Malam dirajai kegelapan. Langit pekat. Hitam tanpa kerlip bintang. Purnama masih terlalu dini untuk berseri. Tanah basah sisa gerimis sesaat. Di beberapa lubang jalan, air menggenang. Sedesir angin membelai malam. Lembut. Menebar dingin hawa durjana. Mengisyaratkan angkara. Meniupkan bau kematian.
Berbekal lampu senter dengan baterai yang sudah sangat lemah, aku tekan rasa takut yang mengurungku. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku susuri kegelapan jalan kampung berlubang, dalam langkah penuh harap.
Satu setengah jam sudah kutinggalkan rumah. Tiga puluh menit yang lalu aku masih melihat keramaian jalan raya ketika turun dari bis antar kota itu. Dan sekarang aku sendirian di sini. Dalam kegelapan. Di depan sana, pada jarak sekira dua kilometer, yang kutuju masih gelap. Hamparan hijau kebun teh, yang siang hari seperti permadani raksasa, tak tampak malam ini. Kabut tipis menghalang jarak pandangku.
Wussssss....., sedesir angin yang berhembus tiba-tiba, menghentikan langkahku. Dingin mengusap tengkuk. Bulu-bulu di tubuhku berdiri, meremang. Sesaat keraguan mengurungku. Melarangku melanjutkan langkah. Pandanganku jauh ke depan menembusi kepekatan malam. Ke kegelapan yang akan kutuju. Ingatanku melayang ke ranting-ranting kenangan. Menyusuri jejak demi jejak peristiwa yang pernah kualami, hingga membawaku ke sini. Langit masih juga hitam. Dan kabut semakin tebal. Dan malam pun membeku.
*
Benar-benar pagi yang sial. Setelah bangun kesiangan dan tak sempat sarapan, bis yang kutumpangi mogok di tengah perjalanan. Jarak kantorku masih terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Hujan deras menambah panjang daftar penderitaan yang kuterima pagi ini.
"Delapan lewat tiga belas," seorang pria muda yang duduk di sampingku menunjukkan G-Shock hitam yang melingkar di tangan kanannya. Sepertinya, dia baru lulus SMA dan akan ikut SPMB. Map merah bertuliskan IPA itu cukup menjadi ciri. Persis sama dengan yang dibawa adik perempuanku dua hari lalu.
"Terimakasih," kataku sambil mendekap erat tas hitam berisi proposal proyek penambahan tenaga kerja di perusahaan tempatku bekerja. Proposal ini harus tiba di meja Manager Personalia sebelum pukul delapan, pagi ini. Aku sudah terlambat tiga belas menit, dan sekarang aku masih di sini. Terjebak dalam bis kota yang mogok. Sementara di luar hujan semakin bertambah deras. Aku akan sangat terlambat. Dan aku tahu betul apa yang akan kuterima sebagai konsekuensi dari keterlambatan ini.
Tiba di kantor dengan pakaian basah. Jam dinding di ruang tunggu menertawakan keterlambatanku. Jarum-jarumnya dengan tenang hinggap di angka sembilan dan angka lima. Sementara jarum detiknya terus saja berlari melewati angka demi angka, sambil tak henti tertawa mencemooh nasib sialku. Hampir satu setengah jam aku terlambat. Sofa di ruang tunggu menyambut tubuhku yang menghempas lesu. Tak bertenaga. Tak gairah. Pasrah.
"Selamat pagi, Pak Yandi. Mari, silahkan masuk!" Pintu ruang Manager Personalia terbuka dan Pak Burhan tersenyum menyambutku dengan sapaan hangat. Pikiranku semakin tak menentu. Lunglai aku melangkah ke ruangan itu. Aku letakkan pantatku di kursi di depan meja kerjanya. Kepalaku tertunduk. Seperti pesakitan dihadapkan di depan meja hijau. Jantungku tak henti bertalu. Gemetar tanganku membuka tas dan mengambil proposal. Meletakkannya di meja. Hati-hati sekali.
"Selamat, Pak Yandi!" Pak Burhan mengulurkan tangan kanannya. Aku semakin bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Ragu-ragu aku menjabat tangannya.