4) Konflik peranan Konflik ini terjadi karena seorang individu mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
https://dinsospmd.babelprov.go.id/content/manajemen-konflik-dalam-organisasi
Ketika ada suatu konflik maka perlu adanya manajerial konflik yang berimbang sehingga dapat memberikan efek yang baik buat organisasinya. Pimpinan dan staf manajemen harus dapat memilah, memilih persoalan yang dapat menghancurkan jalannya organisasi. Maka diupayakan untuk dapat membangun manajemen yang efektif dan efisien dalam membangun kinerja organisasinya. Menurut T.H. Handoko (1998:10) mendefinisikan manajemen sebagai: "Bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi Perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan personalia atau kepegawaian (staffing), pengarahan dan kepemimpinan (leading), dan pengawasan (controlling). http://eprints.ipdn.ac.id/5556/1/Manajemen%20Konflik%20KUSWORO.pdf
Harsono dalam bukunya Sistem Manajemen Kepegawaian (2011- 73) menyatakan bahwa yang dinamakan manajemen adalah: "proses, aktivitas, pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh manajer, meliputi: planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (menggerakkan/mengingatkan) dan controlling (pengawasan) terhadap aktivitas yang dilakukan oleh bawahan guna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dengan memanfaatkan, menggunakan, mendayagunakan sumber-sumber daya yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh organisasi. Manajemen yang efektif akan memainkan makna ganda yaitu 1) menyelesaikan tugas-tugas organisasi secara tuntas untuk mencapai tujuan organisasi sekaligus, 2) memuaskan seluruh anggota organisasi. Tugas ini dilaksanakan keduanya secara simultan. Manajer harus menyelesaikan pekerjaannya dalam mencapai tujuan organisasi melalui orang lain, untuk ini maka manajer harus memperhatikan keduanya. http://eprints.ipdn.ac.id/5556/1/Manajemen%20Konflik%20KUSWORO.pdf
Secara tataran teori manajemen memberlakukan seperti kedua teori diatas dalam hal planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (menggerakkan/mengingatkan) dan controlling (pengawasan). Akan tetapi dalam dinamika perkembangan organisasi hal-hal diatas mengalami sedikit pergeseran ketika ada unsur perasaan manusia yang terlibat didalamnya seperti perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat menyebabkan kemarahan seseorang yang akan mempengaruhinya dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan bisa menurunkan produktivitas kerja organisasinya secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Kesalahan yang dilakukan akibat konflik dapat menyebabkan hal dapat mematikan kreatifitas dalam giat pekerjaannya. Pada sisi yang lain akan membangun sisi kemalasan dalam bekerja. Proses konflik alami sejatinya merupakan kekuatan untuk mendatangkan perubahan dan kemajuan dalam lembaga. Jika di dalamnya mampu mengelola konflik itu dengan baik yaitu dengan cara memperkuat komunikasi dan kerjasama dalam wadah organisasi, membangun kembali kepercayaan dan harga diri sesama warga organisasi, dan mempertinggi produktifitas dan kreatifitas warga organisasi
Sedangkan untuk di sekolah dapat dibedakan menjadi faktor substantif atau emosional (Owens, 1991). Konflik-konflik karena faktor substantif bisa disebabkan oleh hal-hal yang bersifat akademis maupun non- akademis, seperti perbedaan pendapat tentang konsep pendidikan, hal-hal yang terjadi di saat mengadakan rapat dan lain-lain, yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja dari para personil sekolah. Sedangkan konflik-konflik karena faktor emosional bisa disebabkan oleh perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antar pribadi di sekolah. Contohnya seperti guru sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya, sering tidak masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak acuh terhadap lingkungan kerja, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan sesama guru, berpikir agresif, pemogokan, dn atau merusak peralatan sekolah (Liliweri 2018). Hal ini merupakan berbagai persoalan di sekolah yang mengarah pada terjadinya situasi konflik dan harus dihadapi oleh kepala sekolah. https://www.jonedu.org/index.php/joe/article/download/2597/2207
Konflik tidak terjadi secara seketika, melainkan melaui tahapan-tahapan tertentu. Robbins menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap sebagai berikut:
1. Tahap Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial Konflik ini dimulai dengan proses komunikasi.
2. Tahap Kognisi dan Personalia Di dalam tahap ini merupakan aktualisasi dari tahap I, dimana kondisisi- kondisi di tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya konflik itu.
3. Tahap Maksud Maksud berada diantara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang- terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan-konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (pertengahan dalam hal ketegasan dan kekooperatifan).