaji secara teoritis. Bung Hatta mencurahkan pemikirannya dengan menulis berbagai buku dan menulis kolom-kolom di berbagai surat kabar baik dalam maupun luar negeri. Buku Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi sangat menarik untuk dijadikan sumber dalam mengupas pemikiran politik Bung Hatta dalam kurun waktu 1908-1949, dari peristiwa yang menjadi latar belakang, hingga proses pengembangan dari pemikiran politik tersebut.

Dalam catatan beberapa pengamat politik,  semenjak berada di negeri Belanda Bung Hatta termasuk seorang penganut sosialis, karena pemikirannya dibentuk di kalangan sosialis. Beliau banyak menulis di buletin milik kalangan sosialis seperti De Socialist, De Vlam, dan Recht In Vrijheind. Kemudian yang paling mencolok dari Bung Hatta adalah sikap politiknya tersebut tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Artinya Hatta tidak terseret pada suatu pemelukan paham yang anarkis atau sebagai sosialis yang melankolis dan romantik terhadap gelora perjuangan. Prilakunya rasional ini secara tidak langsung, memberikan sumbangan pada pembentukan awal republik ini. Hal yang paling mendasar dan khas dari Bung Hatta adalah bisa menjadi seorang rasional tanpa kebarat-baratan. Yang ia ambil dari barat hanya visi dan sikap disiplinnya serta keterampilan mengelola organisasi.

Paham komunisme yang dikenal Bung Hatta saat datang pertama kali di Belanda, membuatnya cepat mengambil jarak atau menjauh dari paham tersebut. Bung Hatta mengerti bahwa ada semacam takhayul ilmiah dalam pesona komunisme. Karakter Komunisme yang memang tidak cocok dengan kepribadiannya membuat Beliau tahan menyendiri.

Bung Hatta juga pernah mengkritik sekaligus menulis risalah tentang teori Marx pada tahun 1962 di Banda. Kritiknya terhadap Marx adalah tidak memperhatikan munculnya banyak faktor irasionalitas dalam masyarakat. Buruh yang dibelanya dalam kasus jerman, malah mendukung fasisisme dan menindas kelas mereka sendiri. Meski mengecam dan menolak paham komunis/Marxisme, Bung Hatta ternyata lebih terpukau dengan ekonomi politik dan aliran historis daripada ekonomi klasik. Hatta dengan tegas membedakan teori ekonomi, politik ekonomi ,dan orde ekonomi. Dasar pemikiran Bung Hatta seungguhnya adalah kepercayaan pada kemungkinan kehidupan politik yang demokratis dalam situasi kolonial.

Melalui tulisan-tulisannya Bung Hatta menjadi dikenal luas di kalangan masyarakat, baik itu masyarakat pribumi maupun masyarakat di Negeri Belanda, namun luput untuk sebagian generasi muda di negeri ini. Berbagai macam buku pernah ditulis Bung Hatta mulai dari Filsafat, Ekonomi, Politik, dan Kebangsaan. Bung Hatta merekontruksi pemikiran politiknya mulai dari latar belakang sampai proses meraih dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Buku berjudul ,"Untuk Negeriku", merupakan sebuah Otobiografi terbagi menjadi beberapa fase kehidupan Bung Hatta dan terbagi menjadi tiga buah jilid buku. Pada jilid pertama ditulis dengan periode 1902-1929 berjudul ,"Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi", berisi perjalanan hidup Bung Hatta dari masa kecilnya sampai masa kuliahnya di Belanda tahun 1929. Jilid kedua dengan jangka waktu 1929-1942 berjudul," Berjuang dan Dibuang",  berisi masa akhir kuliah Hatta di Jakarta hingga akhir masa pembuangan di Banda Neira. Sedangkan pada jilid ketiga yang yang diberi judul,"Menuju Gerbang Kemerdekaan", ditulis dengan latar waktu 1942- 1949.

Bung Hatta menulis mengenai masuknya Jepang ke Banda Neira hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949 pada jilid ketiga. Di buku ini ada tulisannya tentang sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri disertai dengan adanya ideologi, tujuan negara, dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak terlepas dari pemikiran politik para pendiri bangsa. Masing-masing tokoh memiliki pandangan yang berbeda tergantung dari latar belakang sosial, budaya, dan keilmuan dari tokoh-tokoh tersebut. Namun setidaknya pemikiran politik para pendiri bangsa dapat dijadikan landasan berfikir generasi penerus mengenai konsep berbangsa dan bernegara di Indonesia. Konsep-konsep tentang kekuasaan, negara, dan kepemimpinan yang terkandung dalam berbagai tradisi dan kebudayaan daerah di Indonesia perlu digali, diwacanakan, dan didokumentasikan sehingga bisa memperkaya pemahaman kita tentang kekayaan kehidupan dan peradaban masyarakat Indonesia di masa lalu. Di samping itu, untuk keperluan empiris, konsep-konsep politik tradisional ini dapat dipilih dan dicari relevansinya dengan kebutuhan pembinaan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa sekarang ini. Penggalian konsep-konsep politik Indonesia lama oleh ilmuwan Indonesia sendiri dapat dijadikan sebagai pengimbang terhadap kuatnya dominasi barat dalam pengembangan konsep-konsep ilmu sosial pada umumnya dan konsep-konsep ilmu politik khususnya.   Dengan demikian proses penemuan identitas bangsa hanya dapat dilakukan dengan pemahaman yang baik tentang sejarah perjuangan bangsa, khususnya dengan memahami dan menghayati pemikiran dan perilaku kejuangan para perintis kemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan setiap warga negara Indonesia tentang pentingnya menggali kembali momen-momen sejarah perjuangan nasional agar proses penemuan kembali identitas nasional dan kepribadian bangsa dapat terwujud. Inilah pemikiran Bung Hatta tentang Indonesia agar tidak salah arah.

Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956 (yang kemudian disahkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 13 Tahun 1957 tentang Pemberhentian Bung Hatta dari Jabatan Sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 5 Februari 1957), Beliau dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 Beliau berangkat ke Cina karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap Beliau sebagai "a great son of his country", terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut Beliau yang bukan lagi sebagai wakil presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun