Kenali Garut [Sedikit] Lebih Dalam
Ada juga yang mengenal Garut karena domba adunya yang gagah atau jeruknya yang sangat manis, meskipun sekarang sudah agak sulit menemukan jeruk Garut yang terkenal itu. Yang lebih miris adalah ketika orang mengenal Garut karena berbagai kabar negatif yang terjadi di Garut, yang kemudian viral di berbagai media.
Padahal, kalau mau sedikit menjelajah, ternyata di balik semua itu Garut menyimpan berbagai potensi wisata yang luar biasa menakjubkan. Sampai-sampai, ketika menjabat sebagai wakil bupati Garut, Dicky Chandra sempat memberikan julukan GURILAPS untuk potensi wisata di Garut.
Gurilaps ini merupakan singkatan dari gunung, rimba, laut, pantai dan seni budaya. Semua itu merupakan deretan potensi wisata terbaik yang dimiliki Garut. Pesona wisata alam Garut, mulai dari Utara hingga Selatan, seperti berbaris menanti kedatangan para pelancong. Belum lagi potensi wisata kuliner dan kerajinannya yang begitu diminati oleh para wisatawan. Dan yang tak kalah menarik adalah keberadaan aneka atraksi unik seni tradisi yang tersebar hampir di seluruh kecamatan, di kabupaten Garut.Â
Bertandang ke Padepokan Sobarnas Martawijaya
Nah, bagi yang ingin menikmati keindahan dan keanekaragaman seni di Garut, sebenarnya tidak harus jauh-jauh mencari sampai ke pelosok desa atau kecamatan. Tidak jauh dari pusat kota Garut, ada satu padepokan yang boleh dikatakan sebagai salah satu pusat atraksi seni di Garut. Hanya berjarak lima kilometer dari Alun-alun Garut, atau sekitar 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Selain itu, lokasinya pun sangat dekat dengan perhotelan dan penginapan di kawasan wisata pemandian air panas Cipanas. Kurang dari satu kilometer jaraknya. Tepatnya, padepokan ini terletak di kampung Tegalsari, desa Langensari, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Hiasan relief di tembok bagian luar gedung, yang memperlihatkan gambar waditra (alat musik) gamelan, pemain musik dan penari, semakin menegaskan fungsi bangunan tersebut sebagai gedung pertunjukan.
Gedung ini diberi nama Jagat Ageung. Selain sebagai gedung pertunjukan, gedung ini juga difungsikan sebagai tempat latihan. Ruangnya lumayan besar, memungkinkan untuk menampung sampai tiga ratus orang di dalamnya.
Di bagian depan Jagat Ageung, ada bangunan yang difungsikan sebagai rumah tinggal. Di samping luar Jagat Ageung, ada sebuah bangunan pendopo berukuran sedang, yang difungsikan sebagai panggung terbuka.
Bangunan ini biasa digunakan sebagai tempat pagelaran seni, atau terkadang juga dijadikan tempat berkumpul, baik untuk berdiskusi, musyawarah, atau sekedar ngobrol santai.
Pendopo ini dinamai Jagat Nembrak, yang artinya ruang terbuka. Dilengkapi dengan rak berisi buku-buku bacaan, sebagai perpustakaan terbuka, yang boleh diakses oleh siapa saja.
Agak ke belakang dari Jagat Nembrak, ada bangunan kecil menyerupai saung. Bangunan yang disebut Jagat Alit ini difungsikan sebagai sekretariat, atau tempat berkumpul warga padepokan, atau juga sebagai tempat untuk menerima tamu.
Satu bangunan lagi berdiri di bagian kanan depan atau di sebelah kiri Lawang Jagat. Sebuah bangunan bertingkat. Bagian bawahnya difungsikan sebagai workshop atau bengkel kriya, tempat membuat berbagai macam handycraft. Sementara bagian atasnya difungsikan sebagai ruang IT dan ruang pustaka khusus, yang menyimpan buku-buku koleksi khusus. Di bagian atas juga ada satu ruang kecil yang difungsikan sebagai mushola.
Melihat bangunan-bangunan yang ada, padepokan ini sudah cukup memadai untuk menjadi tempat berkumpulnya banyak orang. Selain ruang pertemuan, ruang pertunjukan, ruang baca, ruang IT, dan ruang ibadah, tempat ini juga dilengkapi dengan beberapa kamar kecil atau toilet. Selain itu, area perkarangan juga cukup luas. Bisa digunakan untuk kegiatan atau pagelaran di ruang terbuka.
Tempat yang pembangunannya dirintis sejak tahun 1980 ini, dikenal dengan nama, Padepokan Sobarnas Martawijaya, yang diambil dari nama sang pendiri.
Sobarnas Martawijaya adalah seorang seniman dan budayawan Garut, yang semasa hidupnya senantiasa mencurahkan segenap tenaga, hati dan fikirannya, untuk perkembangan seni dan budaya, khususnya di kabupaten Garut.
Hal ini dibuktikan dengan sepak terjang beliau semasa hidup. Beliau begitu gigih berjuang dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya di kabupaten Garut, melalui berbagai pelatihan yang digagasnya, pagelaran-pagelaran seni yang dirancangnya, dan tulisan-tulisan tentang seni budaya yang ditulis dan dicetaknya secara mandiri.Â
Beliau adalah seorang dalang yang piawai menari, dan terampil memainkan waditra (alat musik tradisional) sunda. Selain itu, beliau juga seorang penulis yang cukup produktif menuangkan ide, konsep dan pemikirannya tentang seni budaya ke dalam berbagai tulisan yang kemudian dibukukan dan dicetaknya sendiri (meskipun belum pernah diterbitkan oleh penerbit konvensional).
Beliau juga menulis beberapa naskah longser dan drama sunda yang kemudian dipentaskan dan disutradarainya. Pementasan longsernya selalu sukses menghadirkan ribuan penonton yang memadati gedung pertunjukan.
Ketika dipercaya menjadi anggota DPRD kabupaten Garut, beliau senantiasa berusaha memperjuangkan perkembangan seni budaya di kabupaten Garut, termasuk nasib para pelaku seninya.Â
Berpedoman pada motto hidupnya, "nu heubeul pikeun eunteung, ayeuna garapeun, isukan pikiraneun, (Kemarin untuk dijadikan cermin, sekarang untuk dikerjakan, besok untuk dipikirkan)," semasa hidupnya, Bapak Sobarnas seolah tak pernah kehabisan tenaga dan ide untuk membuat karya dan mengembangkan seni budaya di Garut.
Padepokan Sobarnas Melahirkan Banyak Seniman
Padepokan yang berlokasi di kaki Gunung Guntur ini, ibarat kawah candradimuka bagi para pelaku seni dan calon seniman di Garut. Sudah ratusan atau bahkan mungkin ribuan seniman dan pelaku seni lahir dari padepokan ini. Ada yang kemudian mendedikasikan diri sebagai seniman, berkreasi mencipta karya dan mempublikasikan karyanya untuk diapresiasi oleh masyarakat luas, ada juga yang mengabdikan diri sebagai pelatih seni, baik di lembaga pendidikan formal maupun melatih secara mandiri.
Ada dua komunitas yang menggunakan padepokan ini sebagai basis kegiatannya, dan melahirkan begitu banyak seniman di Garut. Keuda komunitas tersebut adalah Pondok Olah Seni Sari Kota Inten yang biasa disingkat Polah Seni Sakinten, dan Komunitas Budaya Posstheatron Garut.
