Mohon tunggu...
Indar Cahyanto
Indar Cahyanto Mohon Tunggu... Guru - Belajar

Belajarlah untuk bergerak dan berkemajuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Hoaxs dalam Masyarakat Post Truth

7 September 2023   22:18 Diperbarui: 7 September 2023   22:27 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinamisnya perilaku elit politik di Indonesia dalam menentukan arah masa depan bangsa Indonesia setelah 20 tahun era reformasi bergulir. Era pergantian kekuasaan dalam ranah kebijakan politik di tanah air banyak trik dan intrik yang mewarnainya. Proses pergantian kepemimpinan nasional dalam tahapan demokrasi dan perjalanan pemilu memberikan suatu kontribusi pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan ranah konstitusi negara UUD 1945.

Proses perjalanan politik kebangsaan yang tak boleh dilupakan adalah terkait tujuan negara yang tergaris di dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 berbunyi melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Dasar dan bangunan negara yang bernegara itu haruslah taat pada tujuan didirikannya negara kesatuan republik Indonesia itu. Apapun warna partai ideologi politiknya tapi tujuan negara itu harus dipastikan menjadi arah bangunan kebangsaan Negara Indonesia. Kemudian Pancasila menjadi landasan Ideologi yang tersemat dalam alinea ke 4 dalam pembukaan UUD 1945 tersebut. Hal inilah yang tak boleh hilang dalam ruang privat kebangsaan Negara kesatuan Republik Indonesia.

Walaupun dari pemilu ke pemilu banyak dilema dan dinamika yang dihadapinya akan tetapi bangunan kokoh UUD 1945 dan Ideologi Pancasila haruslah menjadi titik temu dalam kehidupan kebangsaan. Di dalam beberapa tahun belakangan ini idiom konflik perpecahan cebong kampret dalam kontelasi politik haruslah disudahi dalam ranah kehidupan bernegara. Kemudian tak ada lagi yang merasa aku berjiwa Pancasila yang lain tidak, merasa paling benar diatas nalar kebhinekaan yang telah dianut di negri ini. 

Sejak pelaksanaan demokrasi melalui pelaksanaan PEMILU dalam 10 tahun terakhirnya kita mengalami adanya feomena Post Truth dimana beredarnya informasi yang berasal dari media sosial dan media mainstream dimainkan untuk mengolah opini warga masyarakat sehingga terkadang opini itu menjadi sebuah pembenaran dari kebenaran fakta yang ada. Lebih banyak melibatkan emosi dan perasaan warganya dalam memainkan suatu isu yang sensitif ketimbang melakukan suatu perdebatan dalam ruang diskusi publik.

Masyarakat post truth mengalami suatu proses diskusi dan perdebatan intelektual yang terpinggirkan. Keengganan menggunakan metode berpikir dialektis-dialogis dan sistematis filosofis, dan seakan lebih tertarik ke dalam ruang media sosial. Ketika penggunaan media sosial yang kini masif digunakan masyarakat Indonesia tanpa mengolah informasi itu menjadi suatu femonena menarik tersendiri. Maka akan muncul suatu pemberitaan informasi yang sifatnya hoaxs fitnah dan palsu.

Berita palsu dari konten-konten yang tak bertanggung jawab menjamah pikira-pikiran alam bawah masyarakat Indonesia yang memegang gawai. Sehingga fenomena masyarakat post truth yang dialami bangsa ini bermuara dari beredarnya berita dalam media sosial. Era Post-truth dalam Oxford English Dictionary (2019) didefinisikan sebagai keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk debat politik atau opini publik dibandingkan dengan menarik emosi dan keyakinan personal. Post-truth merupakan kondisi/era ketika "fakta-fakta alternatif" menggantikan fakta aktual, dan perasaan memiliki bobot lebih tinggi dari bukti-bukti (McIntyre, 2018, hal. 2). Awalan "post" (pasca) pada post-truth merujuk pada artian bahwa kebenaran telah dikalahkan berarti bahwa perasaan seringkali lebih penting daripada fakta. Masih menurut Oxford English Dictionary, post-truth terjadi karena adanya kepentingan dan keuntungan yang dapat diperoleh seseorang atas suatu "kebenaran". Seseorang yang melakukan pembantahan atas suatu fakta yang sudah jelas, biasanya merasa terancam oleh fakta tersebut, sehingga lebih baik melakukan penentangan terhadap fakta itu. Kepentingan dan keuntungan lebih dipertimbangkan daripada fakta.

Hal itu merupakan suatu kewajaran pada mulanya tapi ketika suatu data tanpa fakta yang ada hanya melibatkan perasaan itulah yang berbahaya. Keyakinan kelompok dan individu dalam memainkan media opini tanpa suatu kajian literasi yang lengkap seakan-akan menjadi framing dalam ranah kehidupan masyarakat Indonesia. Pada kenyataan saat ini berita mengumbar kebencian, mengumpat membuly, perundungan masuk ke dalam ranah privat individu masyarakat Indonesia. Sebagai contoh banyak hal kita melihat membaca di media sosial mengumpat seseorang, membully seseorang dengan membaby buta. 

Ketika kita melirik motif penyebaran hoaks yang dilakukan orang adalah. Pertama Provokasi Menimbulkan keriuhan dalam masyarakat sehingga masyarakat mengalami kecemasan dan keputusaasaan serta suasana tidak lagi menjadi nyaman, 2. Profit Mencari uang dari sebagian masyarakat dalam melakukan penyebaran berita palsu ketiga Propaganda Untuk menjatuhkan pihak lain. Ketiga hal inilah merupakan penyebaran hoaxs atau berita palsu yang dilakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab.

Kemudian Berikut ini empat ciri-ciri hoaks yang biasanya tersebar.
1. Informasinya berlebihan "too good to be true" atau "too bad too be true"
2. Mengandung kalimat bombastis dan hiperbolis
3. Mengandung kalimat ajakan untuk memviralkan (secara gamblang maupun halus)
4. Informasi berasal dari sumber yang tidak jelas, bahkan mengatasnamakan orang terkenal, institusi tertentu, atau media

Proses ke depan kita lebih banyak menggunakan media sosial untuk dapat berliterasi digital secara sehat aman dan cermat. Tahun politik memberikan ruang ekspresi kebangsaan bagi masyarakat untuk mengusung kebenaran berdasarkan data fakta serta kajian yang mendalam. Bukan lagi kebenaran berdasarkan dari katanya dan melibatkan perasaan seseorang yang kerap akan memberikan dampak buruk bagi hubungan sosial kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun