Burhan masih menunduk.
"Apakah penolakan adik saya untuk menjadi isteri anak Bapak alasannya?"
"Hey, Bung! Jaga omonganmu!" Sang anak berteriak marah melihat Bapaknya terpojok oleh pertanyaanku. Maka aku alihkan tatapanku ke wajah Hendra.
"Oh, kamu rupanya. Kamu yang mengambil tabungan Mila, adik saya?" tatapanku kubuat sedingin mungkin. Tajam menembusi dinding keangkuhannya. Hendra semakin marah. Wajahnya melegam. Aku tersenyum senang. Itu yang kuharapkan.
"Heh! Berani sekali kamu memfitnahku!"
"Kamu marah? Itu artinya kamu merasa."
"Apa kamu bilang? Kamu benar-benar ..."
"Ya, memang. Aku bicara benar, bukan?" Hendra memandangku dengan penuh amarah. Aku tak peduli, tapi segera kutingkatkan kewaspadaan. "Satu hal lagi. Aku akan melaporkanmu ke polisi atas perkosaan yang kamu lakukan pada adikku."
"Bangsat! Kamu benar-benar cari mampus!" Hendra menggembor sambil melompat ke arahku. Dia mengirimkan tinjunya ke wajahku. Aku sudah cukup waspada. Dengan sedikit menggerakkan kaki kiri, aku dorong meja menghalangi gerakannya. Hendra yang kurang waspada, tersandung dan jatuh menelungkup di atas meja. Dia meringis menahan sakit, malu dan marah.
"Kamu marah Mila menolak lamaranmu?" Aku masih tetap tenang di tempatku. "Mila bukan perempuan murahan yang bisa dibeli dengan uang haram Bapakmu. Tidak seperti perempuan-perempuan lacur yang biasa melayani kamu dan Bapakmu itu."
Sorot matanya semakin liar. Berkilat. Merah tua bagai saga. Dengan geram ia menatapku. Aku paling benci tatapan seperti itu. Menantang. Maka tanpa aba-aba kulayangkan kepalan tangan kananku ke wajahnya, tepat di hidungnya. Hendra terjengkang. Pingsan. Darah segar keluar dari hidungnya yang lumayan bangir. Burhan diam tak bergerak di tempatnya. Aku bangkit dan mengunci pintu. Anak kuncinya aku masukkan ke saku jaketku.