Polah Seni Sakinten lebih memfokuskan garapan dan pembinaan pada pengembangan dan pelestarian seni tradisi sunda, terutama seni tari dan seni karawitan. Polah Seni Sakinten memberikan pelatihan tari dan karawitan kepada masyarakat yang berminat, mulai dari usia kanak-kanak, remaja, hingga orang dewasa. Selain itu, Polah Seni Sakinten juga melayani permintaan untuk tampil dalam berbagai pagelaran seni budaya, termasuk juga melayani permintaan upacara adat sunda, baik untuk acara pernikahan tradisional sunda, pembukaan suatu kegiatan, ataupun untuk acara-acara penyambutan tamu agung kenegaraan di jajaran pemerintah kabupaten Garut.
Sementara itu, Komunitas Budaya Posstheatron Garut memiliki garapan yang sedikit lebih luas. Meskipun garapan utamanya adalah seni pertunjukan, namun sebagai komunitas budaya, Posstheatron juga menyentuh berbagai aspek kebudayaan lainnya.
Selain menggarap seni pertunjukan drama atau teater, dramatisasi puisi, musikalisasi puisi, musik kolaborasi, dan lain-lain, Posstheatron juga menggarap seni kriya atau handycraft, penerbitan buku sastra, diskusi dan pelatihan penguatan budaya, dan sebagainya.
Dalam menjalankan aktivitas kebudayaannya, Posstheatron berpijak pada motto, "Mengubah yang ada menjadi yang semestinya." Ketika menemukan nilai-nilai seni budaya yang tidak sesuai, Posstheatron berusaha sebisa mungkin untuk mengembalikannya ke nilai yang seharusnya.
Begitu banyak seni pertunjukan (terutama seni tradisional) di Garut yang semakin terlupakan akibat tergerus kemajuan zaman, kehilangan ruang ekspresi, kehilangan panggung, atau kehilangan apresiator.
Bahkan tidak jarang para pelaku seni tradisi itu akhirnya menggunakan keseniannya untuk mengamen di jalanan, mengais remah-remah rejeki dari para dermawan yang melintas.Â
Maka berpijak pada motto tersebut, Posstheatron terus berupaya memfasilitasi kelompok-kelompok seni tradisi untuk mempertontonkan kreasi seninya di Padepokan Sobarnas Martawijaya, melalui kegiatan-kegiatan yang sudah diprogramkan.
Mencatat Agenda Budaya di Padepokan Sobarnas Martawijaya
Padepokan Sobarnas Martawijaya juga menjadi semacam ruang apresiasi bagi para pecinta, penikmat dan pemerhati seni. Berbagai kegiatan seni dan budaya sering digelar di sini, mulai dari pagelaran atraksi seni, diskusi seni budaya, hingga pelatihan seni. Setidaknya, dalam satu bulan ada satu pagelaran seni dan satu kegiatan diskusi seni budaya yang dilaksanakan di Padepokan ini.
kesenian, kebudayaan, dan kehidupan sosial, bahkan hingga isyu-isyu yang berbau politik. Kegiatan ini biasanya menghadirkan narasumber yang memang bergelut di bidang yang akan didiskusikan.
Pada hari Jumat (biasanya minggu ketiga), rutin digelar acara bertajuk Jumat Ngaliwet, sebuah acara ngawangkong (diskusi santai) yang membicarakan berbagai isyu lintas disiplin, mulai dari isyu yang berkaitan denganSementara untuk peserta, diskusi ini biasanya dihadiri oleh para pelaku dan pemerhati seni dan budaya, aktivis komunitas seni budaya, aktivis komunitas kreatif, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum.
Di akhir acara, semua peserta duduk bersama untuk menikmati sajian nasi liwet khas Padepokan, sambil diselingi senda gurau. Sungguh sebuah pemandangan yang indah dan mengasyikan, dalam balutan suasana penuh keakraban dan kekeluargaan.
Kemudian pada hari Sabtu (biasanya minggu kedua atau minggu ketiga), digelar acara Pentas Sore : Pentas Seni Sabtu Sore, yakni pagelaran aneka tampilan kesenian, baik seni tradisi maupun modern atau kontemporer. Pengisi acaranya tidak hanya dari warga padepokan, tetapi juga mengundang seniman atau kelompok seni lain, baik dari Garut maupun dari luar Garut.
Kegiatan ini pada prinsipnya ditujukan untuk memberi ruang atau kesempatan kepada para seniman, pelaku seni, atau kelompok seni, untuk mengekspresikan karyanya agar bisa dinikmati dan diapresiasi oleh masyarakat luas.
Selain kegiatan rutin bulanan, Padepokan Sobarnas Martawijaya juga memiliki beberapa agenda kegiatan tahunan. Salah satunya adalah Resital Teater, yakni pertunjukan teater yang digelar oleh para anggota baru Komunitas Budaya Posstheatron, sebagai hasil pelatihan selama tiga bulan. Pelatihannya sendiri disebut Teaterapi, biasanya dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember.
Pelatihan ini semacam sekolah atau kursus singkat seni dan budaya, termasuk di dalamnya pelatihan seni peran/teater, tari, musik, sastra, kriya dan sebagainya. Setelah selesai pelatihan selama tiga bulan, para peserta akan dibimbing untuk memproduksi sebuah pertunjukan teater, yang kemudian diapresiasi oleh masyarakat.
Setidaknya satu tahun sekali, biasanya dalam rangka memperingati hari besar nasional atau hari besar Islam, Posstheatron akan menggelar kegiatan yang diberi nama Berdaya Budaya. Kegiatan ini diisi dengan penampilan berbagai macam seni pertunjukan, helaran (karnaval) budaya, pameran karya seni, bazar produk dan kuliner, serta diskusi seni budaya yang menghadirkan narasumber para seniman dan budayawan.
Padepokan Sobarnas Martawijaya juga mempunyai program Pertunjukan Seni Akhir Tahun yang diberi tajuk Moerak Manggoe (dibaca : Murak Manggu). Program yang digarap oleh Komunitas Budaya Posstheatron ini biasanya digelar pada malam minggu terakhir di bulan Desember.
Pada kegiatan ini, Padepokan akan mengundang beberapa seniman dan atau kelompok kesenian untuk menampilkan karya terbaiknya. Pertunjukan dilakukan di beberapa titik padepokan, mulai dari panggungt Jagat Ageung, Jagat Nembrak, hingga pojok halaman bagian depan, di bawah rimbun pohon Klengkeng.
Dari beberapa kali penyelenggaran, animo masyarakat terhadap kegiatan ini cukup besar. Jagat Ageung dan halaman padepokan selalu penuh oleh apresiator. Di beberapa titik padepokan juga disediakan lapak-lapak untuk menjual aneka produk kerajinan dan kuliner karya warga padepokan ataupun warga masyarakat sekitar.
Seni Badeng, sebuah seni pertunjukan buhun dari Sanding Malangbong, yang nyaris dilupakan masyarakat, diberi ruang di panggung Moerak Manggoe. Kemudian ada Tagoni, sebentuk seni pertunjukan islami, yang ditampilkan oleh anak-anak Tegalsari, yang tinggal di sekitar Padepokan.
Pertunjukan Calung, Longser, Tabla, Perkusi, Monolog, musik kolaborasi, aneka tari, dan parade baca puisi dari para penyair dan deklamator Garut. Juga ada Ayi Kurnia, seorang aktor/deklamator kenamaan dari Purwakarta, dan Mukti-mukti, seniman musikalisasi puisi dari Bandung.
Padepokan sebagai Objek Wisata
Selain program-program kegiatan seni pertunjukan, saat ini Padepokan Sobarnas Martawijaya juga tengah merancang sebuah konsep edukasi seni pertunjukan, yang dikemas dalam sebuah program kunjungan wisata.
Program ini disebut Paket Wisata Edukasi Seni Pertunjukan. Program ini ditujukan kepada para wisatawan yang ingin mengetahui seluk-beluk seni pertunjukan, dalam durasi kunjungan tertentu. Sasaran utamanya adalah para pelajar setingkat TK, SD, SMP, hingga SMA. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi kalangan lain untuk mencoba mengeskplorasi program ini.
Dalam program ini, wisatawan akan diajak untuk ikut terlibat menikmati kecerian dan keakraban barudak lembur dalam Kabarulem (Kaulinan Barudak Lembur). Lalu, akan diajak berlatih seni tari, untuk melatih kelenturan tubuh, kesadaran ruang, dan kepekaan akan irama dan musik.
Selepas itu, wisatawan akan diajak bermain peran dalam sebuah sesi permainan yang mengasyikkan. Dan terakhir, wisatawan akan mendapat kesempatan membuat kerajinan tangan, yakni membuat topeng kertas.
Hasil karyanya nanti bisa dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Setelah lelah bermain dan berkreasi, wisatawan akan diajak botram, makan bersama sengan sajian nasi liwet khas Padepokan. Sungguh sebuah paket wisata yang menarik dan mengasyikkan. Sangat layak untuk dicoba.
Mereka Terus Meriak Bersama di Padepokan
Sepeninggal Bapak Sobarnas Martawijaya, padepokan dipimpin oleh istrinya, Ibu Tien Martini Sobarnas. Beliau adalah salah seorang maestro tari, yang menguasai begitu banyak gerakan tari kreasi dan tari kontemporer. Beliau juga telah menciptakan beberapa gerakan tarian khas Sari Kota Inten. Karena keterampilan menarinya itu, Ibu Tin pernah bergabung dengan tim Misi Kesenian Indonesia ke Negara Jepang selama enam bulan, pada tahun 1974.
Dulu, bersama mendiang suaminya, beliau tak pernah lelah melatihkan keterampilan tarinya, baik melalui program yang dilaksanakan bersama pemerintah, maupun program latihan di Padepokan. Namun karena kesibukan sebagai aktivis perempuan (beliau adalah ketua GOW kabupaten Garut), kini beliau sudah mulai jarang melatih tari. Sebagai penggantinya, beliau percayakan kepada putri bungsunya, Teh Diana Nastini, S.Sn., salah seorang penari kebanggaan Polah Seni Sakinten.
Selain didapat dari ibunya, keterampilan tari Teh Diana juga diperoleh dan diperkaya dari hasil pendidikannya di Jurusan Tari STSI (sekarang ISBI) Bandung. Teh Diana, yang sehari-harinya adalah seorang guru seni budaya yang mengajar di SMAN 8 Garut, juga sering dipercaya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut untuk membuat komposisi tari pada berbagai kegiatan budaya yang digelar oleh dinas, terutama pada perhelatan akbar Gebyar Budaya Pesona Garut yang termasuk dalam 100 Calendar of Event Indonesia.
Untuk pelatihan dan penataan karawitan, dipercayakan kepada Kang Wawan Somarwan, S.Sn., putra sulung mendiang Bapak Sobarnas. Kang Wawan adalah seorang musisi lulusan ASTI (sekarang ISBI) Bandung dan STSI Denpasar, Bali. Beliau juga seorang PNS yang menjabat Kasi Atraksi Kesenian Tradisional di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut. Satu jabatan yang erat kaitannya dengan perkembangan Padepokan Sobarnas Martawijaya sebagai salah satu sentra atraksi seni di Garut.
Sementara itu, aktivitas-aktivitas kesenian dan kebudayaan Posstheatron dipimpin oleh Kang Fachroe, menantu mendiang Bapak Sobarnas, suami dari Teh Diana Nastini. Beliau adalah seorang seniman teater, penyair, dan alumni jurusan Teater STSI Bandung.
Sejak kedatangannya ke Garut, pria asal Bandung ini langsung membuat gairah berkesenian di Garut kembali menggeliat. Terutama gairah seni drama, teater dan sastra. Selain merintis pendirian Posstheatron, Kang Fachroe juga telah membidani kelahiran beberapa grup teater sekolah di Garut. Saat ini, ia juga dipercaya menjadi Ketua Himpunan Seniman Sastra dan Drama Garut.
Menengok Masa Lalu Padepokan
Menurut penuturan Kang Wawan, jejak langkah Padepokan ini sebenarnya sudah terekam sejak tahun 1962, tidak lama setelah Garut menerima julukan dan piagam penghargaan dari Presiden Soekarno sebagai Kota Intan, kota terbersih dan terindah di Indonesia. Waktu itu, padepokan yang diberi nama Sari Kota Inten ini, dirintis oleh R.S. Affandi atau lebih dikenal dengan nama Aom Emon, yang sedang menjabat sebagai kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Garut. Pada mulanya pembinaan difokuskan pada pelatihan seni sunda, seperti tari, tembang sunda, wayang golek, calung, reog, gending karesmen, dan sebagainya. Pada tahun 1974, tiga orang penari dari Sari Kota Inten, terpilih untuk bergabung dalam misi kesenian Indonesia ke Jepang selama enam bulan.
Sepeninggal Aom Emon, Sari Kota Inten dilanjutkan oleh Bapak Sobarnas Martawijaya. Di bawah asuhannya, Sari Kota Inten semakin berkembang, dan semakin sering mendapat kepercayaan untuk mengisi berbagai acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Garut.
Di Penghujung tahun 1979, pimpinan Sakinten, Bapak Sobarnas Martawijaya, dikirim oleh Pemerintah Kabupaten Garut untuk nyantrik, mempelajari berbagai ilmu kesenian di Padepokan Bagong Kusudiarjo, Yogyakarta, selama enam bulan. Sepulang dari Yogya, Bapak Sobarnas mengubah nama Sari Kota Inten menjadi Pondok Olah Seni Sari Kota Inten, yang disingkat Polah Seni Sakinten. Seperti halnya pondok pesantren yang mengolah berbagai ilmu keagamaan, Pondok Olah Seni Sakinten mengolah berbagai ilmu kesenian.
Sejak tahun 1980-an, Polah Seni Sakinten sudah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Garut menyelenggarakan kegiatan Tetirah Seni Tari, yakni pelatihan seni tari bagi para guru, untuk kemudian diajarkan kepada murid-muridnya. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa tahun, dan dalam beberapa angkatan telah berhasil meluluskan ratusan guru tari yang kemudian menularkan ilmunya kepada murid di sekolah masing-masing.
Padepokan Antara Menghidupkan dan Menghidupi
Pernah ada semacam ungkapan pesimistis dari beberapa seniman, "hirup jadi seniman mah kudu siap sangsara. (Memilih hidup sebagai seniman itu harus siap sengsara)." Sebuah ungkapan yang diamini dan diimani oleh cukup banyak seniman atau pelaku seni, terutama mereka yang bergiat di seni tradisi. Hal ini cukup beralasan, karena penghasilan dari seni tradisi itu tidak menentu, dan besarannya pun tidak seberapa. Sementara untuk menghasilkan suatu karya seni pertunjukan yang baik, dibutuhkan waktu untuk berproses dan berlatih yang tidak sebentar.
Namun di Padepokan Sobarnas Martawijaya, ungkapan tersebut mencoba diganti dengan ungkapan, "Seniman dan kesenian harus hidup-menghidupi." Artinya, seorang seniman yang baik akan senantiasa berusaha menghidupkan kesenian yang digelutinya. Melalui proses yang daria (serius dan sungguh-sungguh), diyakini bisa menghasilkan atraksi seni yang bernilai jual tinggi. Dan dari usaha tersebut, diharapkan kesenian pun bisa menghidupi si seniman.
Ayo, Ke Padepokan
Jika suatu saat berkunjung ke Garut, jangan lupa untuk mampir ke Padepokan Sobarnas Martawijaya. Ada berbagai keseruan yang bisa dinikmati di sana. Akan lebih mengasyikan kalau berkunjungnya dalam kelompok atau rombongan. Jangan lupa untuk konfirmasi terlebih dahulu untuk penyesuaian jadwal dan agenda kegiatan. Dengan seni, Mari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H